Jokowi Berkeluh Kesah Beratnya Subsidi Energi yang Tembus Rp502 Triliun

Presiden Joko Widodo kembali menyinggung beratnya beban APBN yang harus menanggung subsidi energi hingga Rp502 triliun. Dengan masih adanya ketidakpastian kondisi global yang kemungkinan akan berdampak kepada kenaikan harga energi pada tahun ini, Jokowi tidak yakin bahwa anggaran negara akan mampu menyokong subsidi lebih besar lagi.

Jokowi mengklaim, bahwa tidak ada negara selain Indonesia yang memberikan subsidi energi dengan nilai sebesar ini.

“Angka subsidi kita untuk energi memang terlalu besar. Cari negara yang subsidinya sampai Rp502 triliun, karena kita harus menahan harga Pertalite, gas, listrik, termasuk Pertamax, gede sekali. Tapi apakah angka Rp502 triliun ini masih terus kuat bisa kita pertahankan? Ya kalau bisa ya alhamdulilah, baik. Artinya rakyat tidak terbebani, Tapi kalau memang APBN tidak kuat bagaimana?,” ungkap Jokowi usai melakukan pertemuan dengan para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (12/8).

Para pengemudi antre untuk mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina di Jakarta, 17 November 2014. (Foto: Reuters)

Para pengemudi antre untuk mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina di Jakarta, 17 November 2014. (Foto: Reuters)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan angka Rp502 triliun tersebut merupakan besaran angka subsidi sekaligus kompensasi. Angka tersebut jauh melebihi pagu awal yang telah disepakati pemerintah dan DPR dalam APBN 2022 sebesar Rp152,5 triliun.

Lebih lanjut Presiden Jokowi ini pun lantas membandingkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) negara lain yang sudah terlebih dahulu menaikkan harga BBM hingga dua kali lipat. Apabila harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan, apakah pemerintah akan menaikkan harga BBM subsidi?

“Kan negara lain harga BBM-nya sudah Rp17 ribu-Rp18 ribu, sudah naik dua kali lipat semuanya. Ya memang harga keekonomiannya seperti itu. Jadi tadi kami menyampaikan kepada beliau-beliau mengenai fakta dan angka itu. Kalau kita masih ada income negara dari komoditas, masih baik, ya kita jalanin, tapi kalau tidak?,” tuturnya.

Pemerintah Harus Tetap Berikan Subsidi Energi

Ekonom dari lembaga Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan dalam kurun waktu periode 2015-2019 anggaran subsidi energi banyak dialihkan pemerintah untuk program lain. Maka dari itu, ia menilai sebenarnya masyarakat sudah cukup banyak mengalah. Jadi pemerintah sudah seharusnya tetap menanggung subsidi energi , apalagi perekonomian di Tanah Air masih belum pulih sepenuhnya akibat dihantam pandemi COVID-19.

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira (screenshot)

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira (screenshot)

Lebih jauh Bhima menilai bahwa seharusnya subsidi energi ini tidak akan terlalu membebani APBN, apabila pemerintah bisa melakukan pengawasan yang lebih baik agar tidak terjadi kebocoran subsidi, seperti halnya yang terjadi pada solar dan juga elpiji. Terkait gas elpiji tiga kilogram misalnya, semua orang bisa membeli tanpa terkecuali, sehingga bisa dipastikan subsidinya tidak tepat sasaran.

“Belum ada kenaikan harga BBM jenis subsidi saja, dari mulai Januari kita menghadapi elpiji 12 kg naik, BBM non-subsidi Pertamax juga sudah naik cukup signifikan, itu saja inflasinya hampir menyentuh lima persen, di Juli. Apalagi kalau subsidi kuotanya berkurang atau subsidinya berkurang sehingga harganya naik di level masyarakat. Ini akan memicu kenaikan inflasi yang siginifikan dan itu tidak bisa diobati dengan jaring pengaman sosial yang ada sekarang. Mau ngasih berapa bantuan cash kepada masyarakat untuk kompensasi?,” ungkapnya kepada VOA.

Seorang pekerja di SPBU Pertamina memegang uang saat sepeda motormengisi BBM bersubsidi di Jakarta, 31 Oktober 2014. (Foto: Reuters)

Seorang pekerja di SPBU Pertamina memegang uang saat sepeda motormengisi BBM bersubsidi di Jakarta, 31 Oktober 2014. (Foto: Reuters)

Selain itu, pemerintah juga kerap memprioritaskan proyek besar strategis nasional yang tidak berdampak langsung dengan hajat hidup orang banyak dan stabilisasi harga bahan pokok di dalam negeri, seperti salah satunya proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung atau pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang juga cukup membebani anggaran negara.

Maka dari itu, ia menyarankan keuntungan atau windfall profit komoditas yang didapat oleh negara pada tahun ini harus diatur sedemikian rupa dalam manajemen fiskal untuk mengatasi pembengkakan subsidi energi tersebut. Bhima mengatakan jika pemerintah bisa menghemat berbagai proyek yang tidak terlalu prioritas atau penting untuk dijalankan, maka masih akan ada ruang fiskal yang lebih besar untuk menambah alokasi subsidi BBM.

“Ya harus dipertahankan, karena stimulus ekonomi sekarang untuk menjaga inflasi tetap terkendali adalah subsidi energi, bukan hanya BBM tapi tarif listrik untuk golongan 900 VA ke bawah, dan juga elpiji tiga kg, mau tidak mau harus dilakukan di tahun 2022. Harapannya kalau di 2023 sudah mulai turun harga minyak mentah, maka secara otomatis subsidi energi bisa mengalami penurunan,” pungkasnya. [gi/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan