tribun-nasional.com – Seluas 263 ribu hektare tanah adat di Provinsi Kalimantan Selatan diajukan ke pemerintah untuk mendorong kebijakan pengakuan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya.
“Tanah adat ini tersebar pada 237 titik wilayah adat di Provinsi Kalsel,” ujar Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Provinsi Kalsel Rubi di Banjarmasin, Senin.
Dikatakan dia, dokumen luas wilayah tanah adat tersebut sudah AMAN Kalsel dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) serahkan ke Pemerintah Provinsi Kalsel dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalsel.
“Berita acara serah terima peta wilayah adat ini berlangsung pada 30 September 2022,” ujarnya.
Dengan harapan, kata Rubi, pemerintah secepatnya bisa memproses dan mengakui wilayah tanah adat di provinsi ini, sehingga terjaga tanah warisan leluhur.
Menurut Rubi, data tanah adat ini dikumpulkan dari partisipasi dan aspirasi masyarakat adat di provinsi ini, khususnya di enam kabupaten yang sudah ada pengurus AMAN tingkat kabupaten.
Enam kabupaten tersebut adalah Kabupaten Balangan, Tabalong, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tanah Laut dan Kotabaru.
“Akan menyusul dari Kabupaten Tapin dan Kabupaten Banjar,” tutur Rubi.
Dia menyampaikan, ini upaya perjuangan para generasi penerus adat di provinsi ini untuk menjaga tanah leluhurnya, khususnya tanah di pegunungan Meratus agar terus lestari dari kerusakan lingkungan yang besar, salah satunya dari pertambangan batu bara.
Karena, kata dia, masyarakat adat di provinsi ini banyak yang masih mempertahankan budaya kearifan lokal, seperti bercocok tanam dan mengadakan ritual di wilayah tanah adat.
“Ini yang harus jadi perhatian pemerintah, karena belum ada legal hukum terkait penetapan wilayah ada di provinsi kita, sedangkan di provinsi lain sudah,” ujarnya.
Langkah pihaknya ini juga berdasarkan amanah UUD 45 pasal 18B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Diperkuat juga dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
“Kita juga mendorong pemerintah daerah membuat Perda terkait ini pula,” ujar Rubi.*