ACT Minta Maaf pada Donatur dan Masyarakat Indonesia

Presiden Aksi cepat Tanggap (ACT) Ibnu Khajar dalam jumpa pers yang digelar di kantornya di Jakarta, Senin (4/7), menyampaikan permohonan maaf kepada donatur dan masyarakat Indonesia atas berita yang dilansir majalah Tempo edisi 2 Juli 2022 yang menyebutkan terjadi penggelapan dana sumbangan masyarakat oleh petinggi ACT.

“Satu hal yang ingin kami sampaikan adalah permohonan maaf yang luar biasa sebesar-besarnya kepada masyarakat. Mungkin beberapa masyarakat kurang nyaman dengan beberapa pemberitaan yang sedang terjadi saat ini. Kami ucapkan terima kasih kepada majalah Tempo atas semua pemberitaan yang telah dilakukan. Di atas semuanya, tentu mestinya bisa menjadi manfaat buat kita semuanya. Banyak pelajaran berharga yang bisa menjadi pelajaran bagia kita semuanya,” kata Ibnu.

Ibnu Khajar menekankan ACT adalah lembaga kemanusiaan yang mendapat izin dari Kementerian Sosial, bukan lembaga amil zakat yang izinnya dari Badan Amil Zakat dan Infaq nasional (Baznas) atau Kementerian Agama. ACT sudah berkiprah di lebih dari 47 negara dan menyalurkan kebaikan dermawan melalui beragam program kemanusiaan di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan kedaruratan.

Seorang anak Palestina di Gaza menerima layanan fisioterapi di Klinik Indonesia yang dikelola ACT. (Courtesy: ACTnews)

Seorang anak Palestina di Gaza menerima layanan fisioterapi di Klinik Indonesia yang dikelola ACT. (Courtesy: ACTnews)

Menurut Ibnu, kondisi keuangan ACT sehat, dan sejak berdiri pada 21 April 2005 secara konsisten melakukan audit secara rutin. Selama 2005 hingga 2020, ACT memperoleh predikat audit wajar tanpa pengecualian (WTP). Dia mengklaim predikat WTP tersebut menunjukkan tata kelola keuangan di ACT berjalan baik. Dia menambahkan laporan keuangan ACT sejak 2005 sampai 2020 yang sudah teraudit itu sudah dipublikasikan di situs resmi ACT.

Dia mengungkapkan pengunduran diri Presiden ACT sebelumnya, Achyudin, pada 11 Januari atas permintaan semua pimpinan lembaga baik di tingkat pusat dan daerah. Proses ini bagian dari upaya memperbaiki ACT ke depan.

Anggota DPR: Cabut Izin ACT!

Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Maman Imanulhaq menjelaskan kasus ACT ini dapat membuka adanya fenomena gunung es tentang lembaga-lembaga yang mengatasnamakan kemanusiaan dan keagamaan untuk menguras dana donasi dari dermawan yang ingin berbuat baik. Sehingga, lanjutnya, dana sumbangan itu digunakan bukan untuk tujuan awal, misalnya menolong dalam kondisi bencana atau mengurus kelompok-kelompok marginal – termasuk anak yatim pidatu – tetapi digunakan pengelolanya untuk menumpuk kekayaan dan bergaya hidup demi kesenangan semata (hedonisme). Dia menegaskan kejadian di ACT mencederai nilai-nilai kemanusiaan.

“Tentu harus ada tindakan tegas dari negara atau dari aparat hukum kepada lembaga tersebut dengan cara dicabut izinnya. Yang kedua adalah pengawasan yang superketat, termasuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan tersebut, sehingga publik mengetahuinya,” ujar Maman.

Seorang anak Palestina yang mendapat layanan kesehatan gratis di Indonesia Medical Clinic yang dikelola ACT di Gaza. (Courtesy ACTNews)

Seorang anak Palestina yang mendapat layanan kesehatan gratis di Indonesia Medical Clinic yang dikelola ACT di Gaza. (Courtesy ACTNews)

Maman berharap agar masyarakat bersikap rasional dalam memberikan sumbangan kepada lembaga manapun. Jangan tergiur nama kemanusiaan atau keagamaan, sehingga donasi mereka malah dipakai sangat bertolak belakangan dari tujuan dari donatur.

Oleh sebab itu, lanjutnya, DPR akan mengusulkan undang-undang pengumpulan dana donasi. Dia mengakui memang belum ada regulasi yang mengawasi kegiatan lembaga-lembaga pengumpul dana bantuan dan panti asuhan.

Tempo: Gaji 18 Bulan Setahun, Fasilitas Fantastis Pengurus ACT

Dalam laporan investigasinya, Tempo menulis sebagai Presiden ACT, Ahyudin menerima gaji fantastis sebesar Rp250 juta per bulan. Sedangkan gaji senior vice presiden Rp150 juta saban bulan, upah vice president Rp80 juta tiap bulan. Di level bawahnya, direktur eksekutif digaji Rp50 juta dan direktur Rp30 juta setiap bulan. Berdasarkan catatan pihak internal ACT, sebelum Ahyudin mundur, lembaga ini memiliki 1 presiden, 3 senior vice president, 10 vice president, 14 direktur eksekutif dan 16 direktur.

Gaji yang diterima para pengurus ACT bisa 18 kali per tahun karena ada berbagai bonus, misalnya jika jumlah donasi untuk sebuah program melebihi target, atau bonus sesuai situasi lapangan – bonus kurban, bonus tahun ajaran baru, dan lain-lain.

Dengan lugas Tempo membandingkan gaji pengurus ACT itu dengan lembaga filantropi lain, seperti Dompet Dhuafa, yang memberikan gaji tertinggi pada pengurusnya sebesar Rp40 juta per bulan. Atau Rumah Zakat yang memberikan gaji tidak lebih dari Rp25 juta per bulan.

Tidak hanya gaji besar, petinggi ACT juga mendapat fasilitas mobil. Achyudin diberi tiga mobil, yakni Toyota Alphard, Mitsubish Pajero Sport, dan Honda CR-V.

Hingga laporan ini disampaikan belum diketahui langkah hukum yang akan diambil aparat berwenang terhadap dugaan penyalahgunaan dana ini. [fw/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan