Indonesia masih mencatatkan pencapaian positif dalam sektor ekonomi pada tahun ini. Hal ini terbukti dari neraca perdagangan barang pada bulan Juli 2022 yang mengalami surplus sebesar $4,23 miliar setelah Indonesia membukukan ekspor senilai $25,57 miliar, lebih tinggi dari pencapaian impor di bulan yang sama yang tercatat pada angka $21,35 miliar.
Kendati demikian, Setianto menyoroti volume ekspor komoditas utama Indonesia seperti batu bara dan minyak kelapa sawit yang cenderung stagnan. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi nilai ekspor pada bulan depan jika harga komoditas utama tersebut akan turun di pasar global.
“Terkait dengan nilai ekspor pada Juni 2022 dan tren periode sebelumnya, ekspor Indonesia yang tumbuh lebih didorong peningkatan harga komoditas,” jelas Setianto dalam konferensi pers daring, pada Senin (16/8).
Setianto juga menyoroti tekanan inflasi dan perlambatan ekonomi global. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan ekonomi beberapa mitra dagang utama Indonesia yang menurun, antara lain China, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan.
Selain itu, BPS juga mewaspadai ketegangan geopolitik antara China dan Taiwan yang dapat mempengaruhi stabilitas di kawasan Asia. Kedua negara tersebut merupakan mitra dagang penting bagi Indonesia.
“China dan Taiwan adalah eksportir utama untuk komponen elektronik dunia. China adalah eksportir terbesar kedua untuk sirkuit elektronik terpadu pada 2020,” tambah Setianto.
Sedangkan Taiwan sendiri merupakan eksportir terbesar pertama untuk untuk sirkuit elektronik terpadu pada 2020.
Pengamat: Konflik China-Taiwan Bisa Hambat Distribusi
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eka Puspitawati mengatakan eskalasi konflik antara China dan Taiwan dapat berdampak terhadap jalur distribusi. Sebab, China merupakan negara mitra utama dan terbesar untuk ekspor-impor Indonesia.
Eka melanjutkan bahwa kedua negara memiliki peran penting dalam sektor ekonomi Indonesia. Taiwan, menurut Eka, juga memberikan sumbangan dalam perdagangan barang dan jasa bagi Indonesia. Belum lagi kontribusi dari remitansi yang dihasilkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) baik yang bekerja di Taiwan dan Hongkong yang lokasinya sangat berdekatan.
“Dampak secara langsung akan sangat terasa jika faktor keamanan negara menjadi konflik hingga peperangan,” tutur Eka kepada VOA, pada Selasa (16/8).
Eka menyarankan pemerintah untuk memperkuat keamanan Kawasan, terutama Kawasan ASEAN yang beririsan langsung dengan wilayah China dan Taiwan.
Ia menjelaskan bahwa kelompok ASEAN dapat menjalin kerja sama dengan China untuk menurunkan ketegangan di kawasan. Selain itu, Indonesia dapat memetakan jalur-jalur distribusi alternatif untuk mengamankan pengangkutan barang dan jasa jika konflik antar kedua negara tersebut berubah menjadi perang.
“Potensi perdagangan Indonesia meski mengalami penurunan, saya pandang masih bisa positif jika Indonesia mulai bergerak untuk mempersiapkan alternatif-alternatif jalur distribusi dan transaksi bisnis yang aman,” tambahnya. [sm/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.