Unjuk Rasa Menentang Kekerasan Senjata Terjadi Lagi di Texas

Stasiun TV San Antonio KSAT sebagaimana dilaporkan kembali oleh kantor berita AP mengatakan para anggota keluarga dari beberapa korban penembakan di SD, Uvalde turut dalam unjuk rasa minggu lalu.

Para pembicara di unjuk rasa itu mengecam tanggapan penegak hukum terhadap penembakan itu dan menyerukan transparansi dalam penyelidikan.

Penembakan massal di SD Robb Elementary School pada 24 Mei lalu telah menewaskan 19 siswa dan dua guru.

Keesokan harinya, Senin (11/7) Presiden Joe Biden di halaman Gedung Putih menunjukkan undang-undang baru untuk mengurangi kekerasan senjata, dengan mengatakan tindakan itu mencerminkan “kemajuan nyata” setelah bertahun-tahun tidak ada tindakan. Tetapi ia juga mengakui bahwa lebih banyak yang harus dilakukan di negara yang “dibanjiri senjata perang” – karena undang-undang yang baru 16 hari itu telah dibayangi oleh penembakan massal lainnya yang mengerikan.

Seorang pria berlutut pada 2 Juni 2022, di depan sebuah tempat untuk memperingati korban penembakan di Sekolah Dasar Robb pada 24 Mei, di Uvalde, Texas. (Foto: AP/Eric Gay)

Seorang pria berlutut pada 2 Juni 2022, di depan sebuah tempat untuk memperingati korban penembakan di Sekolah Dasar Robb pada 24 Mei, di Uvalde, Texas. (Foto: AP/Eric Gay)

RUU itu, yang disahkan setelah amukan senjata baru-baru ini di Buffalo, New York, dan Uvalde, Texas, secara bertahap memperketat persyaratan bagi kaum muda untuk membeli senjata, tidak mengizinkan kepemilikan senjata api yang lebih banyak bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan membantu pemerintah setempat untuk sementara mengambil senjata dari orang-orang yang dinilai berbahaya.

Namun “perayaan” pada Senin pagi itu terjadi seminggu setelah seorang laki-laki bersenjata di Highland Park, Illinois, membunuh tujuh orang pada parade Hari Kemerdekaan, sebuah pengingat yang jelas tentang batasan undang-undang baru dalam menangani fenomena kekerasan senjata massal di Amerika. Dan itu terjadi ketika gubernur dari Partai Demokrat menanggapi kemarahan dalam menghadapi kekerasan senjata.

“Karena pekerjaan Anda, advokasi Anda, keberanian Anda, nyawa Anda akan diselamatkan hari ini dan besok karena ini. Kita tidak akan menyelamatkan setiap nyawa dari epidemi kekerasan senjata. Tetapi jika undang-undang ini sudah ada bertahun-tahun yang lalu, bahkan tahun lalu, nyawa akan terselamatkan,” ujar Biden.

Pernyataan Biden diinterupsi oleh Manuel Oliver, ayah dari korban penembakan sekolah Parkland yang berteriak dari halaman Selatan Gedung Putih yang mengatakan, “Kita perlu bertindak lebih dari itu!”

Presiden Biden kemudian mengulangi seruannya pada Kongres untuk meloloskan larangan federal pada senjata serbu dan amunisi berkapasitas tinggi – atau setidaknya memerlukan pemeriksaan latar belakang dan persyaratan pelatihan yang lebih ketat sebelum pembelian.

Ia juga mengatakan Kongres harus mengesahkan undang-undang untuk meminta pertanggungjawaban pemilik senjata jika senjata mereka disimpan secara tidak benar dan digunakan untuk melakukan kekerasan.

“Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi. Hak-hak disertai tanggung jawab,” tegas Biden.

Undang-undang tersebut adalah peraturan mengenai kekerasan senjata api yang paling berdampak yang telah disetujui Kongres sejak memberlakukan larangan senjata serbu yang sekarang sudah kadaluwarsa pada tahun 1993. Namun para pendukung pengendalian senjata — dan bahkan pejabat Gedung Putih — mengatakan terlalu dini untuk menyatakan kemenangan.

Biden mengatakan pengesahan undang-undang tersebut harus menjadi seruan untuk bertindak lebih jauh guna mengurangi kekerasan senjata.

Pejabat Gedung Putih mengatakan Biden tidak melihat pengesahan RUU itu sebagai garis akhir, melainkan fondasi yang perlu dibangun. Penembakan di Illinois terjadi sembilan hari setelah penandatanganan RUU dan sekolah-sekolah di AS masih cemas dengan kemungkinan peristiwa penembakan. [my/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan