Persoalan yang membelit pupuk sudah cukup lama dirasakan petani Indonesia. Sejak pertengahan tahun lalu, harga pupuk non-subsidi terus mengalami kenaikan. Qomarun Najmi, Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi, Serikat Petani Indonesia (SPI), mengakui perang Ukraina juga berperan.
“Bahan baku naik, otomatis harga pupuk naik. Kedua, tetap kaitan keuangan pemerintah juga sih. Kita sendiri sebagai petani melihat ada kecenderungan beberapa waktu terakhir ini ada kecenderungan untuk pengurangan subsidi,” kata Najmi kepada VOA, Selasa (19/7).
Dalam hitungan SPI, harga pupuk non-subsidi terus naik hingga hampir dua kali lipat dari harga tahun lalu. Sementara, petani yang menerima pupuk subsidi, juga mulai mengalami pengurangan. Otomatis, kebutuhan pupuk dicukup dengan membeli pupuk non-subsidi. Jalan lain, yang disebut SPI sebagai berkah, adalah naiknya penggunaan pupuk organik.
“Begitu ada kenaikan, ini jadi berkah juga. Jadi, petani beralih ke pupuk organik,”kata Najmi.
Masalahnya, petani membutuhkan proses dalam peralihan ini. Subsidi pupuk, kata Najmi, merupakan salah satu dukungan pemerintah kepada petani. Karena itu, sebenarnya perubahan kebijakan tidak bisa diterapkan dalam waktu singkat. Selain itu, Najmi juga melihat semestinya pemerintah melakukan evaluasi kekeliruan dalam skema subsidi pupuk selama ini.
“Kita juga melihat, temuan kita di lapangan, ada beberapa bentuk penyimpangan dari kebijakan pupuk subsidi ini dalam pelaksanaannya. Sehingga, sebelum ada perubahan kebijakan, seharusnya ada evaluasi terlebih dahulu, dan seharusnya ada pertanggungjawaban juga,” kata Najmi.
Permentan Baru Terkait Pupuk
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, terkait tata cara penetapan alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk subsidi di sektor pertanian. Dalam keterangan resmi di laman kementerian, kebijakan ini disebut sebagai komitmen pemerintah untuk hadir membantu petani, di tengah gejolak kenaikan harga pangan dan energi global. Penyebabnya adalah yang terganggunya rantai pasok barang dan jasa akibat situasi perang Rusia-Ukraina.
“Saat ini kita sedang memulihkan kondisi akibat COVID-19 dan juga dibebani dengan gangguan pasokan rantai global yang menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa,” kata Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil.
Indonesia dihadapkan pada gejolak geopolitik global. Perang Rusia dan Ukraina, kata Ali, turut menaikan harga pangan dan energi yang menyebabkan kenaikan biaya produksi serta menaikkan inflasi diberbagai negara.
“Point-nya adalah, dari kenaikan harga energi ini baik minyak maupun gas turut berdampak pada kenaikan harga pupuk global. Mengingat bahwa salah satu bahan pupuk mengalami kenaikan, sehingga tentu menggeret kenaikan harga pupuk dunia,” tambah Ali.
Kementan mencatat, pembatasan ekspor bahan baku pupuk menyebabkan kenaikan harga pupuk mencapai sekitar 30 persen pada 2022. Perubahan iklim dan bencana alam juga turut berkontribusi.
Dalam skema ini, petani berhak mendapatkan pupuk bersubsidi jika luas lahan maksimal 2 hektare maksimal per musim tanam dan tergabung dalam kelompok tani terdaftar. Pupuk subsidi juga diprioritaskan untuk sembilan komoditas, yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu rakyat, kakao, dan kopi. Sedangkan jenis pupuk yang disubsidi hanya urea dan NPK.
Pupuk Faktor Mutlak
Pakar pertanian dari Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Dr Jamhari menyebut pupuk sebagai syarat mutlak dalam pertanian.
“Kalau dari sisi teknis pertanian, kita tahu bahwa pupuk dalam konteks getting agriculture moving, ini menjadi syarat mutlak. Kalau tidak ada pupuk, ya pertanian tidak akan berjalan. Jadi ini menjadi essential factor atau syarat mutlak. Pupuk ini memang harus disediakan, dengan tepat,” kata Jamhari, dalam diskusi terkait subsidi pupuk di Yogyakarta, Senin (18/7)
Karena itu, kebijakan pemerintah untuk mengubah skema subsidi pupuk melahirkan pertanyaan. Apalagi, dari sisi keamanan pangan, peringkat Indonesia terus memburuk dari peringkat 62 pada 2019 menjadi 69 pada 2021. Indonesia juga memiliki mimpi menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Sesuatu yang jaraknya masih begitu jauh, jika melihat kebijakan yang diterapkan saat ini, ujar Jamhari.
Indonesia memberikan subsidi cukup besar untuk pupuk. Pada 2020 mencapai lebih Rp28 triliun, dengan serapan Rp26 triliun. Namun, penelitian Jamhari menemukan bahwa tingginya subsidi yang diserap itu, tidak seluruhnya dinikmati petani. Untuk mengontrolnya, pemerintah membuat kartu tani, tetapi jumlah kartu tani yang dibuat dan terdistribusi berbeda jauh, yang menggambarkan bahwa penerima subsidi masih kecil. Lebih buruk lagi, jumlah yang kecil itu masih diperparah dengan penyaluran yang tidak sepenuhnya kepada petani.
“Serapan sebesar ini, yang menyerap bukan petani, dan kami menemukan memang serapan-serapan ini dilakukan oleh pengecer resmi. Jadi kita tidak tahu, nanti distribusi dari pengecer resmi itu apakah ke petani yang memang berhak menerima pupuk bersubsidi ini, atau seperti apa,” kata Jamhari dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Kebijakan Pertanian UGM ini.
“Kartu Tani, bahkan itu yang memegang bukan petaninya, bukan kelompok taninya, tetapi pengecer pupuk,” lanjutnya.
Kondisi sektor pertanian saat ini, papar Jamhari, memang tidak begitu baik. Salah satunya akibat kondisi geopolitik, dalam hal ini perang yang terjadi di Ukraina. Harga pangan naik, begitu pula harga pupuk. Di sisi lain, harga jual pangan yang diterima petani naiknya sangat kecil. Artinya, petani harus membeli pupuk dengan harga lebih mahal, tetapi tidak mampu menjual produk mereka dengan kenaikan yang seimbang.
Jamhari mengingatkan, kebijakan pupuk pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap produksi pangan nasional.
“Pupuk merupakan input yang sangat penting. Apabila subsidi pupuk dihapus, maka dalam jangka pendek akan menurunkan produksi pangan,” jelasnya.
Penyaluran Penuh Masalah
Anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro dalam diskusi di Yogyakarta mengungkap sejumlah temuan tim investigasi terkait pupuk subsidi ini.
“Perdagangan pupuk bersubsidi antar daerah secara ilegal, contohnya kemarin dari Madura dijual ke Jawa Timur secara ilegal,” kata Darori mengenai temuan pertama.
Tim investigasi juga mencatat, ketersediaan pupuk tidak sesuai dengan musim tanam yang diterapkan petani. Ada juga upaya manipulasi data usulan pengajuan pupuk bersubsidi. Pengecer resmi juga menjual bebas pupuk subsidi tanpa mengacu daftar kebutuhan petani, karena seperti temuan Jamhari dari UGM tadi, Kartu Tani justru dipegang para pengecer pupuk.
Banyak pula kasus pengecer resmi yang menjual pupuk bersubsidi di atas harga eceran tertinggi. Untuk memaksimalkan penjualan, pengecer juga menjual pupuk bersubsidi secara paket dengan produk pertanian lain, sehingga petani terpaksa membeli produk itu.
Darori juga menyebut, anggaran menjadi persoalan.
“Tahun 2020, saya investigasi, anggaran yang harusnya Rp70 triliun ternyata yang disediakan pemerintah hanya Rp29 triliun. Kata pemerintah cukup. Cukup apanya,” ujarnya setengah menggugat. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.