Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan nilai ekspor Indonesia pada Juni 2022 mencapai $26,09 miliar atau naik 40,68 persen dibandingkan ekspor Juni 2022. Sedangkan nilai impor Juni 2022 mencapai $21 miliar, naik 21,98 persen dibandingkan Juni 2021. Angka ekspor dan impor tersebut menandakan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2022 mengalami surplus sebesar $5,09 miliar.
“Kalau dilihat dari tren, surplus pada bulan Juni 2022 ini merupakan surplus 25 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” tutur Margo Yuwono dalam konferensi pers daring, Jumat (15/7/2022).
Margo menjelaskan struktur ekspor sebagian besar disumbang oleh sektor nonmigas sebesar 94,13 persen dari total ekspor. Adapun yang menjadi penyumbang terbesar berasal dari industri pengolahan sebesar $18,27 miliar. Sedangkan sektor migas hanya menyumbang $1,53 miliar atau 5,87 persen dari total ekspor.
“Pendorong peningkatan ekspor untuk industri pengolahan itu berasal dari komoditas minyak kelapa sawit dan pakaian jadi dari tekstil,” tambahnya.
Tiga negara yang menjadi tujuan ekspor nonmigas terbesar adalah China senilai $5,09 miliar, disusul India $2,53 miliar dolar, dan Amerika Serikat $2,46 miliar. Sementara ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa masing-masing mencapai $5,08 miliar dan $1,68 miliar.
Dari sisi impor, bahan baku atau penolong menjadi barang yang mendominasi impor sebesar $16,23 miliar atau 77,27 persen dari total impor. Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Juni 2022 adalah China $32,08 miliar (33,17 persen), Jepang $8,35 miliar (8,63 persen), dan Thailand $5,83 miliar (6,03 persen). Sedangkan impor nonmigas dari ASEAN $16,82 miliar (17,39 persen) dan Uni Eropa $5,49 miliar (5,67 persen).
Neraca Perdagangan Surplus Sulit Berlanjut
Peneliti bidang industri, perdagangan dan investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eka Puspitawati menilai tren neraca perdagangan Indonesia yang berturut-turut surplus sulit berlanjut. Ia beralasan komoditas ekspor Indonesia yang menjadi penyumbang surplus perdagangan relatif rentan di tengah situasi global yang tidak pasti.
Eka mencontohkan peningkatan harga batu bara yang didorong peningkatan harga minyak dunia dan kondisi kebijakan China. Begitu pula, komoditas besi baja yang menjadi penyumbang ekspor ketiga rentan berfluktuasi karena industri ini ditopang oleh bahan baku impor dari China.
“Komoditas minyak dan lemak nabati yang didominasi minyak sawit masih mengalami ancaman restriksi perdagangan dari negara-negara maju,” jelas Eka kepada VOA, Sabtu (16/7/2022).
Eka menyarankan pemerintah perlu hati-hati menghadapi berbagai ancaman situasi global yang tidak pasti. Di samping itu, kata dia, pemerintah perlu mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketersediaan pangan di dalam negeri.
Sementara dari sisi energi yang masih dipasok dari impor, pemerintah perlu menggenjot kebijakan konversi energi ke nonenergi fosil dan berupaya mengurangi subsidi BBM. [sm/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.