tribun-nasional.com – Keraton Yogyakarta akan menggelar pameran bertajuk “Sumakala: Dasawarsa Temaram Yogyakarta”, yang dibuka pada 28 Oktober 2022 di Kompleks Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Pameran tersebut akan menyampaikan kembali peristiwa sejarah pasca-Geger Sepehi. Saat itu adalah masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
“Momentum ini upaya Keraton Yogyakarta untuk merekonstruksi ulang kisah-kisah Sultan terdahulu,” ujar Penghageng KHP Nitya Budaya Keraton Yogyakarta GKR Bendara di Yogyakarta, Senin (17/10/2022), melalui keterangannya, seperti dikutip Kompas.com dari .
Bendara mengakui, menggelar pameran tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi Keraton Yogyakarta dan tim penyelenggra.
Sebab, sebab pasca- peristiwa Geger Sepehi (1812), keraton yang megah menjadi porak-poranda.
“Sumber-sumber mengenai pemerintahan keraton pada awal abad ke-19 praktis tidak banyak ditemukan. Di sinilah keraton mencoba membaca ulang sejarah semasa 1812-1822 dan mewujudkannya dalam bentuk visual,” katanya.
Sejumlah kegiatan pendukung juga akan digelar sebagai rangkaian pameran, termasuk napak tilas kediaman putra mahkota, jelajah ruas penyerangan Geger Sepehi, hingga diskusi dan lokakarya yang berkaitan dengan tema pameran.
“Sebagai institusi budaya sekaligus museum yang inklusif, Keraton Yogyakarta juga menggandeng komunitas untuk bekerja sama dalam penyelenggaraan pameran,” tutur Bendara.
Masa temaram keraton pasca-Geger Sepehi
Dalam keterangan tersebut, Bendara juga mengatakan bahwa Keraton Yogyakarta mengalami masa yang temaram pasca-Geger Sepehi.
Saat itu, terjadi berbagai desakan politik dari Pemerintahan Inggris terhadap Sultan Hamengku Buwono III.
Hal itu, tambah dia, menyebabkan ketidakstabilan perekonomian karena seluruh biaya perang yang ditimbulkan akibat gempuran Inggris ke Yogyakarta harus ditanggung oleh keraton.
GRM Ibnu Djarot, putra mahkota saat itu yang masih belia juga terpaksa menyaksikan kondisi kacau tersebut.
Termasuk, menyaksikan ketika ayahnya meninggal dunia setelah dua tahun bertakhta, sehingga putra mahkota yang kala itu masih berusia 10 tahun harus menggantikan kedudukan Sultan dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
Kendati keduanya menghadapi situasi sulit, namun pemerintahannya tetap mencatatkan prestasi.
“Meskipun kedua Sultan, yakni Sultan ketiga dan Sultan keempat mengalami kondisi yang sulit, tetapi berbagai prestasi dalam pemerintahan maupun pembangunan kebudayaan di keraton turut disumbangkan,” ujar Bendara.
Adapun beberapa karya pada masa kedua Sultan itu yang masih bisa dijumpai sampai sekarang antara lain tari Bedhaya Durmakina, Babad Ngayogyakarta, dan kereta-kereta kebesaran dari masing-masing Sultan.