tribun-nasional.com – Iman Santoso, Ketua Majelis Hakim yang menangani kasus Ferdy Sambo , siang itu sangat tenang. Bebas dari kesan tertekan. Ia sama sekali tak menampakkan gelagat berperang dengan hati nuraninya.
Ia dan dua hakim anggota, Alimin Ribut dan Morgan Simanjutak, menjatuhkan vonis mati Ferdy Sambo dan menghukum Putri Candrawati dengan vonis 20 tahun penjara.
Bukan hanya itu, ia menurunkan hukuman Richard Eliezer dari tuntutan jaksa 12 tahun penjara menjadi vonis 1 tahun 6 bulan penjara saja.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Saya percaya, majelis hakim melakukan itu semua atas desakan hati nurani mereka. Fakta persidangan hanyalah alat pendukung dari sebuah keyakinan yang ditopang oleh kebeningan hati nurani sang hakim.
Bila saya menjadi hakim dan menangani kasus ini, saya akan melakukan hal yang sama: menghukum seberat mungkin Ferdy Sambo dan Putri. Terlepas dari motif dan bukti pendukung yang ditampilkan selama persidangan.
Masalahnya, pembunuhan yang dilakukan Sambo pada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat adalah sungguh-sungguh pembunuhan yang direncanakan dengan sangat sistematis.
Pembunuhan dengan metode yang keji, di luar takaran rasa kemanusiaan kita. Lagi pula, pembunuhan itu memaksa dan melibatkan sejumlah orang lain.
Hal yang meruntuhkan segala alibi yang dibangun untuk membela diri adalah berubah-ubahnya skenario. Dari sini saja dengan enteng kita bisa memotret Ferdy Sambo bersama Putri sebagai pialang kecurangan.
Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai the mastermind. Mereka inilah sutradara dari sebuah skenario pembunuhan.
Sejak kasus ini mencuat ke permukaan, sejak itu pula saya sudah menulis dan menepikan alibi kekerasan seksual itu yang menjadi motif pembunuhan Yosua.
Logika sederhana saja saya pakai ketika itu: bagaimana mungkin Putri Chandrawati yang katanya digerayangi oleh Yosua, mau berjalan bareng dari Magelang ke Jakarta yang menempuh ratusan kilometer dan beberapa jam, dengan orang yang menggerayanginya?
Rasa marah dan muak untuk melihat dan mendengar nama Yosua saja, pasti bersemai dalam diri Putri bila kisah provokasi itu benar.
Selanjutnya, adalah tidak logis, Putri mengalami kekerasan seksual oleh anak buah suaminya, tetapi tidak melaporkannya kepada pihak berwajib.
Keluarga Sambo adalah keluarga polisi yang di pundaknya tersampir dua bintang. Putri dengan mudah melaporkan kejadian itu. Namun mengapa ia diam begitu saja.
Semua alibi yang dibangun oleh Sambo dan Putri untuk membenarkan tindakan mereka, adalah alibi yang melecehkan kecerdasan kita semua. Alibi mereka selama ini, adalah alibi yang mempreteli nalar kita.
Majelis hakim dalam amar putusannya dengan tegas mengatakan bahwa kekerasan seksual yang dialami Putri dan menjadi motif pembunuhan Yosua, sangat tidak terbukti.
Hakim berkeyakinan bahwa motif pembunuhan adalah rasa sakit hati Putri pada Yosua. Rasa sakit hati yang dimaksud tidak dielaborasi lagi oleh hakim.
Penegasan hakim tersebut tentu saja menyisakan masalah: Ini yang hingga sekarang menggantung sebagai sebuah misteri.
Bisa jadi kelak, motif ini tetap saja menjadi teka teki panjang yang tak pernah menemukan jawaban. Namun, motif tidak perlu lagi terlampau disoal karena perbuatan pidana sudah terjadi. Clear and present crime.
Hingga kini, saya masih berkeyakinan bahwa kasus pembunuhan Yosua, bisa jadi dipicu oleh banyaknya pengetahuan Yosua tentang pelbagai perilaku menyimpang yang dilakukan Sambo bersama Putri.
Mengapa Eliezier?
Yang menarik dari kasus Sambo ini, ialah pengurangan hukuman Eliezier. Publik sontak merasa bahagia karena rasa keadilan mereka dipenuhi oleh majelis hakim.
Lalu, kita pun semua bertanya, mengapa publik tiba-tiba memihak kepada Eliezier, orang yang ikut melakukan pembunuhan atas diri rekannya sendiri, Yosua Hutabarat?
Tidak pelik untuk menggeledah jawabannya. Bagi publik, pencinta kebenaran, sosok Eliezier adalah pembuka tabir tentang kebenaran. Ia menyingkap yang samar, membuka kran sehingga air kebenaran leluasa mengalir.
Publik mempersonifikasi Eliezier sebagai pembawa obor yang menerangi kegelapan fakta yang secara sistematis disembunyikan.
Tak peduli, Eliezier sejatinya adalah seorang pembunuh dalam kasus Sambo ini. Namun, semua itu ditepikan oleh dahaga keadilan dan kebenaran dari publik.
Eliezier harus dibela karena dialah yang membuka kebenaran itu. Eliezier menjadi perambah jalan mulus bagi ditegakkannya keadilan.
“Dosa” Eliezier sontak terhapus dan termaafkan oleh keterusterangannya: menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Dahaga publik atas kebenaran menutup kemarahan mereka atas Eliezier. Dahaga kebenaran itulah yang bisa ditafsirkan sebagai keadilan substantif, sebagaimana yang dibayangkan oleh John Rawl.
Bagi publik, menemukan kebenaran jauh lebih penting dibanding menghukum seseorang yang oleh keadilan formal, bisa dinilai salah.
Memang, peran Eliezier dalam membongkar kejahatan Sambo bersama Putri, sangat luar biasa. Andaikan bukan Eliezier, kejahatan Sambo bisa dengan mudah ditutupi dengan pelbagai alibi.
Andaikan bukan Eliezier, bisa jadi Sambo bersama Putri melenggang bebas dan mempecundangi kita semua.
Tanpa Eliezier, kebohongan demi kebohongan Sambo dan Putri, tentu masih beranak pinak dan melibatkan banyak pihak lagi. Sebuah kebohongan akan memunculkan kebohongan baru.
Eliezier sukses memutus mata rantai kebohongan yang sistematis itu.
Di antara semua kesaksian dan pengakuan jujur Eliezier di pengadilan, yang banyak menyingkap tirai kebenaran, adalah, penuturannya bahwa Sambo membuat skenario tembak menembak di rumah dinasnya, Jalan Duren Tiga, lantaran Yosua berusaha melakukan kekerasan seksual pada Putri.
Alibi ini tidak berjalan mulus dan pelik untuk memercayainya. Makanya, Sambo mengubah skenario bahwa kekerasan seksual itu justru terjadi di rumahnya di Magelang.
Di sinilah Sambo terperangkap dengan adagium klasik: “No crime is perfect.”
Dengan membangun alibi bahwa kekerasan seksual terhadap isterinya di Magelang, mematahkan semua alibinya bahwa ia emosional dan bereaksi seketika untuk menghukum Yosua karena harga diri dan keluarganya terusik.
Jarak kendaraan darat antara Magelang dan Jakarta, cukup jauh sehingga alibi emosi sesaat untuk mendapat pembenaran tindakan, tidak laku untuk dijajakan. Alibi tersebut gugur dengan sendirinya.
Lalu, saya teringat film klasik yang disutradarai oleh Alfred Hitchcock pada 1956, The Man Who Knew Too Much. Jangan-jangan Yosua dibunuh karena dia adalah The man who knew too much.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.