Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengaku kecewa dengan pemberian remisi pada Umar Patek, salah satu narapidana dalam kasus Bom Bali I pada 2002, yang menewaskan 202 orang, sebagian besar warga Australia. Hal ini disampaikannya dalam wawancara dengan stasiun televisi Channel 9 beberapa hari setelah Kemenkumham memberikan remisi lima bulan pada Umar Patek saat peringatan Hari Kemerdekaan ke-77 Indonesia pekan lalu.
Albanese mengatakan pemberian pengurangan masa hukuman terhadap Umar Patek, melukai perasaan keluarga korban. Namun ia menambahkan bahwa pihaknya akan terus berupaya menjalin kontak diplomatik dengan Indonesia, termasuk soal Umar Patek.
Sebelumnya Kepala Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Rika Aprianti telah menjelaskan kepada wartawan di Jakarta bahwa pemberitan pembebasan bersyarat pada Umar Patek itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan substantif dan administratif yang membuatnya, dan seluruh warga binaan lain, berhak mengajukan pembebasan bersyarat. Salah satu syarat mendapat pembebasan bersyarat ini adalah berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran selama menjalani masa hukuman.
Diwawancarai VOA, pengamat hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sigit Riyanto hari Senin mengatakan setiap negara memiliki sistem hukum, kedaulatan, dan yurisdiksi yang harus dihormati atau saling menghormati. Dia menilai komentar yang diberikan oleh Perdana Menteri Australia Anthony Albanese bukan hal aneh atau sesuatu yang baru dari segi hubungan dan hukum internasional.
Dia menegasan Indonesia memiliki sistem hukum sendiri yang memungkinkan terjadinya remisi, pembebasan bersyarat dan bahkan grasi yang sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Indonesia juga memiliki cara sendiri untuk menangkal, mencegah, sekaligus memproses hukum para pelaku terorisme.
Di samping itu, lanjut Sigit, Indonesia mempunyai strategi untuk memanfaatkan para mantan teroris untuk melakukan deradikalisasi dan sebagainya. Jadi Indonesia tidak harus mengikuti kemauan negara lain dalam hal penanganan terorisme. Karena itu, komentar dari Albanese harus diletakkan secara proporsional.
“Ketika Australia mendapati berita seperti ini, mereka berkomentar atau melakukan keprihatinan. Tetapi kalau yang mendapatkan perlakuan seperti itu warga Asutralia, seperti Corby yang dibebaskan dan dipindahkan ke Ausralia, mereka akan melakukan apresiasi itu,” kata Sigit.
Menurut Sigit, sangat mungkin untuk memberikan pengurangan masa hukuman terhadap narapidana kasus terorisme karena berbagai pertimbangan, dan hal ini telah terjadi pada beberapa mantan narapidana kasus terorisme yang menjadi mitra pihak berwenang untuk menggalakkan deradikalisasi narapidana kasus terorisme lain.
Dia mengakui idealnya sistem pemidanaan – termasuk pemberian remisi dalam kasus terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa – diperketat ketimbang kejahatan umum lainnya.
Kemlu Belum Terima Nota Protes atau Komunikasi Lain dari Australia
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengaku belum mendengar mengenai rencana Kementerian Luar negeri Asutralia yang ingin mengirim nota protes atas pengurangan masa hukuman terhadap Umar Patek, salah satu narapidana dalam kasus Bom Bali I.
“Saya belum mendengar (soal rencana protes akan disampaikan Australia.red). Tapi kan kita menjunjung supremasi hukum. Kita menghormati supremasi hukum dan penerapan hukum sesuai dengan pertimbangan hukum dan lain-lain,” ujar Faizasyah.
Menurut Faizasyah pemberian remisi ini merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM.
Meski demikian sebagai dua negara, tegas Faizasyah, pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia tidak mempunyai hambatan untuk membicarakan berbagai isu tertentu yang menjadi kepedulian salah satu negara.
Dapat Remisi Lima Bulan, Umar Patek Berpeluang Bebas Lebih Cepat
Umar Patek dikabarkan akan segera setelah mendapat remisi lima bulan pada Hari Kemerdekaan pekan lalu. Mantan Anggota Jamaah Islamiyah itu sebelumnya direncanakan bebas tahun 2023. Dengan pemberian remisi tahun ini, berarti Umar Patek berpeluang bebas bersyarat dalam waktu dekat dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya.
Umar Patek ditangkap di Pakistan pada 2011, dan divonis di Indonesia setahun kemudian dengan hukuman penjara 20 tahun. Di peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-77, dia mendapat pengurangan masa hukuman lima bulan lagi, sehingga total remisi telah dia dapatkan mencapai dua tahun. [fw/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.