tribun-nasional.com – Hanya saja, ia melihat keputusan Kemenhub menetapkan besaran biaya sewa aplikasi ojol menjadi 15 persen dari semula 20 persen akan memunculkan masalah baru. Sebab biaya sewa aplikasi sejatinya digunakan untuk pengembangan dan pemeliharaan teknologi, biaya sales, marketing, promosi kepada pelanggan, termasuk juga insentif kepada mitra driver serta inovasi lainnya.
Menurutnya, biaya sewa aplikasi ojol seharusnya tidak perlu diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang dilakukan dengan Aplikasi.
“Keputusan pemangkasan fee akan membuat aplikator berada dalam situasi yang sulit. Di satu sisi, mereka harus memberikan pelayanan kepada konsumen, dan di sisi lain juga harus memberikan nilai tambah bagi mitra driver. Karena itu, kalau biaya sewa aplikasi ini dikurangi, maka akan menyebabkan beberapa layanan yang sudah dibuat aplikator menjadi tidak maksimal,” kata Nailul.
Dampak signifikan dari pemangkasan biaya sewa aplikasi ojol itu, lanjut Nailul, juga akan menurunkan benefit untuk konsumen, seperti layanan, promo, dan sebagainya. Hal itu tentu bisa menurunkan minat masyarakat untuk menggunakan ride hailing.
Sebagai contoh perlindungan konsumen seperti asuransi, layanan fitur bantuan, teknologi yang membantu melindungi kerahasiaan data pribadi dan contoh lain yang menunjang operasional pengendara dalam menjamin kepuasan konsumen. Penurunan biaya akan sangat mempengaruhi kemampuan aplikator untuk mengembangkan fitur-fitur tersebut.
“Ketika benefit berkurang, permintaan terhadap ojek online otomatis akan menurun juga. Jika ini terjadi, maka akan berbahaya bagi mitra driver karena pendapatan mereka berkurang. Inilah mengapa pemangkasan biaya sewa aplikator ojol bisa berdampak luas dan imbasnya ke jutaan orang yang mata pencahariannya bergantung pada ojol ini,” imbuh Nailul.
Jadi menurutnya, adanya pemotongan biaya sewa aplikasi ojol ini bisa menjadi kontradiktif bagi mitra driver. Para mitra berharap kenaikan tarif akan diikuti dengan peningkatan pendapatan, namun justru yang terjadi konsumen yang menggunakan jasanya menurun.
“Situasi ini bisa terjadi karena aplikator akan menaikkan tarif ke ambang batas atas. Hal itu tentu akan membuat konsumen berpikir ulang untuk menggunakan ojol dalam aktivitas mereka sehari-hari yang artinya bisa berdampak permintaan layanan ojol,” lanjutnya.
Pemangkasan biaya sewa aplikasi ojol juga bisa berimbas pada industri ride-hailing di Indonesia sendiri. Di beberapa negara, kasus seperti ini cukup berimbas terhadap industri ride-hailing, seperti yang terjadi di Tanzania April 2022 lalu. Saat itu pemerintah pengatur biaya komisi dari 25 persen ke 15 persen. Karena pendapatan dari komisi tidak bisa menutup biaya operasional, Uber akhirnya berhenti beroperasi di negara tersebut. Kompetitornya, Bolt juga menghentikan layanan ride-hailing ke pelanggan dan hanya memberikan layanan ke korporat.
“Jangan sampai hal itu terjadi di Indonesia. Jadi intinya adalah biarlah aplikator yang menentukan biaya sewa atau komisi aplikasi. Dengan begitu, nantinya biaya ini bisa digunakan untuk layanan yang lebih baik ke konsume, inovasi yang lebih keren, asuransi yang memberikan rasa aman, dan campaign-campaign yang bisa mensejahterakan mitra driver,” pungkasnya.