Mafia di Mana-Mana | SWA.co.id

“Ketidakadilan di mana-mana adalah ancaman terhadap keadilan di mana-mana.”⸺ Martin Luther King Jr .

Portrait an unknown male doctor holding a stethoscope behind

Saya mohon izin kepada Dr. Handrawan Nadesul, penulis artikel dalam tanda kurung di bawah ini, untuk memuat kembali tulisannya sebagai bagian dari tulisan saya kali ini.

(“Saya sudah sejak dulu bertanya soal IDI. Wajib menjadi anggota supaya izin praktik bisa terbit. Membayar iuran, lalu STR (surat tanda registrasi) ulangan dengan kewajiban mengeluarkan sejumlah rupiah yang tidak kecil. Hitungan saya, dari hampir 100 ribu anggota IDI, uang yang terkumpul besar sekali. Tapi saya dan sejawat lain tidak merasakan uang itu kembali bagi keperluan dan kepentingan anggota. Pun tak ada audit.

Perkumpulan dokter di negara lain, sebut saja American Medical Association, atau di Inggris atau di mana-mana negara, tidak wajib menjadi anggota untuk bisa mendapat izin praktik dan sifatnya sukarela.

Kewenangan IDI bukan saja administratif, melainkan merambah domain akademis. Ikut dalam badan Konsil Kedokteran selain badan Kolegium, yang menentukan kelancaran untuk sekolah spesialis. Dua badan yang sejatinya langsung di bawah Presiden. Betapa tidak mudah menjadi spesialis, ternyata di sini kendalanya. Baru tahu konon ada apa-apanya di sini.

Juga dokter diaspora lulusan dari mana-mana menghadapi hambatan, bahkan bisa batal praktik di negerinya sendiri. Dr. Lie Darmawan, dokter kapal terapung yang dermawan itu, yang dirindukan rakyat di pelosok untuk kasus bedah, mengalami hal miris yang sama ketika minta izin praktik di negerinya sendiri.

Banyak cerita serupa dialami kolega, tapi semua tidak melawan. Bu Irma Chaniago, anggota DPR yang kemarin ikut bicara, dengan gemas sekali bilang bahwa para dokter Indonesia itu takut sama IDI. Takut tidak dikasih izin, atau diberi izin lanjutan. Begitu superpower-nya IDI, yang selama ini saya hanya menaruh curiga, kini terkuak juga.

Kesimpulan kemarin, oleh karena banyak yang tidak wajar, yang melebarkan kewenangannya, termasuk IDI merestui iklan-iklan perusahaan. Padahal, dalam Sumpah Dokter, kami tidak boleh beriklan. IDI malah melakukannya.

Bersyukur ada sejawat-sejawat yang berpikir lurus, menegakkan kebenaran, bagaimana seharusnya organisasi IDI berkiprah. Sejawat yang risau dan gelisah ini lalu mendirikan PDSI, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia. Memilih “perkumpulan” karena ketentuan hukumnya tidak boleh “ikatan”. Maka, kalau IDI masih ingin tetap hadir, perlu berubah menjadi PIDI.

Hal lain yang bikin lapang semua sejawat dokter yaitu bahwa ketentuan harus memperoleh rekomendasi IDI agar bisa mendapat izin praktik, di PDSI aturan itu tidak diperlukan lagi. Mengapa? Karena yang berhak memberikan izin praktik itu pihak pemerintah yang diwakili Dinas Kesehatan, bukan IDI. Ada atau tidak rekomendasi IDI, izin praktik tetap berlaku.)

Tulisan Dr. Handrawan ini menggambarkan suatu persekongkolan organisatoris dari suatu wadah profesi utama negeri ini. Persekongkolan kotor yang memainkan segala acara untuk menguasai suatu wilayah/bidang kehidupan tertentu, dengan sasaran untuk mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya.

Persekongkolan ini lazim kita kenal sebagai “mafia”. Suatu kata sangat terkenal yang aslinya dari negara Italia. Ingat, film Godfather, Untouchables-film perburuan Al Capone, film televisi Sopranos, kesemua tokohnya dari Italia.

Bidang apa pun, di negara ini nyaris tak ada yang luput dari permainan kotor ini, dengan rupa-rupa modus. Permainan mafia ada di mana-mana.

Telah lama kita kenal adanya mafia peradilan yang sering kasat mata, tapi terus disangkal oleh para praktisi peradilan. Ada istilah “markus” dalam mafia ini, kepanjangan dari makelar kasus. Markus adalah peran penghubung segenap pihak yang terlibat dalam kasus. Suatu peran sentral dan vital sehingga operasi mafia berjalan lancar dan aman.

Kasus mafia dalam minyak goreng terlihat dari ditangkapnya seorang Dirjen dari Kementerian Perdagangan beserta beberapa pengusaha minyak goreng terkemuka di Indonesia. Meskipun, ada beberapa pihak yang meragukan soal penangkapan Dirjen ini; siapa sebenarnya dalang utama permainan mafia ini?

Petral sudah dibubarkan. Mafia raksasa minyak bumi yang mampu mengatur stagnasi pembangunan kilang-kilang minyak di Indonesia. Merugikan negara dan rakyat ratusan triliun.

Konon, bahkan hampir di seluruh tata niaga barang-barang kebutuhan pokok, terlebih yang terkait dengan impor, terendus bau anyir mafia. “Tiada ilmu yang kebal terhadap infeksi politik dan korupsi,” kata Jacob Bronowski, ahli matematika dan filsuf Polandia-Inggris.

Perilaku kriminal mafia ini dalam kosakata bahasa Indonesia sebenarnya telah “dibakukan” dengan istilah KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Dan, telah dideklarasikan oleh yang berwenang bahwa “Indonesia anti-KKN”. Indonesia menolak KKN, sebagaimana negara ini menolak intoleranisme dan radikalisme.

“Pernyataan perang” ini ternyata dalam pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Praktik KKN masih saja berlangsung dengan masif. Mafia di mana-mana.

Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Wallahualam. Mungkin contoh IDI yang dituliskan Dr. Handrawan Nadesul dapat menjadi inspirasi dan referensi bagi peperangan membasmi KKN. Semoga. (*)

Pongki Pamungkas

www.swa.co.id

Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

“Ketidakadilan di mana-mana adalah ancaman terhadap keadilan di mana-mana.”⸺ Martin Luther King Jr .

Portrait an unknown male doctor holding a stethoscope behind

Saya mohon izin kepada Dr. Handrawan Nadesul, penulis artikel dalam tanda kurung di bawah ini, untuk memuat kembali tulisannya sebagai bagian dari tulisan saya kali ini.

(“Saya sudah sejak dulu bertanya soal IDI. Wajib menjadi anggota supaya izin praktik bisa terbit. Membayar iuran, lalu STR (surat tanda registrasi) ulangan dengan kewajiban mengeluarkan sejumlah rupiah yang tidak kecil. Hitungan saya, dari hampir 100 ribu anggota IDI, uang yang terkumpul besar sekali. Tapi saya dan sejawat lain tidak merasakan uang itu kembali bagi keperluan dan kepentingan anggota. Pun tak ada audit.

Perkumpulan dokter di negara lain, sebut saja American Medical Association, atau di Inggris atau di mana-mana negara, tidak wajib menjadi anggota untuk bisa mendapat izin praktik dan sifatnya sukarela.

Kewenangan IDI bukan saja administratif, melainkan merambah domain akademis. Ikut dalam badan Konsil Kedokteran selain badan Kolegium, yang menentukan kelancaran untuk sekolah spesialis. Dua badan yang sejatinya langsung di bawah Presiden. Betapa tidak mudah menjadi spesialis, ternyata di sini kendalanya. Baru tahu konon ada apa-apanya di sini.

Juga dokter diaspora lulusan dari mana-mana menghadapi hambatan, bahkan bisa batal praktik di negerinya sendiri. Dr. Lie Darmawan, dokter kapal terapung yang dermawan itu, yang dirindukan rakyat di pelosok untuk kasus bedah, mengalami hal miris yang sama ketika minta izin praktik di negerinya sendiri.

Banyak cerita serupa dialami kolega, tapi semua tidak melawan. Bu Irma Chaniago, anggota DPR yang kemarin ikut bicara, dengan gemas sekali bilang bahwa para dokter Indonesia itu takut sama IDI. Takut tidak dikasih izin, atau diberi izin lanjutan. Begitu superpower-nya IDI, yang selama ini saya hanya menaruh curiga, kini terkuak juga.

Kesimpulan kemarin, oleh karena banyak yang tidak wajar, yang melebarkan kewenangannya, termasuk IDI merestui iklan-iklan perusahaan. Padahal, dalam Sumpah Dokter, kami tidak boleh beriklan. IDI malah melakukannya.

Bersyukur ada sejawat-sejawat yang berpikir lurus, menegakkan kebenaran, bagaimana seharusnya organisasi IDI berkiprah. Sejawat yang risau dan gelisah ini lalu mendirikan PDSI, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia. Memilih “perkumpulan” karena ketentuan hukumnya tidak boleh “ikatan”. Maka, kalau IDI masih ingin tetap hadir, perlu berubah menjadi PIDI.

Hal lain yang bikin lapang semua sejawat dokter yaitu bahwa ketentuan harus memperoleh rekomendasi IDI agar bisa mendapat izin praktik, di PDSI aturan itu tidak diperlukan lagi. Mengapa? Karena yang berhak memberikan izin praktik itu pihak pemerintah yang diwakili Dinas Kesehatan, bukan IDI. Ada atau tidak rekomendasi IDI, izin praktik tetap berlaku.)

Tulisan Dr. Handrawan ini menggambarkan suatu persekongkolan organisatoris dari suatu wadah profesi utama negeri ini. Persekongkolan kotor yang memainkan segala acara untuk menguasai suatu wilayah/bidang kehidupan tertentu, dengan sasaran untuk mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya.

Persekongkolan ini lazim kita kenal sebagai “mafia”. Suatu kata sangat terkenal yang aslinya dari negara Italia. Ingat, film Godfather, Untouchables-film perburuan Al Capone, film televisi Sopranos, kesemua tokohnya dari Italia.

Bidang apa pun, di negara ini nyaris tak ada yang luput dari permainan kotor ini, dengan rupa-rupa modus. Permainan mafia ada di mana-mana.

Telah lama kita kenal adanya mafia peradilan yang sering kasat mata, tapi terus disangkal oleh para praktisi peradilan. Ada istilah “markus” dalam mafia ini, kepanjangan dari makelar kasus. Markus adalah peran penghubung segenap pihak yang terlibat dalam kasus. Suatu peran sentral dan vital sehingga operasi mafia berjalan lancar dan aman.

Kasus mafia dalam minyak goreng terlihat dari ditangkapnya seorang Dirjen dari Kementerian Perdagangan beserta beberapa pengusaha minyak goreng terkemuka di Indonesia. Meskipun, ada beberapa pihak yang meragukan soal penangkapan Dirjen ini; siapa sebenarnya dalang utama permainan mafia ini?

Petral sudah dibubarkan. Mafia raksasa minyak bumi yang mampu mengatur stagnasi pembangunan kilang-kilang minyak di Indonesia. Merugikan negara dan rakyat ratusan triliun.

Konon, bahkan hampir di seluruh tata niaga barang-barang kebutuhan pokok, terlebih yang terkait dengan impor, terendus bau anyir mafia. “Tiada ilmu yang kebal terhadap infeksi politik dan korupsi,” kata Jacob Bronowski, ahli matematika dan filsuf Polandia-Inggris.

Perilaku kriminal mafia ini dalam kosakata bahasa Indonesia sebenarnya telah “dibakukan” dengan istilah KKN (korupsi-kolusi-nepotisme). Dan, telah dideklarasikan oleh yang berwenang bahwa “Indonesia anti-KKN”. Indonesia menolak KKN, sebagaimana negara ini menolak intoleranisme dan radikalisme.

“Pernyataan perang” ini ternyata dalam pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Praktik KKN masih saja berlangsung dengan masif. Mafia di mana-mana.

Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Wallahualam. Mungkin contoh IDI yang dituliskan Dr. Handrawan Nadesul dapat menjadi inspirasi dan referensi bagi peperangan membasmi KKN. Semoga. (*)

Pongki Pamungkas

www.swa.co.id

Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan