Santi Warastuti, salah satu ibu yang turut mengajukan permohonan uji materi ini mengaku tidak kaget dengan putusan MK. Dia sudah bisa menduga penolakan itu, melihat wacana yang berkembang sebelum putusan dibacakan.
“Jadi sebetulnya enggak terlalu kaget. Tapi alhamdulillah apapun yang diputuskan hari ini, setidaknya kita sudah punya kepastian, tentang nanti apa yang akan kita lakukan. Jadi, alhamdulillah hasilnya apapun itu tetap saya syukuri dan pemerintah juga sudah mulai mendorong untuk penelitian untuk ganja medis,” katanya dalam pertemuan dengan media, Rabu (20/7) sore.
Hanya, riset mengenai ganja untuk penggunaan obat tentu membutuhkan waktu. Sementara anak Santi yang menderita cerebral palsy, membutuhkannya segera. Santi meminta pemerintah memikirkan tentang masalah waktu, ketika para orang tua harus berpacu dengan waktu.
Ibu dengan anak penderita cerebral palsy yang lain, Dwi Pertiwi juga turut mengajukan permohonan uji materi. Dia didorong oleh pengalaman merawat anaknya, dan bahwa obat-obat yang ada selama ini tidak cukup membantu.
“Pengennya sih pemerintah juga memperhatikan bahwa kebutuhan-kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang mempunyai masalah kejang yang ini perlu diperhatikan,” katanya.
“Ketika ini tidak bisa digunakan, apa dong solusinya? Terus juga bagaimana kita bisa membuat anak-anak kita itu nyaman,” tambahnya sambil berharap pelaksanaan riset dapat dipercepat.
Nafiah Muharyanti, yang juga turut sebagai pemohon dalam kasus tersebut, juga mengaku kecewa, dan berharap mereka diberi jalan terkait apa yang harus dilakukan untuk anak-anak dengan cerebral palsy agar menjalani hidup lebih nyaman.
“Sempat ya, obat untuk nanganin kejang itu sempat menghilang, dua minggu yang lalu. Dan enggak bisa kebayang, ada yang sampai orang tua itu harus mencari di luar kota,” katanya.
MK Menolak Seluruh Permohonan
Beberapa jam sebelum pernyataan Santi itu, MK memang telah menyatakan menolak seluruh pemohon. Permohonan ini menyasar pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau UU Narkotika. Pemohon secara keseluruhan adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Bunyi dari pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika adalah : “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”. Sementara Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika berbunyi: “Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.”
Putusan penolakan itu dibacakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” tegas Anwar saat membacakan putusan.
Sementara Hakim Mahkamah Konstitusi yang lain Suhartoyo, ketika membaca keputusan, menegaskan bahwa MK berpandangan dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah.
“Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati pada penderita penyakit tertentu yang ‘secara fenomenal’ menurut para pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis narkotika golongan I,” papar Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Pertimbangan MK Dikritik
Kuasa hukum para pemohon, Erasmus Napitupulu dari ICJR mengaku marah dan kecewa atas putusan tersebut. Dasar pertimbangan hakim, menurutnya seolah-olah menempatkan masyarakat Indonesia tidak siap dengan penempatan ganja dalam kerangka kepentingan medis.
“Sebagai pemohon saya kecewa. Sebagai kuasa, saya kecewa seperti ibu-ibu yang saya dampingi. Tapi sebagai masyarakat Indonesia, saya marah. Karena seakan-akan kita tidak bisa diatur, padahal jelas-jelas penggunaannya medis, untuk kesehatan. Kita enggak bicara yang lain dari itu,” kata Erasmus.
MK menyatakan, Indonesia belum memiliki infrastruktur yang mendukung pemanfaatan ganja untuk keperluan medis. Dengan keputusan saat ini, kata Erasmus, MK seakan-akan menempatkan masyarakat sebagai pihak yang harus menanggung ketidakmampuan dan inkompetensi pemerintah, dalam menyiapkan infrastruktur itu.
“Seakan-akan, tiga Ibu-ibu ini harus mengemban kondisi yang ada, karena orang-orang yang punya kuasa tidak becus, untuk memastikan infrastruktur itu. Untuk memastikan bagaimana mengatur hukum ini,” tambahnya. [ns/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.