Penghayat Kepercayaan Masih Temui Kendala dalam Layanan Administrasi dan Pendidikan

Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 dengan jelas menyatakan penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah. Putusan itu juga membuat status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai penghayat kepercayaan tanpa merinci keyakinan yang dianut.

Namun pada praktiknya hingga kini penghayat kepercayaan di Indonesia masih kerap menemui kendala dalam mendapatkan layanan administrasi publik hingga pendidikan.

Sonia Sintia adalah seorang puan hayati penghayat kepercayaan dari Organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya hambatan dalam layanan publik bagi masyarakat penghayat kepercayaan yakni regulasi yang belum tersedia. Regulasi yang dimaksud adalah peraturan undang-undang yang belum mengakomodasi seluruh masyarakat penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pelayanan publik.

Suliyanto, warga Surabaya penganut Penghayat Kepercayaan menunjukkan KTP yang kolom agamanya dikosongi (Foto VOA/Petrus Riski).

Suliyanto, warga Surabaya penganut Penghayat Kepercayaan menunjukkan KTP yang kolom agamanya dikosongi (Foto VOA/Petrus Riski).

“Meskipun ada peraturan undang-undang yang sudah menjelaskan mengenai hak-hak penghayat kepercayaan, undang-undang turunannya atau peraturan pemerintah lainnya, belum mengakomodir. Sehingga untuk mendapatkan layanan tersebut, masyarakat penghayat kepercayaan masih mengalami kendala atau hambatan,” katanya dalam forum kamisan daring, Kamis (18/8) malam.

Sintia melanjutkan, hal lainnya adalah faktor lembaga atau instansi. Lembaga maupun instansi masih kerap mempunyai pandangan keliru atau kurang memahami masyarakat penghayat kepercayaan sehingga menghambat proses layanan. Kemudian, masyarakat penghayat kepercayaan itu sendiri juga tak luput menjadi hambatan.

“Dahulu masyarakat penghayat kepercayaan eksistensinya kurang diketahui. Namun sekarang sudah mulai dikenal sehingga kemampuan masyarakat penghayat kepercayaan masih terbatas. Sehingga baik melakukan advokasi atau menjelaskan keberadaannya agar mendapatkan pelayanan publik itu masih menjadi hambatan,” ungkapnya.

Siswa Penghayat Kepercayaan memahami ajaran leluhur sekaligus melestarikan tradisi. (Foto: Muslam)

Siswa Penghayat Kepercayaan memahami ajaran leluhur sekaligus melestarikan tradisi. (Foto: Muslam)

Hambatan lain juga muncul akibat minimnya koordinasi dan sosialisasi antar-instansi di daerah terkait putusan MK tentang penghayat kepercayaan. Kendati sudah ada putusan MK yang menyatakan bahwa masyarakat penghayat kepercayaan setara dengan agama dan dapat mengubah identitasnya baik di KK maupun KTP, tetapi ketika melakukan perubahan tersebut masih sering memerlukan waktu yang cukup lama.

“Mungkin karena kurangnya koordinasi antar lembaga tingkat pusat maupun daerah sehingga informasi yang diterima ketika kami melakukan perubahan masih minim. Mungkin juga karena terjadinya pergantian pimpinan instansi yang belum mengetahui keberadaan penghayat kepercayaan,” ungkap Sintia.

Sintia melanjutkan, kendala pelayanan publik di wilayah Kabupaten Bandung bukan satu-satunya hambatan bagi penghayat kepercayaan. Namun juga ada layanan pendidikan yang menjadi hambatan yakni kolom kepercayaan dalam biodata siswa, pencatatan kolom nilai, tenaga pengajar, dan kebijakan sekolah.

“Itu beberapa hambatan dalam pelayanan publik yang dialami oleh kami sebagai penghayat kepercayaan,” tandasnya.

Anggota dewan pakar Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Wila Chandrawila Supriadi, berharap pada pelaksanaan putusan MK itu seluruh komponen lembaga dan instansi harus memperhatikan hak konstitusional dari penghayat kepercayaan.

“Saya berharap pada peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan masalah pencatatan dukcapil itu juga harus memperhatikan hak konstitusional dari penghayat kepercayaan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pendaftaran Penduduk Ditjen Dukcapil Kemendagri, David Yama, mengatakan pihaknya telah menerapkan putusan MK terkait penghayat kepercayaan. Meskipun pada praktiknya masih ada pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) yang belum maksimal.

“Ya itu suatu proses. Itu tugas yang berat tapi itu harus kami lakukan perlahan-lahan untuk memastikan bahwa semua terakomodir,” ucapnya.

Cilacap memiliki sekitar 50 siswa Penghayat Kepercayaan tersebar di belasan sekolah. (Foto: Muslam)

Cilacap memiliki sekitar 50 siswa Penghayat Kepercayaan tersebar di belasan sekolah. (Foto: Muslam)

Menurut David, perjalanan untuk penghayat kepercayaan mendapatkan tempat dalam administrasi kependudukan itu cukup panjang sejak tahun 1955. Kemudian pada tahun 2017 MK mengeluarkan putusan yang menyatakan status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom KK dan KTP sebagai penghayat kepercayaan tanpa memerinci keyakinannya.

“Itu langsung kami akomodir dengan surat edaran. Bahkan diperkuat dengan dikeluarkannya Perpres No 96 Tahun 2018 di mana salah satunya ada mengatur pencatatan penghayat kepercayaan termasuk di dalamnya mengurus bagaimana perkawinan dan pengakuan anak bagi penghayat kepercayaan,” jelasnya.

Berdasarkan data dari Ditjen Dukcapil Kemendagri per April 2022, jumlah penghayat kepercayaan ada di 37 provinsi dan 391 kabupaten/kota. Daerah dengan jumlah penghayat kepercayaan terbanyak berada di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, yakni 25.121 jiwa. Sedangkan, daerah dengan jumlah penghayat kepercayaan paling sedikit ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dengan 2.128 jiwa. [aa/ka]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan