Lebih Separuh Korban Penipuan Digital Mengikhlaskan Kerugian

Seorang perempuan berinisial EDD berbagi pengalamannya menjadi korban penipuan melalui pesan telepon genggam. Melalui serangkaian pesan yang masuk pada telepon genggam miliknya pada 6 Januari 2022, penipu berpura-pura sebagai petugas bank tempat EDD menyimpan uang.

Penipu itu menjanjikan hadiah dalam program m-Banking, dan dengan upaya yang lihai, EDD akhirnya terjerat ke dalam perangkap sang penipu. Data miliknya, termasuk nomor pin dari rekening bank, ia serahkan kepada sang penipu. Namun sayangnya, ketika ia sadar bahwa ia telah menjadi korban penipuan, sejumlah besar uang di rekening miliknya telah raib diambil oleh sang penipu.

“Saya ke customer service, Ibu kena phising kata customer service. Tolong cek saldo saya berapa. Pas dicek, saldo saja sudah habis. Waktu itu ada Rp 21.125.000, tinggal sisa Rp125 ribu, jadi sudah hilang yang Rp21 juta,” papar EDD dalam diskusi Penipuan Digital di Indonesia: Modus, Medium, dan Rekomendasi, pada Rabu (24/8) sore.

Lebih dari 98 responden riset mengaku pernah menerima SMS bernada penipuan. (Foto: Nurhadi)

Lebih dari 98 responden riset mengaku pernah menerima SMS bernada penipuan. (Foto: Nurhadi)

Diskusi itu diselenggarakan sekaligus untuk memaparkan hasil riset yang dilakukan Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM). EDD adalah satu dari 1.700 orang dari 34 provinsi di Indonesia yang menjadi responden penelitian ini. Riset ini merupakan kolaborasi antara CfDS Fisipol UGM, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, dan PR2Media dengan dukungan dari WhatsApp.

Memilih untuk Ikhlas

Riset ini menemukan, 98,3 persen responden atau 1.671 orang pernah menerima pesan penipuan digital, baik satu maupun lebih. Modus paling banyak adalah penipuan berkedok hadiah (91,2 persen), pinjaman ilegal (74,8 persen), pengiriman tautan yang berisi malware atau virus (65,2 persen), penipuan berkedok krisis keluarga (59,8 persen), dan investasi ilegal (56 persen).

Ketua tim peneliti sekaligus dosen Fisipol UGM, Dr Novi Kurnia. (Foto: UGM)

Ketua tim peneliti sekaligus dosen Fisipol UGM, Dr Novi Kurnia. (Foto: UGM)

Dr. Novi Kurnia yang memimpin riset ini memaparkan data dalam penelitian tersebut di mana 50,8 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian.

“Kenapa bisa begitu? Yang menarik di sini adalah alasan korban menyatakan tidak mengalami kerugian. Dari wawancara di FGD kita, mereka berusaha mengikhlaskan peristiwa itu. Atau menganggap bahwa penipuan digital ini sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup yang nantinya akan diganti oleh rezeki yang lain,” ujar Novi.

“Dari seluruh korban penipuan, respons yang mereka lakukan adalah menceritakan kepada keluarga atau teman 48,3 persen, tidak melakukan apa-apa 37,9 persen, menceritakan kepada warganet 5,3 persen, melaporkan kepada media sosial atau platform digital lainnya 5 persen, dan melaporkan kepada kepolisian 1,8 persen,” tambah Novi.

Berbagai macam modus penipuan yang digunakan oleh penipu digital. (Grafis CFDS)

Berbagai macam modus penipuan yang digunakan oleh penipu digital. (Grafis CFDS)

Dalam penelitian yang sama, sebanyak 94,8 persen responden menganggap kepolisian dan aparat penegak hukum lain paling bertanggung jawab mencegah dan menangani penipuan digital. Responden menaruh porsi tanggung jawab yang yang lebih besar pada petugas kepolisian dibanding pihak berwenang lainnya seperti pemerintah, perusahaan terkait, dan organisasi masyarakat sipil.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa SMS dan telepon merupakan medium komunikasi yang paling banyak digunakan oleh pelaku penipuan untuk memperdaya para korbannya. Penipuan serupa juga ditemukan di ranah media sosial, platform chat serta email.

Untuk mencegahnya kejadian serupa terulang kembali di kemudian hari, para responden merekomendasikan peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi dan kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital. Selain itu, sejumlah upaya seperti publikasi kasus dan modus operandi penipuan, edukasi keamanan digital, laman dan aplikasi untuk mengecek validitas penjual, dan kampanye publik harus dilakukan.

SMS merupakan medium paling banyak dipakai dalam upaya penipuan digital. (Grafis CFDS)

SMS merupakan medium paling banyak dipakai dalam upaya penipuan digital. (Grafis CFDS)

Pencegahan Sudah Dilakukan

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penipuan digital. Aju Widyasari, Direktur Telekomunikasi di Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyebut upaya pencegahan dilakukan dari sejak pihak penyelenggara telekomunikasi, seperti operator seluler. Selain itu, kewajiban untuk melakukan registrasi kartu perdana telepon seluler juga menjadi bagian dari langkah pencegahan.

Aju Widyasari, Direktur Telekomunikasi di Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Kominfo. (Foto: Kominfo)

Aju Widyasari, Direktur Telekomunikasi di Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Kominfo. (Foto: Kominfo)

“Karena sudah ada link antara pendaftaran di penyelenggara telekomunikasi dengan Dukcapil. Sudah diamankan dari sisi pengguna dari setiap kartu atau sim card yang didaftarkan,” ujar Aju.

Selain itu Kominfo juga membuka berbagai saluran yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan pengecekan secara mandiri.

“Salah satu yang sudah disiapkan adalah channel cekrekening.id dan aduannomor.id. Disini semua yang akan mengakses atau mengecek blacklist number bisa dilakukan melalui aduannomor.id. Nomor-nomor yang sudah di-blacklist, yang diindikasi melakukan tindak pidana bisa dicek disitu. Demikian juga dengan cekrekening.id,” tambahnya.

Kominfo mencatat, sejak Januari hingga 2 Agustus 2022 ini sudah ada lebih dari 44 ribu aduan terkait penipuan digital.

Aju mengatakan literasi digital memiliki peranan penting dalam mengatasi persoalan mengenai penipuan digital.

“Karena di ujung akhir adalah bagaimana masyarakat bisa merespon apapun yang mereka alami, ketika mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang baru dikenal atau tidak dikenal sama sekali,” kata Aju lagi.

Riset yang dilakukan sejumlah peneliti menemukan lebih 98 persen orang pernah menerima pesan penipuan digital melalui gawainya. (Foto: Reuters)

Riset yang dilakukan sejumlah peneliti menemukan lebih 98 persen orang pernah menerima pesan penipuan digital melalui gawainya. (Foto: Reuters)

Kepastian Hukum Penting

Berbeda dengan Aju, Anggota Komisi I DPR RI Junico Bisuk Partahi Siahaan mengatakan bahwa kunci utama dalam memberantas masalah penipuan digital bukanlah terletak pada literasi para konsumen melainkan penegakan hukum.

“Jadi kalau dibilang literasi digital, penipuan ini ada di Amerika, ada di Singapura ada di Inggris. Menurut saya, literasi digital perlu tetapi bukan yang paling tinggi. Yang paling tinggi adalah mengenai kepastian hukum,” kata wakil rakyat yang lebih akrab dipanggil Nico Siahaan ini.

Anggota Komisi I DPR RI Junico Bisuk Partahi Siahaan. (Foto: DPR)

Anggota Komisi I DPR RI Junico Bisuk Partahi Siahaan. (Foto: DPR)

Karena penegakan hukum, menurut Nico penting kemudian ditentukan siapa yang berhak menanganinya. Nico membayangkan sebuah satuan tugas khusus yang dibentuk presiden, di mana Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kepolisian, kejaksaan, PPATK, dan lembaga terkait lain turut terlibat.

Nico juga mempertanyakan, sosialisasi yang dilakukan Kominfo terkait saluran-saluran yang disampaikan Aju tadi.

“Saya saja tidak tahu. Saya enggak tahu aplikasi cekrekening.id itu tadi ada. Kalau ada mungkin saya pakai. Mungkin sosialisasinya kurang,” kata dia.

Belajar dari E-Commerce

Perdagangan elektronik sebenarnya memiliki potensi penipuan juga. Namun, menurut Rofi Uddarojat, Kepala Humas dan Relasi Pemerintah, Asosiasi Perdagangan Elektronik Indonesia (idEA), potensi itu dicegah melalui skema yang menghubungkan pembeli serta penjual.

Dalam jual-beli daring, hubungan antara penjual dengan pembeli adalah relasi yang tidak seimbang. Pembeli harus mengirim uang, sementara penjual masih memegang barang yang sudah dibayar itu, dan memiliki peluang untuk tidak mengirimkan barangnya.

“Secara inovasi bisnis, munculnya beberapa platform yang memfasilitasi adanya rekening bersama. Di mana relasi yang tidak berimbang tadi, kemudian diseimbangkan dengan rekening bersama,” kata Rofi dalam diskusi tersebut.

“Uang itu akan dikirimkan dan ditahan oleh platform, kemudian nanti ketika barangnya sudah diterima, tidak ada komplain, baru uang diteruskan. Itu membuat suatu praktik perdagangan online yang lebih berimbang. Semua punya hak dan kewajiban masing-masing, baik konsumen maupun penjual,” jelas Rofi. [ns/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan