tribun-nasional.com – Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan Indonesia mengejar target hilirisasi untuk naik status sebagai negara maju.
Menurut Bahlil, pemerintah sedang mengupayakan target investasi untuk hilirisasi di 2040 senilai 545,3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 8.200 triliun dengan asumsi kurs Rp15.200 per dolar AS,
“Kita sedang membangun peta jalan yang namanya hilirisasi bagi Indonesia sampai 2040 di 21 komoditas. Ini adalah strategi yang harus dilakukan negara Indonesia untuk meningkatkan pendapatan per kapita,” ujarnya di webinar bertajuk ‘Can Indonesia Boost Investment Through Friendshoring?’, Rabu (8/2/2023).
Dia menegaskan, hilirisasi menjadi upaya pemerintah dalam mengoptimalkan sumber daya alam.
Bahlil merinci dari 21 komoditas tersebut dibagi menjadi delapan sektor ialah mineral dan batu bara yang memiliki nilai investasi sebesar 431,8 miliar dolar AS, minyak dan gas alam 68,1 miliar dolar AS, perkebunan, kelautan, perikanan, perhutanan sebesar 45,4 miliar dolar AS.
“Saya juga ingin menyampaikan bahwa kita akan fokus pada sektor investasi hilirisasi yang berbasis dan berorientasi pada energi hijau dan green energy,” tuturnya.
Menteri Investasi menyoroti ketidakadilan investasi hijau yang menjadi konsensus global untuk Indonesia bebas karbonisasi tahun 2050-2060.
Dia menilai aliran investasi untuk industri hijau di negara berkembng hanya 1/5 dari total aliran investasi.
Sementara total populasi negara berkembang di dunia hanya 2/3.
“Artinya bagaimana mungkin kita bisa melakukan suatu gerakan bersama gotong royong untuk menurunkan emisi rumah kaca,” urai Bahlil.
Menurutnya, elah terjadi kontraproduktif antara perencanaan global dengan strategi negara.”Ini akan menjadi suatu penghambat selama kita tidak menyadari bahwa ini persoalan kita bersama, ya termasuk harga karbon juga,” imbuhnya.
Bahlil memandang ada pikiran kotor dari negara maju terhadap harga karbon yang dimiliki negara berkembang.
Menurut dia, harga perdagangan karbon negara berkembang dihargai sangat rendah oleh negara maju.
“Punya kita hanya diharga 20 dolar AS tapi negara maju seperti Uni Eropa dihargai 100 dolar AS, sekarang Indonesia baru 30 dolar AS, begitu ditanya mengapa harganya berbeda ternyata Capexnya lebih mahal karena negara berkembang masih punya banyak hutan,” kata Bahlil.
Mereka negara maju, sambungnya, ingin negara berkembang menghabiskan dulu sumber daya alamnya baru harga perdagangan karbon bisa setara.
“Pikiran kami tidak sekotor yang bapak-bapak bayangkan, kami sayang lingkungan, kami sayang generasi muda, dan kami sayang umat manusia yang ada di muka bumi, tolong jangan ajari kami bagaimana cara mengelola lingkungan,” urainya.
Dia menyebut upaya hilirisasi yang dilakukan pemerintah RI mengikuti jejak negara maju yang lebih dulu melakukan hilirisasi dengan revolusi industrinya.
Sama halnya dengan yang Indonesia lakukan saat ini yaitu melarang ekspor sejumlah bahan mentah.
“Kami hanya belajar pada negara yang sudah maju duluan, masa kami tidak boleh belajar dari kesuksesan bapak-bapak (negara maju)? Saya pikir apa yang dilakukan negara berkembang seperti Indonesia ini hanya menjadi bagian cara untuk menjadi negara maju,” kata dia.
Bangun Rantai Pasok
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (AS) Rosan Roeslani mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk bermitra dengan AS. Dia meyakini Indonesia bisa membangun rantai pasok baterai mobil listrik untuk industri AS.
“Indonesia akan bangga menjadi bagian dari pemasok baterai mobil listrik di AS,” kata Rosan.Dia menjelaskan, baterai memainkan peran penting dalam komponen kendaraan listrik.Apalagi pengadaan baterai kendaraan listrik bisa mencapai 40 persen dari total biaya produksi.
Rosan menuturkan, posisi Indonesia strategis karena memiliki cadangan nikel, kobalt, bauksit, dan tembaga yang melimpah.
“Ini komponen kunci untuk pembuatan kendaraan listrik,” tutur Rosan.
Rosan menyebut, Indonesia juga memproduksi 47 persen nikel dunia dan merupakan cadangan nikel terbesar dibanding negara lain.
Namun biaya manufaktur masih menjadi perhatian karena biaya tenaga kerja mencapai enam persen dari total biaya produksi.
“Biaya produksi yang lebih rendah berarti kendaraan listrik yang dihasilkan memiliki harga yang lebih kompetitif kemudian nantinya mempengaruhi jumlah insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah AS,” jelas Rosan.
Rosan yakin kondisi tersebut menguntungkan Indonesia dan AS karena terdapat peluang kerja sama. Hal tersebut juga dapat meningkatkan kerja sama AS dan Indonesia melalui industri kendaraan listrik. (Tribun Network/Reynas Abdila)
Lampaui Target dari Jokowi, Bahlil Sebut Realisasi Investasi 2022 Capai Rp 1.207 Triliun
Privacy Policy
We do not collect identifiable data about you if you are viewing from the EU countries.For more information about our privacy policy, click here