Jateng Dikepung Problem Lingkungan, Ganjar Justru Terima Penghargaan

Warga Desa Penawangan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dengan gigih menolak sawah mereka untuk dijadikan lahan tambang. Pemerintah yang kini tengah membangun Bendungan Jragung, membutuhkan material pendukung dan berencana menambang lahan di Penawangan untuk mendapatkan material pendukung Bendungan.

“Desa Penawangan itu mengandung tanah lempung, dan salah satunya disebut bahwa kandungan tanahnya itu sangat sesuai untuk dijadikan material bagi bendungan itu,” kata Nur Cholis, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah yang mendampingi warga, kepada VOA, Rabu (27/7).

Penawangan juga dinilai strategis, karena akses yang mudah untuk mengangkut tanah menuju bendungan.

Sekitar dua ratus warga Penawangan menggelar aksi penolakan tambang di sawah mereka pada 25 Mei 2022. (Foto: Dok Walhi Jateng)

Sekitar dua ratus warga Penawangan menggelar aksi penolakan tambang di sawah mereka pada 25 Mei 2022. (Foto: Dok Walhi Jateng)

“Bisa lewat lahan Perhutani, dan saat ini jalan akses sudah dibuat tetapi sekarang berhenti di perbatasan lahan milik Perhutani dan lahan milik warga, karena ditolak,” tambah Nur.

Sejumlah warga, pada Selasa (26/7), dengan didampingi Walhi Jawa Tengah memasang poster penolakan tambang, sebelum kedatangan Komisi V DPR RI ke lokasi tersebut. Petugas keamanan berusaha membubarkan aksi mereka dan menahan satu warga dan dua staf Walhi ke kantor desa setempat. Poster penolakan tersebut akhirnya diturunkan.

Tugiono, salah satu perwakilan warga, mempertanyakan tindakan yang dilakukan aparat tersebut.

Warga tergabung dalam Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Sukoharjo melakukan aksi pada Mei 2022, atas pencemaran oleh PT Rayon Utama Makmur yang dibiarkan pemerintah. (Foto: LBH Semarang)

Warga tergabung dalam Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Sukoharjo melakukan aksi pada Mei 2022, atas pencemaran oleh PT Rayon Utama Makmur yang dibiarkan pemerintah. (Foto: LBH Semarang)

“Kami ingin menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat kami, tapi kok tidak boleh? Padahal kami ingin menyelamatkan ruang hidup kami, berupa sawah yang rencananya akan ditambang untuk bahan material pembangunan Bendungan Jragung,” kata Tugiono.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa Bendungan Jragung memiliki kapasitas tampung 90 juta m3 dan luas genangan 503,1 hektare dan menyuplai air daerah irigasi 4.528 hektare di Kabupaten Semarang. Biaya pembangunannya mencapai Rp2,2 triliun, yang terbagi ke dalam tiga paket pembiayaan sejak 2020 lalu. Bendungan tersebut didesain dengan tipe Urugan Zonal Inti Tegak dengan elevasi puncak bendungan 119,5 meter dan lebar puncak bendungan 10 meter.

Ganjar Diganjar Penghargaan

Nur Cholis menyebut, apa yang terjadi di Penawangan, persis dengan kasus Wadas, di mana pemerintah memaksa warga menyerahkan lahannya untuk ditambang, demi kepentingan proyek bendungan di sekitar wilayah mereka.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menerima penghargaan Green Leadership Nirwasita Tantra 2021 dari KLHK, Rabu (20/7). (Foto: Humas Jateng)

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menerima penghargaan Green Leadership Nirwasita Tantra 2021 dari KLHK, Rabu (20/7). (Foto: Humas Jateng)

Namun, bukan hanya Penawangan dan Wadas, Jawa Tengah sebenarnya memiliki banyak persoalan terkait lingkungan. Di Cilacap dan Batang terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang kotor dan ditolak warga. Di kawasan Kendeng, keberadaan pabrik semen menimbulkan masalah karena menambang perbukitan. Masalah juga tak luput hadir di ibu kota provinsi, Semarang, di mana wilayah kota tersebut hingga Demak pesisir pelan-pelan kini tenggelam. Ganjar juga dinilai belum mampu membereskan masalah yang terjadi di Sukoharjo di mana pabrik rayon membuang limbah dan mengotori lingkungan.

Meski begitu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tampaknya memiliki penilaian lain. Jawa Tengah justru meraih peringkat pertama untuk kategori pemerintah provinsi dalam kepemimpinan hijau, mengalahkan Jawa Barat dan Jawa Timur. Penghargaan diterima Ganjar Pranowo dari Wakil Menteri LHK Alue Dohong, di Jakarta, pada abu (20/7).

“Saya kira ini penghargaan untuk mereka, pelaku atau aktivis yang bergerak menyelamatkan lingkungan, terus menginisiasi sampai pada kemudian pembuatan kebijakan. Saya mewakili mereka untuk menerima saja. Terima kasih untuk masyarakat, OPD, dan DPRD yang membantu,” kata Ganjar usai menerima penghargaan itu dikutip dari rilis Pemda Jawa Tengah.

Dinilai Salah Mengganjar

Hanya sehari setelah Ganjar menerima penghargaan KLHK itu, sekelompok warga yang tergabung dalam Rakyat Jawa Tengah bereaksi. Mereka menilai, KLHK keliru mengganjar gubernur itu dengan penghargaan kepemimpinan hijau.

“Saya rasa, kementerian sendiri kurang cermat ataupun selama ini menutup mata terkait rekam jejak yang dilakukan Ganjar sebagai gubernur Jawa Tengah,” kata Suharno, salah satu tokoh masyarakat di Pegunungan Kendeng kawasan Rembang.

Foto udara kawasan yang menjadi lokasi bendungan Jregung. (Foto: screenshot PUPR)

Foto udara kawasan yang menjadi lokasi bendungan Jregung. (Foto: screenshot PUPR)

Di Kendeng, tambahnya, Ganjar setidaknya memiliki dua kesalahan. Pertama, setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga terkait izin pabrik semen, Ganjar justru mengeluarkan izin baru untuk mengakali putusan MA tersebut. Kedua, kata Suharno, telah ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menetapkan kawasan Pati, Rembang, Grobogan, dan Blora tidak boleh ditambang. Namun, Ganjar tetap membuka kawasan tersebut untuk kepentingan industri.

Dalam pernyataan secara daring dari berbagai kota itu, Tomo, perwakilan warga Kabupaten Sukoharjo, juga menyebut penghargaan tersebut sebagai ironi. Warga telah menolak operasional pabrik rayon sejak 2017, karena pencemaran lingkungan, baik bau menyengat maupun limbah yang dibuang ke Sungai Bengawan Solo.

“Kita sudah melaporkan ini sampai ke tingkat provinsi Jawa Tengah, ke Dinas Lingkungan Hidup, tetapi buktinya nyatanya sampai sekarang belum ada action yang nyata dari gubernur untuk menangani pencemaran limbah yang ada di Sukoharjo ini,” paparnya.

Warga tergabung dalam Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Sukoharjo melakukan aksi pada Mei 2022, atas pencemaran oleh PT Rayon Utama Makmur yang dibiarkan pemerintah. (Foto: LBH Semarang)

Warga tergabung dalam Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Sukoharjo melakukan aksi pada Mei 2022, atas pencemaran oleh PT Rayon Utama Makmur yang dibiarkan pemerintah. (Foto: LBH Semarang)

Sementara itu, Masnuah, perempuan asal Kabupaten Demak, mengkritisi proyek tol tanggul laut, yang memperparah kerusakan lingkungan akibat rob atau naiknya permukaan air laut.

“Di Demak ini sudah banyak desa pesisir yang tenggelam dari dampak abrasi, amblesan tanah, diperparah sekarang adanya tol tanggul laut Semarang-Demak. Pak Ganjar seharusnya berpikir dulu sebelum membangun tol tanggul laut itu,” ujarnya.

“Banyak desa-desa tenggelam di kecamatan Sayung ada Desa Bedono, Tambakrasi, Seni, Mondoliko yang minta bedol desa sendiri,” tambah Masnuah.

Klaim Rehabilitasi Lahan dan Hutan

Ganjar, nampaknya tidak mau berpolemik terkait gelar perusak lingkungan yang disematkan Rakyat Jawa Tengah padanya. Dia mencoba mengimbangi wacana itu dengan membuat kegiatan di sektor lingkungan. Misalnya, pada Senin (25/7) lalu, Ganjar mengajak ratusan warga Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menanam seribu bibit pohon di lahan kritis.

Gubenur Jeteng Ganjar Pranowo bertemu dengan warga Wadas. (Foto: Courtesy/Humas Jateng)

Gubenur Jeteng Ganjar Pranowo bertemu dengan warga Wadas. (Foto: Courtesy/Humas Jateng)

“Kita galakkan karena ini kan kemarau basah, kita manfaatkan kebasahan selama musim kemarau itu untuk menanam. Sehingga kalau kita rutin, kelompok taninya juga aktif itu akan bermanfaat,” kata Ganjar.

Mereka menanam bibit pohon buah dan pohon langka penyerap air, seperti gayam, kluwek, dan tunjung.

Jawa Tengah memiliki lahan kritis seluas 634.598 hektare pada 2013, atau di masa awal Ganjar berdinas. Dalam kurun waktu 8 tahun, mereka mengklaim telah rehabilitasi hutan dan lahan seluas 251.037 hektare, seperti disampaikan Soegiharto, dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah.

“Di Jawa Tengah, secara umum di kurun waktu 2014-2021, kita sudah menangani sekitar 39,5 persen dari luas lahan kritis yang tercatat di 2013. Itu di eranya Pak Ganjar di periode satu dan dua,” ujar Soegiharto.

Warga Penawangan memasang poster penolakan tambang di dekat spanduk ucapan selamat datang untuk anggota Komisi V DPR yang datang pada Selasa (26/7).(Foto: Walhi Jateng)

Warga Penawangan memasang poster penolakan tambang di dekat spanduk ucapan selamat datang untuk anggota Komisi V DPR yang datang pada Selasa (26/7).(Foto: Walhi Jateng)

Dalam upaya itu, dinas ini mencatat sejak 2014 hingga saat ini, terdapat 101 juta batang pohon ditanam untuk reboisasi dan penghijauan di Jawa Tengah. Selain itu, berbagai upaya lain juga dilakukan Ganjar di sektor lingkungan.

Secara teknis, Soegiharto merinci 101 juta pohon yang ditanam tersebut beragam jenisnya. Untuk rehabilitasi hutan dan lahan produktif, pohon yang dipilih adalah sengon, jati, mahoni, pinus, damar, jabon, suren, kayu putih, dan sejenisnya. Sedangkan untuk pelestarian dan air, dipilih pohon gayam, aren, beringin, bulu, mangrove, ketapang, kepoh, dan sejenisnya.

Warga Penawangan menolak rencana tambang di sawah mereka. (Foto: Walhi Jateng)

Warga Penawangan menolak rencana tambang di sawah mereka. (Foto: Walhi Jateng)

“Kebumen, Rembang, Pemalang, ditetapkan Pak Ganjar sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Cilacap menyusul, dan Brebes juga akan kita tangani,” kata Soegiharto.

“Dan di 2022, Jawa Tengah juga berhasil mendapat pengakuan dari Unesco. Ada dua kawasan biosfer di Jawa Tengah, cagar biosfer Karimunjawa-Jepara-Muria, dan Merapi-Merbabu-Menoreh. Kawasan itu sudah dikelola dengan keseimbangan konservasi, ekonomi dan budaya,” tambah Soegiharto, pada Selasa (26/7). [ns/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan