Ernest Layman, Simplikasi dan Standardisasi Pengelolaan Sampah secara Digital

Terobosan yang dilakukan Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem, dalam mengembangkan model bisnis pengelolaan sampah mendapat penilaian yang baik dari para juri Indonesia Young Business Leaders Award 2022 . Di kategori Young Entrepreneur & Sociopreneur, Ernest menduduki urutan ke-4.

Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem.
Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem.

Rekosistem adalah startup pengolahan sampah yang mendigitalisasi proses masyarakat membuang sampah secara bertanggung jawab, dengan cara menghubungkan user dan para waste worker. “Rekosistem adalah startup kedua saya, sebelumnya saya pernah build startup yang sebenarnya lebih menjanjikan di sektor ritel dibandingkan sektor pengelolaan sampah yang minim dari aspek profitability. Tapi dengan segala perjuangan, Rekosistem telah mendapatkan pendanaan sebelum memiliki produk pasti dan berusaha untuk terus bisa tumbuh,” Ernest menerangkan. Perusahaan ini didirikannya pada 2019.

Sebelum mendirikan perusahaan rintisan, Ernest berpengalaman di bisnis fast moving consumer goods (FMCG). Dia pernah bekerja di bagian Business Development, Sustainability, dan menempati posisi Distributor Operation Manager di Procter & Gamble.

Dari serangkaian pengalamannya berorganisasi dan berkarier terdapat beberapa skill set yang menjadi landasan leadership Ernest untuk mendirikan bisnis. Menurutnya, perkembangan leadership tidak berhenti dan terus berlanjut hingga ke kondisi yang mengharuskannya memimpin di segala aspek dan level pekerjaan, seperti yang dia lakukan di Rekosistem.

“Visi saya adalah menjadi expert di bidang ESG (environment, social, and governance) dan menciptakan sustainable ecosystem. Rekosistem berusaha menyelesaikan permasalahan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja di sektor ini,” ungkap lulusan Teknik Industri Universitas Parahyangan ini.

Gagasan mendirikan perusahaan rintisan di bidang pengolahan sampah tersebut muncul setelah dia melihat, banyak orang sering bingung, setelah memilah sampah secara bertanggung jawab, sampah ini mau dikemanakan, dengan cara apa, diolah dengan cara seperti apa? “Nah, masyarakat masih buta soal ini. Sebab, kalau berbicara sampah, terkadang bentuknya informal,” katanya.

Padahal, menurut Ernest, sampah adalah produk hasil konsumsi yang mengandung berbagai macam informasi. Misalnya, seperti apa bahan materialnya serta apa tipe dan jenis produknya. “Banyak informasi yang dikandung dalam sebuah kemasan yang bisa dihubungkan tidak hanya dengan pengelola sampah, tetapi juga dengan produsen,” dia menjelaskan.

Untuk itu, Rekosistem hadir dengan tujuan melakukan simplifikasi dan standardisasi pengelolaan sampah. Dalam artian, melalui Rekosistem, user bisa tahu berapa banyak sampah mereka yang diangkut, siapa yang akan memilah, di mana akan dikelola, dengan cara apa dikelola, dll. “Kami menghubungkan itu semua secara digital melalui dashboard di aplikasi,” ujarnya.

Kegiatan yang dijalankan Rekosistem yaitu menyediakan repickup atau jasa pengangkutan sampah. “Ini adalah objektif kami untuk mendapatkan sampah yang cukup, kemudian disetor ke tempat daur ulang, mempekerjakan waste workers individu, dan mendapatkan profit,” ungkap Ernest.

Di sini Rekosistem bekerjasama dengan pemulung (waste picker), pengepul, dan perusahaan pengangkut sampah. “Kita tahu bahwa jasa pengangkutan dan pengolahan sampah memang dikenai biaya. Selama ini kita juga membayar uang kebersihan, kan. Nah, Rekosistem melakukan charge yang sama dengan added value, tidak hanya mengangkut sampah. Rentang layanan repickup ini mulai dari free sampai premium service,” dia menjelaskan.

Lalu, terdapat drop point (Redrop), yakni fitur berupa waste station/collection point, di mana user Rekosistem dapat menyetorkan sampah anorganik secara mandiri. “Redrop ini kami taruh di beberapa titik di Jakarta, tidak hanya untuk membantu user membuang sampah, tapi juga membantu tempat publik untuk mengaplikasikan pengelolaan sampah secara bertanggung jawab guna meningkatkan penyerapan sampah daur ulang,” tuturnya.

Redrop saat ini sudah berada di Rekosistem HQ, Stasiun MRT Blok M, Komunal 88, SPBU Shell Gatot Subroto, dan Golf Island. “Ke depan akan kami tambahkan titik Redrop,” ujarnya.

Tentu saja, dalam menjalankan bisnis startup itu, Ernest pun harus menghadapi sejumlah kendala. Menurutnya, tantangan utama Rekosistem adalah menjalankan bisnis yang baik dengan model tersebut.

“Sampah identik dengan hal yang kotor. Nah, tantangannya adalah bagaimana kita memiliki motivasi dan mindset yang sama bahwa sampah tidak buruk. Tantangan ini baru bisa diselesaikan jika kita punya sistem yang terstruktur. Misalnya, membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman,” katanya.

Tantangan kedua adalah persepsi user. User sering berpikir buang sampah itu seharusnya gratis.

“Menurut saya, itu kurang tepat. Yang namanya jasa itu pasti harus ada biayanya, termasuk jasa pengolahan sampah. Bagaimana waste workers mau bekerja dengan produktif kalau margin-nya sangat sulit didapat dan masyarakat tidak mau bayar? Kalau orang mau beli sesuatu dengan harga mahal, ia juga harus bertanggung jawab dengan sampah konsumsinya untuk menjaga kelestarian lingkungan,” Ernest menjelaskan.

Tantangan selanjutnya, bagaimana bisa terus berinovasi di margin yang sempit ini. Menurutnya, bisa dibilang, sampah itu highly operation tapi value per volume-nya rendah.

Tantangan lainnya adalah membuat cost structure dan business model yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dan mencapai efisiensi dalam bisnis.

Hingga akhir 2021, Ernest mengungkapkan, Rekosistem telah menghasilkan Gross Merchandise Value (GMV) sekitar US$ 50 ribu per bulan. Pertumbuhannya mencapai 30% dari bulan ke bulan. Startup ini juga telah mendaur ulang lebih dari 400 ton sampah dan mampu tracking 2.200 ton sampah untuk dihindarkan dari pembuangan sembarangan. Saat ini, Rekosistem mengelola sampah lebih dari 11 ribu rumah dan 25 tempat publik setiap bulan. (*)

Jeihan Kahfi Barlian

www.swa.co.id

Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Terobosan yang dilakukan Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem, dalam mengembangkan model bisnis pengelolaan sampah mendapat penilaian yang baik dari para juri Indonesia Young Business Leaders Award 2022 . Di kategori Young Entrepreneur & Sociopreneur, Ernest menduduki urutan ke-4.

Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem.
Ernest Layman, CEO dan Co-founder Rekosistem.

Rekosistem adalah startup pengolahan sampah yang mendigitalisasi proses masyarakat membuang sampah secara bertanggung jawab, dengan cara menghubungkan user dan para waste worker. “Rekosistem adalah startup kedua saya, sebelumnya saya pernah build startup yang sebenarnya lebih menjanjikan di sektor ritel dibandingkan sektor pengelolaan sampah yang minim dari aspek profitability. Tapi dengan segala perjuangan, Rekosistem telah mendapatkan pendanaan sebelum memiliki produk pasti dan berusaha untuk terus bisa tumbuh,” Ernest menerangkan. Perusahaan ini didirikannya pada 2019.

Sebelum mendirikan perusahaan rintisan, Ernest berpengalaman di bisnis fast moving consumer goods (FMCG). Dia pernah bekerja di bagian Business Development, Sustainability, dan menempati posisi Distributor Operation Manager di Procter & Gamble.

Dari serangkaian pengalamannya berorganisasi dan berkarier terdapat beberapa skill set yang menjadi landasan leadership Ernest untuk mendirikan bisnis. Menurutnya, perkembangan leadership tidak berhenti dan terus berlanjut hingga ke kondisi yang mengharuskannya memimpin di segala aspek dan level pekerjaan, seperti yang dia lakukan di Rekosistem.

“Visi saya adalah menjadi expert di bidang ESG (environment, social, and governance) dan menciptakan sustainable ecosystem. Rekosistem berusaha menyelesaikan permasalahan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja di sektor ini,” ungkap lulusan Teknik Industri Universitas Parahyangan ini.

Gagasan mendirikan perusahaan rintisan di bidang pengolahan sampah tersebut muncul setelah dia melihat, banyak orang sering bingung, setelah memilah sampah secara bertanggung jawab, sampah ini mau dikemanakan, dengan cara apa, diolah dengan cara seperti apa? “Nah, masyarakat masih buta soal ini. Sebab, kalau berbicara sampah, terkadang bentuknya informal,” katanya.

Padahal, menurut Ernest, sampah adalah produk hasil konsumsi yang mengandung berbagai macam informasi. Misalnya, seperti apa bahan materialnya serta apa tipe dan jenis produknya. “Banyak informasi yang dikandung dalam sebuah kemasan yang bisa dihubungkan tidak hanya dengan pengelola sampah, tetapi juga dengan produsen,” dia menjelaskan.

Untuk itu, Rekosistem hadir dengan tujuan melakukan simplifikasi dan standardisasi pengelolaan sampah. Dalam artian, melalui Rekosistem, user bisa tahu berapa banyak sampah mereka yang diangkut, siapa yang akan memilah, di mana akan dikelola, dengan cara apa dikelola, dll. “Kami menghubungkan itu semua secara digital melalui dashboard di aplikasi,” ujarnya.

Kegiatan yang dijalankan Rekosistem yaitu menyediakan repickup atau jasa pengangkutan sampah. “Ini adalah objektif kami untuk mendapatkan sampah yang cukup, kemudian disetor ke tempat daur ulang, mempekerjakan waste workers individu, dan mendapatkan profit,” ungkap Ernest.

Di sini Rekosistem bekerjasama dengan pemulung (waste picker), pengepul, dan perusahaan pengangkut sampah. “Kita tahu bahwa jasa pengangkutan dan pengolahan sampah memang dikenai biaya. Selama ini kita juga membayar uang kebersihan, kan. Nah, Rekosistem melakukan charge yang sama dengan added value, tidak hanya mengangkut sampah. Rentang layanan repickup ini mulai dari free sampai premium service,” dia menjelaskan.

Lalu, terdapat drop point (Redrop), yakni fitur berupa waste station/collection point, di mana user Rekosistem dapat menyetorkan sampah anorganik secara mandiri. “Redrop ini kami taruh di beberapa titik di Jakarta, tidak hanya untuk membantu user membuang sampah, tapi juga membantu tempat publik untuk mengaplikasikan pengelolaan sampah secara bertanggung jawab guna meningkatkan penyerapan sampah daur ulang,” tuturnya.

Redrop saat ini sudah berada di Rekosistem HQ, Stasiun MRT Blok M, Komunal 88, SPBU Shell Gatot Subroto, dan Golf Island. “Ke depan akan kami tambahkan titik Redrop,” ujarnya.

Tentu saja, dalam menjalankan bisnis startup itu, Ernest pun harus menghadapi sejumlah kendala. Menurutnya, tantangan utama Rekosistem adalah menjalankan bisnis yang baik dengan model tersebut.

“Sampah identik dengan hal yang kotor. Nah, tantangannya adalah bagaimana kita memiliki motivasi dan mindset yang sama bahwa sampah tidak buruk. Tantangan ini baru bisa diselesaikan jika kita punya sistem yang terstruktur. Misalnya, membuat lingkungan kerja yang aman dan nyaman,” katanya.

Tantangan kedua adalah persepsi user. User sering berpikir buang sampah itu seharusnya gratis.

“Menurut saya, itu kurang tepat. Yang namanya jasa itu pasti harus ada biayanya, termasuk jasa pengolahan sampah. Bagaimana waste workers mau bekerja dengan produktif kalau margin-nya sangat sulit didapat dan masyarakat tidak mau bayar? Kalau orang mau beli sesuatu dengan harga mahal, ia juga harus bertanggung jawab dengan sampah konsumsinya untuk menjaga kelestarian lingkungan,” Ernest menjelaskan.

Tantangan selanjutnya, bagaimana bisa terus berinovasi di margin yang sempit ini. Menurutnya, bisa dibilang, sampah itu highly operation tapi value per volume-nya rendah.

Tantangan lainnya adalah membuat cost structure dan business model yang berguna untuk meningkatkan produktivitas dan mencapai efisiensi dalam bisnis.

Hingga akhir 2021, Ernest mengungkapkan, Rekosistem telah menghasilkan Gross Merchandise Value (GMV) sekitar US$ 50 ribu per bulan. Pertumbuhannya mencapai 30% dari bulan ke bulan. Startup ini juga telah mendaur ulang lebih dari 400 ton sampah dan mampu tracking 2.200 ton sampah untuk dihindarkan dari pembuangan sembarangan. Saat ini, Rekosistem mengelola sampah lebih dari 11 ribu rumah dan 25 tempat publik setiap bulan. (*)

Jeihan Kahfi Barlian

www.swa.co.id

Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan