Untuk Damaikan Palestina-Israel, Indonesia Harus Berhubungan dengan Kedua Pihak

Indonesia termasuk salah satu negara terdepan yang memberikan dukungan politik dan kemanusiaan bagi Palestina. Selain amanat konstitusi, sokongan Indonesia terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka juga diamanatkan oleh Dasa Sila Bandung hasil dari Konvferensi Asia-Afrika pada 1955.

Dalam diskusi mengenai peran Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina yang digelar oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia di Jakarta, Jumat (19/8), mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengatakan dalam konteks diplomasi dan politik, melalui pernyataan-pernyataan sikap pemerintah, Indonesia memainkan peran penting.

Tetapi ia buru-buru menambahkan bahwa sedianya peran yang dijalankan Indonesia dalam konflik Israel-Palestina adalah sebagaimana yang dilakukan Presiden Soeharto dulu. Pada 1993, dia mengundang pemimpin Palestina Yasir Arafat ke Jakarta, disusul dua bulan kemudian mengundang Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Soeharto menerima Arafat di istana kepresidenan dan menjamu Rabin di rumah pribadinya di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.

JK Isyaratkan Perlunya Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel?

Menurut Kalla, jika ingin menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel, maka sedianya Indonesia tidak saja memiliki hubungan dengan Palestina, tetapi juga Israel.

“Kalau ingin mendamaikan (dua negara sedang) berkonflik, harus kenal kedua-keduanya. Saya kenal baik dengan keduanya. Kenal baik dengan Palestina, kenal baik dengan Israel. Kalau saya datang ke Tel Aviv disambut, sama kalau saya ke Palestina. Tidak ada cara untuk mendamaikan tanpa kenal kedua-duanya, berkawan dengan kedua-duanya,” kata Kalla.

Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (foto: dok).

Mantan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (foto: dok).

Jusuf Kalla mengaku pernah mengadakan pembicaraan dengan menteri perdagangan Israel di sela-sela konferensi Organisasi Perdagangan Dunia) WTO di Seattle, Amerika, tapi dia tidak menyebutkan kapan pertemuan itu berlangsung. Pertemuan di hotel di mana Kalla menginap itu berupaya membuka relasi perdagangan Indonesia-Israel.

Kalla juga pernah mengadakan pertemuan dengan Yasser Arafat, Presiden Palestina saat ini Mahmoud Abbas, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di sela sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika. Kepada Arafat, Abbas, dan Netanyahu Kalla menegaskan Palestina dan Israel harus berdamai. Arafat dan Netanyahu kini telah meninggal dunia.

Kalla juga mengatakan Indonesia pernah berencana membuka kedutaan besar di Kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina; dan untuk membahas gagasan ini lebih jauh, Kalla mengadakan pertemuan dengan Duta Besar Israel untuk Singapura yang diundangnya datang ke Jakarta. Indonesia minta akses lewat Yordania atau Tel Aviv.

Israel, ujar Kalla, mengizinkan Indonesia membuka kantor dagang di Tel Aviv, jika Israel dapat membuka kantor dagang di Jakarta. Kalla menyanggupi, namun menegaskan agar waktunya tidak bersamaan. Indonesia, tambahnya, harus lebih dulu membuka kantor dagang di Tel Aviv, sebagai syarat membuka kedutaan di Ramallah; sementara kantor dagang Isael di Jakarta bisa menyusul kemudian. Kalla tidak menjelaskan mengapa rencana ini kemudian gagal diwujudkan.

Kalla mengakui secara politik dan diplomatik Indonesia tidak mengakui Israel. Namun faktanya, hubungan tidak resmi telah terjalin antara kedua negara meski, lewat negara ketiga.

Kemlu: Indonesia Konsisten Dukung Kemerdekaan Palestina

Dalam diskusi tersebut, Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih menegaskan Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina. Dia memaparkan bagaimana Presiden Soekarno, saat menolak kedatangan rombongan atlet Israel di Asian Games tahun 1962 di Jakarta mengatakan bangsa Indonesia akan terus menetang penjajahan Israel selama Palestina belum merdeka.

Dia menekankan dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina merupakan pula amanat dari konstitusi dan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Karena dari semua peserta KAA, hanya Palestina yang belum merdeka.

“Yang ingin saya tegaskan di sini, dukungan itu tidak pernah berhenti dan dukungan kita kepada Palestina adalah dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Ini yang jelas tidak bisa diubah-ubah, dengan konsep solusi dua negara, dengan ibu kota Yerusalem Timur, mengacu pada garis 1967,” ujar Bagus.

Warga Indonesia Jadi Saksi Kekejaman Israel

Abdillah Onim, warga Indonesia pendiri Nusantara Palestina Centre (NPC) dan tinggal di Jalur Gaza, mengatakan dirinya menjadi saksi setiap kali Israel menyerbu Jalur Gaza dan melihat kebiadaban yang dilakukan tentara negara itu terhadap warga Palestina.

“Pihak Israel dengan semena-mena melakukan pembunuhan terhadap warga sipil, anak-anak. Sampai dengan saat ini kita belum pernah mendengar kejahatan Israel dibawa ke pengadilan internasional. Ini sangat disayangkan,” tutur Onim.

Menurut Onim, ada beberapa hal mengapa Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas terbesar di dunia harus mendukung perjuangan bangsa Palestina. Yang paling utama adalah karena kiblat pertama umat Islam adalah Masjid Al Aqsa, yang berada di Palestina. Dan kedua, merupakan amanat pembukaan Konstitusi Indonesia untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan