Kontroversi soal Politik Identitas dan Masjid Berlanjut, Partai Ummat Ingin Temui Bawaslu

Kontroversi soal Politik Identitas dan Masjid Berlanjut, Partai Ummat Ingin Temui Bawaslu

tribun-nasional.com – Pernyataan Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi, bahwa partai anyar itu adalah “politik identitas” berbuntut panjang dan menuai kontroversi.

Terlebih, Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) RI sempat bereaksi. Belakangan, Partai Ummat merespons reaksi Bawaslu itu dan melontarkan keinginan untuk berdialog meluruskan maksud pernyataan Ridho.

Reaksi Bawaslu

Sebelumnya, dalam pidato di Rakernas Partai Ummat pekan lalu, Ridho menyampaikan pendapatnya bahwa politik tak bisa dipisahkan dari agama.

“Sedangkan nilai-nilai moralitas agama memberikan referensi yang absolut yang permanen yang tidak pernah berubah lintas zaman, lintas generasi. Kemudian kalau kita pisahkan dari politik, maka politik kita yang tanpa arah, politik yang nanti referensinya kebenaran yang relatif situasional,” ujar Ridho.

Atas dasar itu, Ridho berani menyebut Partai Ummat menganut politik identitas. Menurut Ridho, politik identitas adalah politik yang Pancasilais.

Dalam pidatonya, Ridho juga menyinggung bahwa politik gagasan semestinya tidak dilarang di masjid. Sebab, menurut dia, hal yang seharusnya dilarang di masjid adalah politik provokasi.

“Yang seharusnya dilarang di masjid bukan lah politik gagasan, tapi politik provokasi. Keduanya sangat berbeda,” kata Ridho.

Bawaslu pun bereaksi, mengingatkan Partai Ummat untuk tidak menggunakan masjid sebagai sarana politik praktis jelang Pemilu 2024.

“Kami mengingatkan kepada teman-teman, khususnya Partai Ummat,” ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).

“Untuk tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana untuk melakukan kampanye dan juga ajang untuk menyerang satu sama lain,” lanjutnya.

Ia kembali menegaskan bahwa bangsa ini harus memetik banyak pelajaran dari keterbelahan sosial akibat eksploitasi politik identitas pada Pilpres 2019 silam.

“Tempat ibadah adalah milik bersama bangsa Republik Indonesia, tempat bersama milik umat beragama yang pilihan umat beragama bukan hanya satu partai,” sebut Bagja.

“Apa jadinya nanti jika semua partai melakukan politik identitas di masjid, gereja, pura, wihara dan saling menyerang dengan itu?” ia menambahkan.

Bagja khawatir bahwa pemakaian politik identitas akan semakin memperparah keterbelahan dan konflik sosial.

Ia memberi contoh, tanpa politik identitas pun, masyarakat di akar rumput sudah mengalami konflik dalam keseharian mereka.

“Kalau seperti itu akan terjadi pertentangan sosial dan harus hati-hati, teman-teman di Partai Ummat itu akan menaikkan eskalasi pertarungan di tingkat akar rumput, itu yang paling berbahaya,” ungkap Bagja.

Di samping bahaya konflik, masjid juga tidak dapat dipakai sebagai sarana politik praktis karena sifatnya sebagai fasilitas publik. Hal yang sama berlaku untuk sekolah dan kampus, misalnya.

“Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politik bukan hanya Partai Ummat,” tegas Bagja.

Partai Ummat ingin dialog

Ketua DPP Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, mengeklaim bahwa partainya tidak pernah mengajak kampanye di masjid. Ia merasa, Bawaslu mendapatkan informasi keliru.

“Darimana sumber Bawaslu bahwa kami akan berkampanye di masjid?” ujar Mustofa dalam keterangannya, Selasa (21/2/2023).

“Partai Ummat didirikan bukan untuk melanggar aturan, sedangkan aturan soal kampanye sangat jelas bahwa kampanye dilarang di dua tempat yakni masjid dan sekolah. Memangnya Partai Ummat buta aturan? Tentu tidak,” lanjutnya.

Ia menambahkan bahwa berkampanye di masjid, yang secara langsung melanggar aturan soal kampanye, akan merugikan mereka sendiri.

Mustofa mengeklaim bahwa Partai Ummat adalah “partai orang-orang beradab” dan “tidak sebodoh itu”.

“Kalau meramaikan masjid, itu jelas kewajiban setiap Muslim, termasuk kader Partai Ummat,” ujar Mustofa. “Tapi bukan dengan menggelar kampanye,” imbuhnya.

Mustofa menyampaikan bahwa partainya memahami perbedaan politik provokasi dan politik gagasan, serta apa itu politik persatuan dan politik segregasi.

Ia mengeklaim, Partai Ummat hanya menggagas bahwa selain menjadi tempat ibadah, masjid bisa menjadi pusat pertukaran pikiran yang konstruktif, termasuk pikiran dan gagasan politik “yang sehat dan mengedukasi”.

Hal itu ia sampaikan meski dengan situasi bahwa Partai Ummat telah ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu 2024 yang akan bertarung memperebutkan suara pemilih.

“Kita juga tahu di masjid seperti apa, pendidikan politik dapat dilakukan. Menggagas politik Islam, diskusi politik beradab, dialog politik berbasis agama, boleh saja. Pendidikan politik untuk jamaah ya boleh-boleh saja,” kata Mustofa.

“Kami akan dengan senang hati datang ke Bawaslu untuk menjelaskan secara langsung, apa yang telah kami sampaikan dalam Rakernas terkait politik identitas dan perjuangan politik dari masjid,” ujarnya.

Peristiwa Cirebon

Jauh sebelum pidato Ridho, Partai Ummat telah menggunakan masjid sebagai sarana politik praktis tak lama setelah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 lewat jalur penyelesaian sengketa.

Sebanyak 21 simpatisan partai membentangkan bendera Partai Ummat di Masjid Attaqwa Kota Cirebon, Jawa Barat, pada 1 Januari 2023.

Bawaslu RI mengaku telah berkoordinasi dengan Bawaslu Kota Cirebon untuk memeriksa insiden ini.

Ketua Bawaslu Kota Cirebon, Mohamad Joharudin, mengaku telah menerima penjelasan dari pengurus Partai Ummat.

Pengakuan mereka, pembentangan 2 bendera Partai Ummat itu sebagai ungkapan rasa bahagia telah lolos verifikasi menjadi partai peserta pemilu 2024.

“Intinya, dari penjelasan mereka, bahwa mereka menyampaikan kegiatan itu sebagai bentuk syukur. Setelah itu ada dua orang yang membawa bendera, yang semula diikatkan, lalu dibentangkan,” ujar Joharudin.

Partai Ummat Kota Cirebon juga mengakui bahwa mereka tidak membuat surat izin kepada pihak pihak terkait yang berkaitan dengan kegiatan tersebut.

Johar menegaskan, Partai Ummat Kota Cirebon melanggar etika politik, karena telah membentangkan bendera partai di dalam tempat ibadah, dalam hal ini masjid, tetapi tak dapat menindaknya karena masih di luar tahapan kampanye.

“Saat ini masih di luar tahapan kampanye, kami belum bisa menerapkan undang-undang larangan atau pelanggaran karena belum masuk tahapan. Tapi, Partai Ummat melanggar etika politik. Partai politik wajib menjaga etika, keutuhan, kondusivitas yang diatur undang-undang,” tegas Joharudin.

Apa yang terjadi di Cirebon mencerminkan kendala regulasi yang dihadapi Bawaslu RI untuk menindak partai politik yang menggunakan tempat ibadah untuk kepentingan politik praktis.

Di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, masjid menjadi salah satu fasilitas umum yang dilarang untuk aktivitas politik, namun aktivitas politik itu secara spesifik merujuk pada kampanye. Sementara itu, masa kampanye baru resmi dimulai pada 28 November 2023 mendatang.

Ada jeda waktu yang panjang di mana pengawasan aktivitas politik di rumah ibadah, termasuk masjid, tidak bisa ditindak langsung oleh Bawaslu karena ketiadaan dasar hukum. Sebab, dasar hukum itu dianggap baru bisa berlaku pada masa kampanye.

MUI hingga NU tolak politik di masjid

Bagja menilai bahwa bangsa ini harus memetik banyak pelajaran dari keterbelahan sosial akibat eksploitasi politik identitas pada Pilpres 2019 silam.

Ia memperingatkan Partai Ummat supaya tidak menggunakan masjid sebagai sarana politik praktis karena hal itu dianggap bakal memicu konflik berbasis identitas di akar rumput.

“Kalau seperti itu akan terjadi pertentangan sosial dan harus hati-hati, teman-teman di Partai Ummat itu akan menaikkan eskalasi pertarungan di tingkat akar rumput, itu yang paling berbahaya,” ungkap Bagja.

Senada dengan Bagja, penolakan politik praktis di masjid juga sudah pernah diungkapkannya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga Nahdlatul Ulama.

Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, Cholil Nafis, mengeklaim bahwa pihaknya sudah menerapkan kebijakan untuk tidak mengundang orang yang memiliki interes politik praktis sebagai penceramah di masjid.

“Kami di komisi dakwah sudah sosialisasi ke takmir masjid. Kami mensosialisasikan agar tidak mengundang orang yang punya interes politik praktis untuk berceramah,” ujar Cholil kepada wartawan di sela acara Ijtima Ulama Jakarta yang diselenggarakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kamis (2/2/2023).

Sementara itu, NU menyinggung perlunya instrumen penegakan hukum yang serius agar pemakaian masjid untuk kepentingan politik praktis tidak terjadi berulang-ulang.

“Kalau ada yang melakukan (pemakaian rumah ibadah untuk kepentingan politik praktis) ya harus ada sanksi yang jelas. Ada enforcement lah. Jangan cuma tinggal jadi aturan/catatan saja,” kata Ketua Umum Pengurus Besar NU, Yahya Cholil Staquf, ditemui Kompas.com di kantor PBNU, Jakarta, Jumat (6/1/2023).

“Tolonglah hormati masjid. Masjid itu untuk semua umat. Tidak ada masjid untuk partai politik,” ujarnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.