7 Cerpen Remaja tentang Pendidikan, Motivasi, dan Kehidupan

7 menit

Membaca cerpen remaja bisa menjadi suatu pembelajaran dan mungkin dapat menyadarkanmu akan arti kehidupan. Yuk, lihat beragam cerpennya pada artikel ini!

Dilansir dari situs repository.untag-sby, remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan dan juga masa peralihan antara masa anak-anak ke masa dewasa.

Perkembangan yang dimaksud mencakup perkembangan fisik, intelektual, emosi, dan sosial.

Tentunya, melihat cerpen singkat tentang kehidupan remaja dapat membuatmu mengerti akan berharganya hidup yang mungkin belum Property People ketahui sebelumnya.

Banyak sekali kumpulan cerpen remaja yang beredar di berbagai platform. 

Melansir dari banyak sumber, kali ini 99.co Indonesia telah menghimpun contoh cerpen remaja yang bisa kamu simak dalam uraian di bawah ini.

Contoh Cerpen Remaja

remaja

1. Menjauhi Pergaulan Bebas

“Pulang sekolah mau langsung ke rumah?” tanya Adin pada Ama setelah jam pelajaran usai. Ama yang sedang memberesi alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas menoleh ke arah asal suara.

“Langsung pulang. Besok ulangan,” jawabnya dingin.

“Minggu lalu nggak ikut kumpul bareng kita. Minggu ini mau bolos nongkrong lagi?” Adin menyelidik.

“Aku nggak sempet nongkrong bareng geng, Din. Aku harus bagi waktu buat belajar dan nungguin papa di rumah sakit,” wajah Ama mendadak sedih. Ayahnya baru saja mengalami kecelakaan dan Ama mendapatkan tugas menjaga bergantian dengan ibunya.

“Nggak seru, Ma,” Adin langsung berlalu meninggalkan Ama. Ia merogoh sesuatu dari kantongnya dan mengeluarkan korek. Adin merokok. Meskipun jam sekolah sudah selesai, seharusnya siswa tetap menjaga etika dan tidak melakukan hal-hal negatif. Mungkin saja Adin sudah tidak sabar untuk merokok.

Ama menghela nafas panjang. Jujur saja, sebenarnya ia tidak menemukan hal positif dari pertemanannya. Ia kira bergabung dengan murid terpintar akan membuatnya terbawa semangat belajar. Tapi ternyata tidak. Ia justru banyak diajak untuk jalan-jalan dan makan di luar, sehingga waktu belajarnya terbuang. Dari kejauhan terlihat Adin menyapa teman-temannya dan bergegas pergi. Ia melihat Ama sebentar sebelum akhirnya membuang muka.

“Kok jadi jarang kumpul sama Adin?” tanya Bino memecah lamunan Ama.

“Pada lagi sakit, Bin. Hari ini giliranku jagain sambil belajar buat ulangan besok,” jawab Ama.

“Bagus, deh. Aku dukung kamu. Kemarin Adin dan temen-temen gengnya beli miras. Nggak tau mereka mau apa,” ujar Bino membuat Ama terperanjat.

“Mm..aku duluan, deh,” Ama segera meninggalkan Bino karena terkejut dengan apa yang dikatakannya. Ama tidak menyangka bahwa Adin akan bertindak sejauh itu. Ama pun beranjak dari tempatnya dan berjalan ke rumah sakit. Di sana ada papanya yang sudah menunggu. Sembari menunggu papanya, Ama mengeluarkan buku dan mulai belajar. Tidak sengaja matanya menangkap layar televisi.

“Ada apa, Nak?” tanya papa Ama.

Ama menatap layar tanpa berkedip. Ada Adin sedang digiring polisi karena membawa minuman keras bersama pelajar lainnya. Mata Ama berkaca-kaca. Untunglah ia menolak diajak tadi. Tidak terbayangkan jika ia menuruti Adin, pasti ia juga sedang berada di sana.

2. Terbalik

Gadis itu terpaku. Matanya sinis terhadap apa yang ia lihat. Ia melihat sosok gadis seumuran dengannya bermanja ria dengan orang tuanya duduk di resto. Ia yang melihat pemandangan dari luar cafe itu hanya bisa berdiam.

“Kamu kenapa, Ri?,” sapaan temannya menghentikan lamunannya

“Gak apa-apa, ayo kita ke rumah Jihan!” Riri ceria kembali dan menyembunyikannya dari teman-temannya.

Gadis berusia 15 tahun itu menguncir rambutnya sambil jalan. Sifatnya yang ceria membuat siapa pun senang berteman dengannya.

Ia pun disegani guru-guru karena pintar dan sopan. Tapi, tanpa orang-orang sadari, ia memiliki lubang hitam di hatinya yang belum terlihat oleh siapa pun.

Jarak antara SMP dan rumah Jihan hanya beberapa meter. Alhasil mereka hanya jalan dan masuk ke kompleks rumah. Pada saat perjalanan pulang, Jihan yang berjalan di depan menghentikan langkah.

“Ri! Ri! Itu bapak kamu kan?” Jihan menunjuk mobil yang ditumpangi bapaknya Riri. Terlihat juga ada seorang wanita muda yang duduk di jok sampingnya.

Riri berdiam lalu kembali berlari ke arah sekolah. Ia tak mau melewati mobil ayahnya yang sedang bersama wanita selingkuhan.

Sontak teman-temannya pun mengejar dan merasa kebingungan. Mereka memanggil-manggil Riri, tapi tak digubris.

Sampai akhirnya di taman sekolah yang sudah sepi, mereka menemukan Riri tersungkur di pojok dinding taman.

“Tenang ya, Ri,” ujar Hana.

“Kita bakal bantu kamu kok apa pun yang terjadi,” ujar Jihan sambil memeluk Riri.

Pada hari itu, menjadi hal yang akan diingat oleh Riri. Bahwa masa mudanya tidak selalu berjalan mulus.

Akan selalu ada kepedihan yang akan diingat. Satu di antarnya ialah masalah keluarganya. Untungnya teman-teman Riri bisa diandalkan. Riri pun menjadi tenang kembali.

3. Berbeda Jalan

Sari melangkahkan kaki dengan tergesa. Ia sudah terlambat 10 menit dari jadwal busnya hari ini, sehingga ia tertinggal bus jemputan. Ia perlu keluar dari gerbang kompleks dan mencari ojek.

Hari ini semakin sial,  tidak ada satu pun ojek di pangkalan. Hari Senin seperti ini memang biasanya menjadi sangat sibuk, begitu pun tukang ojek. Di seberang jalan, ia melihat sosok lelaki yang menertawakan raut wajahnya. Sari semakin mendengus kesal, lelaki itu semakin menertawakannya. Dialah Ario.

Ario dengan motornya mendatangi Sari di seberang Jalan dan menawarkan untuk mengantarnya. Awalnya Sari menolak, karena pasti Ario, teman masa kecilnya  akan mengejeknya habis-habisan di jalan.  Tapi, di saat tergesa, akhirnya Sari pun menerima ajakan Ario.

“Gimana rasanya terlambat sekolah?” Tiba-tiba Ario bertanya saat di perjalanan.

“Ya sama aja kayak kamu terlambat ke turnamen lah.” Jawab Sari asal-asalan.

“Aku sih gak pernah terlambat turnamen, Sar. Hahaaa”

“Bodo amat, cepet ngebut!” Ario pun yang terkekeh kembali mengencangkan gasnya.

Ario memang atlet bulu tangkis yang sudah tidak pernah sekolah umum sejak SMP. Ia memilih fokus untuk menjadi atlet dan memilih home schooling. Dari teman masa kecil Sari, Ariolah yang sudah memantapkan diri menjadi apa yang ia mau. Walau berbeda jalan dengan Sari, Ario selalu menemukan cara untuk menikmati masa remajanya.

Sesampainya di sekolah, Ario mengucapkan,

“Belajar yang rajin ya Bu Dokter!” Sari tersenyum, sambil terkekeh. Merasa senang dan puas, entah mengapa.

Cerpen Singkat tentang Kehidupan Remaja

4. Perpustakaan Kota

Aku menaiki anak tangga perpustakaan itu. Dengan seragam putih abu-abu yang sudah lusuh karena seharian beraktivitas di sekolah, aku memaksakan untuk menukarkan buku di perpustakaan kota.

Buku ber-cover warna biru putih itu sudah lama belum aku kembalikan. Jika aku menundanya lagi, sudah pasti tunggakanku makin banyak.

Aku tak selesai membacanya karena hanya berisi cerpen remaja yang remeh temeh tentang cinta. Setelah sampai ke meja pustakawan, terlihat pustakawan sudah siap-siap mau pulang.

Segera, aku bilang untuk memberitahu ingin mengembalikan buku. Hanya saja, ibu pustakawan yang sudah beruban itu bilang, “Diurus sama mas yang itu, ya. Lagi magang dia. Reno, sini, No”. Sosok tinggi berusia 20 tahunan itu pun langsung menghampiri meja pustakawan. “Ibu pulang duluan ya, No. Anak bakal rewel nih“.

“Ah iya bu,” lelaki itu hanya tersenyum sopan. Lantas ibu itu pergi keluar dan menyisakan kami berdua.

“Bidhari, ya.. tunggakannya Rp20.000,” ujarnya sambil mengecek di layar komputer. Aku serahkan uang itu kepadanya, lantas ia tersenyum sambil menerima uangku, “Namanya bagus”.

“Terima kasih, Mas,” hanya itu yang bisa kuucapkan karena terlalu salah tingkah dengan pujian yang aku terima. Pasalnya, baru pertama kali ada yang memuji namaku.

Segera aku berbalik arah dan mencoba tidak berbalik. Namun, ia memanggil dan menyusulku. Ia pun menghalangi jalanku dengan postur tubuhnya.

“Kartu perpusnya ketinggalan, Dek,” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali kikuk dan mengucapkan terima kasih.

Sepertinya kikukku terlihat jelas olehnya. Segera kupercepat langkah juga. Namun, saat perjalanan pulang, aku terus memikirkannya.

Inikah yang dirasakan para tokoh-tokoh remaja di buku cerpen remaja saat jatuh cinta? Sekarang, aku menjadi tahu apa yang harus kulakukan, sesering mungkin ke perpustakaan kota.

5. Fans Cinta

Hari pertama masuk sekolah SMA, aku bertemu dengan kakak OSIS yang menurutku sangat keren. Waktu itu adalah hari Senin, dan sedang diadakan upacara pembukaan bagi peserta didik baru di SMA itu, aku melihat dia menggunakan almamater OSIS dan baris di sebelah kiri lapangan.

Aku sangat berharap kalau nanti dia yang akan menjadi koordinator kelasku. Akhirnya doaku pun terkabul, yang menjadi koordinator kelasku adalah Kak Raka yang keren itu dan Kak Tuning.

MOS hari pertama kelasku sangat sepi, mungkin karena belum pada kenal dengan teman-teman satu kelasnya. Hari itu juga aku disuruh memperkenalkan diriku di depan kelas.

Aku sangat grogi di depan kelas karena aku tidak terbiasa berdiri di depan kelas apalagi di sampingku ada Kak Raka, makin bertambah saja groginya. Perkenalan selesai, waktu istirahat aku gunakan untuk menyelidiki tentang Kak Raka.

Aku mengikuti Kak Raka sampai depan kelasnya. Ternyata dia anak XI.IA.2, betapa kerennya dia, sudah ganteng ditambah pintar. Saat itu aku jadi semangat belajar untuk mendapatkan kelas IPA.

Hari kedua MOS diadakan tes penjurusan, aku datang pagi-pagi sekali ke sekolah untuk meneruskan belajarku yang semalam. Pukul 7.30 tes dimulai, aku berusaha konsentrasi mengerjakan soal tes satu per satu.

Setelah dua jam, tes pun selesai, waktunya istirahat. Waktu istirahat aku bertemu dengan Kak Raka di kantin sekolah, aku menyapanya “hai Kak” sambil tersenyum, dan dia pun membalas sapaanku “hai juga, Dek” dengan senyumnya yang sangat manis.

Hari ketiga MOS sekolahku mengadakan seni gembira, kelas yang tampil diacak dan kelasku mendapat giliran pertama. Betapa tegangnya aku berdiri di atas panggung dengan teman-temanku dan disaksikan kakak kelas dari kelas 11 sampai kelas 12.

Kelasku bernyanyi dengan iringan gitar yang dimainkan oleh Kak Raka. Penampilan hari itu selesai, dilanjutkan dengan kegiatan di dalam kelas. Kami duduk lesehan di lantai sambil bernyanyi bersama Kak Raka dan Kak Tuning sampai jam pelajaran selesai.

Hari keempat waktunya demo ekskul. Aku memperhatikan satu per satu ekskul yang tampil, tapi aku tidak melihat Kak Raka ada di dalam ekskul tersebut sampai ekskul yang terakhir tampil adalah ekskul karate.

Ternyata Kak Raka ikut ekskul karate. Saat Kak Raka ditunjuk oleh pelatihnya untuk memecahkan besi, dia ke depan tepat di depan besi yang akan dipatahkan. Teman-temannya berteriak “kakak follback, kakak follback” yang tujuannya meledek Kak Raka. Tapi, Kak Raka tidak marah malah tersenyum.

Saat demo ekskul selesai, aku mendapat edaran kertas untuk memilih ekskul yang diinginkan. Tanpa berpikir lagi aku langsung memilih ekskul karate. Tanpa aku sadar aku berteriak, “Kak Raka keren!!!” dia melihatku dan berkata “terima kasih, Dek”. Aku langsung malu dan pergi ke kelas dan tidak keluar lagi.

Cerpen Remaja yang Mengandung Pesan Moral

anak remaja

6. Radio 109.1 FM

“Yuk kita dengarkan lagu Melly Goeslaw, yang berjudul ‘Ku Bahagia’. Selamat Mendengarkan!”

Lagu itu dirilis 2002 bersamaan dengan film terfenomenal pada masanya, yaitu Ada Apa dengan Cinta. Kedua ikon itu seolah mengisi masa remajaku saat itu. Dan hari ini, di penghujung 2019, aku berdiri kembali di sekolah ini, dengan radio yang sama, dan lagu yang sama. Aku takjub, ekskul radio ini masih terus bertahan, di tengah banyaknya aplikasi musik di HP siswa zaman sekarang.

Apabila tak ada keperluan untuk legalisir ijazah, tak mungkin aku mendengarkan lagi siaran-siaran dari radio sekolah ini. Lagu itu seolah membawaku bagaimana aku masih aktif di radio sekolah dan menghabiskan masa mudaku dengan teman-teman. Masa itu seolah memanggilku kembali.

Di lorong sekolah menuju kantor, dahulu  tidak ada atapnya. Sekarang dilengkapi atap berwarna biru tua. Memang benar, sekolah ini sudah bermetamorfosis sempurna. Aku jadi teringat ketika dahulu kehujanan basah kuyup dari kantor sampai ruangan kelas sehabis mengantarkan tugas.

Kemudian secara tiba-tiba, Pak Mustofa mendatangiku. Pak Mustofa merupakan guru seni yang menjabat juga sebagai pembina radio. Keriputnya kini semakin banyak, tetapi, gaya dan jiwanya tak pernah kelihatan tua. Setelah saling bertukar kabar, ia pun mengantarkanku pula ke ruang TU.

“Inikan lagu kesukaan mu sama gengmu, ya, Nay”

“Yaampun, Bapak, masih inget aja.”

“Mereka pada gimana, Nay sekarang? Resti, Kiki, dan Lia?”

“Baik-baik, Pak” Jawabku singkat, “Sepertinya..” jawabku dengan suara pelan.

Aku jadi teringat mereka bagaimana menghabiskan masa SMA dengan suka duka. Mengerjakan tugas bareng, ke kantin bareng, mengurusi segala hal tentang radio, sampai lulus bareng dan kita masing-masing tak tahu kabar lagi. Entah mengapa aku menjadi rindu hal tersebut. Setelah dari sini, aku putuskan untuk mencari mereka dan mengembalikan masa remajaku. Apa pun yang terjadi.

7. Jono dan Kepala Sekolah

Lelaki bertubuh agak gempal itu sering kali memasuki sekolah tanpa atribut lengkap. Ditambah selalu mengeluarkan baju seragamnya. Ia pun berteman dengan anak-anak nakal yang terkadang suka rusuh di sekolah. Tetapi, ia pintar bukan kepalang. Semua orang mengetahuinya saat pertama kali MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) di SMP ku. Pasalnya, ia adalah orang yang berani bersuara tentang kebijakan MPLS.

“Maaf Kak, saya izin bertanya. Untuk apa ya kami disuruh bawa semua barang ini? Apalagi barang-barang ini cukup banyak dan harganya di atas Rp.10.000. Kalau ada orang yang kurang beruntung, bagaimana?”

Kakak-kakak OSIS itu mencoba menjelaskan sedetail mungkin, tapi tetap saja suara riuh peserta MPLS membuat OSIS juga terbungkam. Alhasil, barang-barang yang tadinya dikatakan akan dijadikan hadiah bagi para peserta terbaik, menjadi tidak wajib untuk dibawa oleh peserta. Hanya peserta yang mampu saja yang diwajibkan untuk membelinya.

Ialah Jono yang berani mempertanyakan kebijakan itu. Selama MPLS, ia tetap mengikuti peraturan sekolah, hanya saja ia berani mengeluarkan unek-uneknya secara langsung di depan panitia. Setelah seminggu, akhirnya MPLS pun selesai. Saat upacara penutupan, Jono dipanggil ke depan lapangan oleh Kepala Sekolah.

“Ananda bernama Jono Laksono, silahkan keluar dari barisan. Dan ke depan”

Sontak semua peserta, panitia, dan guru-guru pun saling berpandang. Awalnya Jono ragu untuk mendatangi Kepala Sekolah di depan halaman, namun akhirnya ia memberanikan diri. Orang-orang menyangka, Jono akan ditegur atau dihukum karena membantah pada saat MPLS. Tapi, ternyata..

“Terima kasih, Jono. Kamu sudah mengkritik beberapa hal yang tidak etis saat adanya MPLS ini.” Pak Kepala Sekolah justru mengucapkan terima kasih di depan semua orang dan sehabis itu menyalami Jono.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdapat tepuk tangan lalu menjadi riuh. Aku ingat saat itu Jono sangat senang. Sampai saat ini, ketika ia berdiri di lapangan lagi karena memenangkan lomba Sains, aku tersenyum. Aku mengingat obrolan dengannya waktu pertama kali bertemu saat MPLS.

“Jangan terlalu menilai dari kulitnya. Tidak ada yang tahu, isinya arang atau emas” Ujar Jono kala aku menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya.

***

Semoga artikel ini bermanfaat untuk kamu ya, Property People.

Jangan lupa untuk pantau terus artikel yang tak kalah menarik lainnya lewat Berita 99.co Indonesia.

Jangan lupa, kunjungi 99.co/id dan Rumah123.com yang selalu #AdaBuatKamu untuk menemukan hunian impian.

Di sana, ada berbagai penawaran properti menarik seperti kawasan Clarity House.

Artikel ini bersumber dari www.99.co.

Tinggalkan Balasan