Kekerasan Geng di Haiti Merajalela, Anak-anak Berlindung di Sekolah

Ratusan anak dan orang dewasa berlindung di sebuah gedung SMA di ibu kota Haiti hari Sabtu (23/7), setelah melarikan diri dari penembakan yang terjadi di lingkungan mereka, di mana pertempuran antara dua geng yang saling bermusuhan selama beberapa minggu terakhir telah menewaskan puluhan orang dan menghancurkan rumah-rumah warga.

Francisco Seriphin, koordinator umum kelompok komunitas agama Kizito, mengatakan bahwa 315 orang berlindung di dalam gedung sekolah Saint-Louis de Gonzague, yang terletak di distrik Delmas yang bersebelahan dengan wilayah Cite Soleil yang marak aksi kekerasan.

“Anak-anak mengatakan bahwa situasinya memburuk pada hari Sabtu, 16 Juli. Mereka tidak bisa menemukan air minum, makanan, mereka ingin keluar, maka itu pada hari Minggu kami membawa mereka keluar,” ujarnya.

Sekolah itu sedang libur musim panas, sehingga ruang-ruang kelas di SMA itu diubah menjadi asrama, tempat remaja, anak-anak dan balita tidur di kasur-kasur kecil yang disediakan organisasi nirlaba itu.

Sementara orang-orang dewasa tidur di lantai tanpa matras.

Anak-anak mengobrol sambil bersenda gurau di lapangan sekolah hari Sabtu, sementara yang lain bermain sepak bola, basket atau lompat tali.

Seriphin mengatakan, banyak di antara anak-anak itu yang berlindung ke sekolah tanpa didampingi orang tua mereka.

Beberapa anak berbaris menunggu giliran untuk memberitahu informasi tentang ayah-ibu mereka, yang beberapa di antaranya hilang atau dicegah pergi dari wilayah Cite Soleil oleh kedua geng tersebut.

“Kami membutuhkan banyak bantuan,” kata Jean Michelet, yang berusia 16 tahun, yang mengaku terluka pada hari ketika pertempuran geng itu pecah di awal Juli.

Pengemudi sepeda motor melewati jalan-jalan yang diblokade dengan ban-ban yang terbakar saat kemarahan warga memuncak atas kekurangan bahan bakar yang meningkat akibat kekerasan geng, di Port-au-Prince, Haiti, 13 Juli 2022. (Foto: Reuters)

Pengemudi sepeda motor melewati jalan-jalan yang diblokade dengan ban-ban yang terbakar saat kemarahan warga memuncak atas kekurangan bahan bakar yang meningkat akibat kekerasan geng, di Port-au-Prince, Haiti, 13 Juli 2022. (Foto: Reuters)

“Saya sedang di rumah ketika perang (antar geng) pecah. Banyak sekali terjadi tembakan. Sebuah peluru menembus atap dan mengenai kepala saya. Itu terjadi di hari Sabtu. Sekolah libur, kami di rumah, dan banyak sekali tembakan hari itu. Banyak yang tewas, banyak yang tertembak, dan beberapa tidak sempat menyelamatkan diri. Situasinya sangat parah,” tambahnya.

Ia menuturkan bahwa seorang suster membawanya ke rumah sakit untuk dirawat.

Setahun setelah pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moïse, yang kasusnya belum terpecahkan, kekerasan geng di negara itu menjadi semakin parah. Banyak warga yang mencoba melarikan diri dari negara yang kondisi ekonomi dan sosialnya tengah terjun bebas itu.

Upaya untuk membentuk koalisi pemerintahan pun tersendat, sementara upaya untuk menyelenggarakan pemilihan umum juga terhenti.

Seminggu yang lalu, kantor urusan kemanusiaan PBB melaporkan bahwa 99 orang dilaporkan tewas dalam pertempuran di Cite Soleil hingga saat itu.

Badan-badan kemanusiaan PBB mengatakan terlalu berbahaya bagi mereka untuk menyalurkan bantuan kepada orang-orang yang terjebak di lingkungan itu.

Jeremy Laurence, juru bicara Dewan HAM PBB, mengatakan sebagian besar korban “tidak terlibat langsung dalam geng” tetapi menjadi sasaran mereka.

Badan-badan PBB mengatakan beberapa geng bahkan menolak memberikan akses air minum dan makanan agar bisa mengendalikan populasi, memperburuk kekurangan gizi. [rd/jm]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan