Skoura di kawasan selatan pegunungan High Atlas adalah salah satu dari sedikit oasis pohon palem yang masih dihuni di Maroko. Dengan luas lebih dari 25 kilometer persegi, sekitar 20.000 orang tinggal di antara hampir 140.000 pohon palem di sana.
Didirikan pada abad ke-12 selama kekuasaan dinasti Almohad di kerajaan Muslim Berber Afrika Utara, oasis itu dihuni oleh suku Berber Haskouren. Tak heran bila kemudian oasis itu diberi nama Skoura.
Daerah terpencil namun subur di tengah gurun itu tentu saja memiliki pohon-pohon lain, seperti kurma, zaitun dan almond. Penduduk di sana hidup bergantung pada tanaman-tanaman yang hidup di sana, terutama kurma.
Namun akhir-akhir ini mereka luar biasa resah. Menurut mereka, perubahan iklim telah menyebabkan sebagian besar pohon palem mengering dan mati, dan tanahnya retak-retak karena sangat kekurangan air.
Mustapha Laissate, ketua organisasi pertanian Asosiasi Karpet Hijau di Rabat, mengatakan, “Dewasa ini, kita melihat dampak besar perubahan iklim di oasis Skoura. Kelangkaan air telah menyebabkan penyusutan kawasan hijau di wilayah tersebut. Jumlah pohon palem, pohon zaitun, pohon pacar (henna) berkurang. Itu semua di luar produk-produk yang memiliki kaitan ekonomi erat dengan kawasan ini. Padahal, semua produk ini ditujukan untuk ekspor, baik ke Maroko Utara maupun negara-negara tetangga.”
Laissate mengatakan, Skoura dulunya terkenal sebagai produsen apel, zaitun, dan almond. Para pedagang sering datang ke sana untuk membeli dan menjualnya kembali. Kini, karena kurangnya suplai air, ekspor mereka menyusut signifikan.
Sebagian besar oasis di Maroko mendapat suplai air dari Khattara, sistem irigasi kanal bawah tanah yang memungkinkan untuk mengalirkan air tanah dan membawanya ke perkebunan berkat gravitasi.
Skoura telah menggunakan sistem irigasi Khattara sejak tahun 1980, tetapi sebagian besar air tanah kini juga telah mengering. Mustapha Mafhoume, serang petani di Skoura terpaksa menggali sumur untuk mendapatkan air. Untuk mendapatkan air, mereka terpaksa menggali hingga kedalaman 40 meter.
“Dulu sumber airnya adalah sistem Khattara. tetapi sekarang para petani terpaksa menggali sumur, dan itu pun tidak mudah. Saya sendiri telah mencoba beberapa kali menggali sumur untuk dapat menemukan air. Praktik ini sering menimbulkan masalah antara sesama petani. Kami sangat membutuhkan air. Kami ingin tetap di sini, tidak ingin pergi ke tempat lain,” jelasnya.
Kemarau telah mendorong banyak warga oasis, terutama orang-orang muda, hijrah ke kawasan-kawasan lain. Menurut Laissate, ini semakin menyulitkan usaha rehabilitasi oasis. Mereka kekurangan tenaga untuk memperluas kawasan hijau.
Menurut data resmi pemerintah, Maroko dulunya memiliki sekitar 14 juta pohon palem dan telah kehilangan dua pertiganya selama satu abad terakhir. Oasis menutupi sekitar 15 persen wilayah Maroko. [ab/uh]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.