tribun-nasional.com – Kecerdasan buatan ( artificial intelligence / AI ) menjadi topik paling hangat di dunia teknologi belakangan ini. Salah satu pemantiknya adalah kemunculan ChatGPT , chatbot AI bikinan OpenAI .
Di samping banyak digunakan oleh orang di seluruh dunia, kehadiran ChatGPT dan chatbot AI sejenisnya turut memantik kekhawatiran dari sejumlah pihak, seperti akademisi dan para pelaku teknologi informasi (TI), khususnya menyangkut keakuratan, orisinalitas konten, dan serangan cyber.
Baru-baru ini, CEO OpenAI sekaligus pencetus ChatGPT, Sam Altman, juga menyuarakan kekhawatirannya pada AI. Ia mengkhawatirkan potensi AI di masa mendatang. Altman menggarisbawahi pentingnya regulasi yang jelas terkait AI ini.
Hal itu Altman sampaikan melalui serangkaian twit di sebuah utas di akun Twitter pribadinya dengan handle @sama.
“Meskipun tools AI generasi sekarang tidak terlalu menakutkan, saya pikir, kita tak terlalu jauh dari masa di mana AI berpotensi menjadi tools yang menakutkan,” tulis Altman di akun @sama.
Sayangnya, Altman tak merinci definisi “masa AI yang menakutkan” versinya itu.
Menurut Altman, saat ini, adaptasi ke dunia yang sangat terintegraasi dengan tools AI mungkin akan terjadi cukup cepat. Ini dikarenakan AI menawarkan manfaat dan kesenangan yang banyak.
“Tools AI ini akan membantu kita menjadi lebih produktif (tidak sabar untuk menghabiskan lebih sedikit waktu mengerjakan e-mail!), lebih sehat (penasihat medis AI untuk orang yang tidak mampu membayar perawatan), lebih pintar (siswa menggunakan ChatGPT untuk belajar), dan lebih terhibur (AI meme),” lanjut Altman
Namun, Altman tak menampik, di saat yang bersamaan, tools AI macam ChatGPT yang dibikin perusahaannya juga bakal menemukan banyak tantangan di perjalanannya. Misalnya, soal bias politik.
Meski begitu, Altman meyakini, menghadirkan ChatGPT (yang belum sempurna) ke tengah-tengah masyarakat adalah langkah penting. Tujuannya untuk mendapatkan masukan yang nyata, sehingga OpenAI selaku pengembang bisa selalu menyempurnakan ChatGPT.
Sama halnya dengan menyempurnakan tools AI, kata Altman, membuat regulasi soal AI itu juga akan membutuhkan waktu.
Meski begitu, Altman menggarisbawahi, regulasi menjadi aspek pentingnya bagi keberlanjutan AI ditambah lagi dengan potensi tools AI yang menakutkan menurut Altman.
Berbicara soal regulasi AI sejak 2015
Bos OpenAI ini juga telah berbicara soal pentingnya regulasi yang mengatur tool berbasis kecerdasan buatan sejak 2015, atau semenjak perusahaan OpenAI berdiri.
Sekitar 8 tahun silam, Sam Altman menulis tentang regulasi AI di blog pribadinya pada awal Maret 2015.
“Pemerintah AS, dan semua pemerintah lainnya, harus mengatur pengembangan ‘SMI’,” kata Altman, merujuk pada Superhuman Machine Intelligence (SMI).
“Di dunia yang ideal, regulasi akan memperlambat orang jahat dan mempercepat orang baik — sepertinya apa yang terjadi dengan SMI pertama yang dikembangkan akan menjadi sangat penting,” lanjut Altman.
Tak hanya Altman, Elon Musk, orang yang ikut mendirikan OpenAI bersama-sama dengan Altman juga menekankan pentingnya regulasi soal AI. Hal itu dikarenakan AI berpotensi memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan produk teknologi lainnya.
“Terus terang, saya pikir kita perlu mengatur keamanan AI. (Sebab), menurut saya, AI ini sebenarnya memiliki risiko yang lebih besar bagi masyarakat daripada mobil atau pesawat atau obat-obatan,” kata Elon Musk sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Business Insider, Rabu (22/2/2023).
Polemik tools AI seperti ChatGPT
Kehadiran ChatGPT bukan hanya memunculkan kekhawatiran di tengah akademisi, melainkan juga para pelaku teknologi informasi (TI), khususnya menyangkut serangan cyber.
Dalam sebuah survei di Inggris yang dilakukan oleh BlackBerry yang melibatkan 500 pembuat keputusan tentang TI, sebanyak 76 persen di antaranya percaya bahwa ChatGPT telah dimanfaatkan untuk mendukung perang siber antar-negara.
Sementara 48 persen percaya bahwa akan ada serangan siber yang berhasil dilakukan pada 2023 ini dengan memanfaatkan ChatGPT.
Meski tampak menakutkan, sebagian besar dari mereka (60 persen) percaya bahwa masih ada manfaat baik dari ChatGPT, meski dalam kesempatan yang sama, 72 persen di antaranya khawatir akan potensi penyalahgunaannya.
Lantas, apa ketakutan para pelaku industri TI soal kemampuan chatbot berbasis AI ini jika digunakan untuk tujuan jahat?
Sebesar 57 persen dari responden mengatakan, mereka khawatir akan kemampuan ChatGPT membuat e-mail phishing yang terlihat sangat meyakinkan.
Selain itu, 51 persen dari mereka khawatir chatbot AI ini dipakai untuk mempercanggih serangan, meningkatkan serangan dengan modus social-engineering (49 persen), dan meningkatkan penyebaran hoaks (49 persen).
Meski demikian, para pelaku industri TI (47 persen) juga yakin bahwa chatbot AI ini bisa dipakai oleh hacker untuk meningkatkan kemampuan, atau bahkan memiliki keterampilan baru.
Sisi baiknya, AI juga bisa digunakan untuk memperkuat benteng pertahanan serangan siber. Hampir dari semua pelaku TI yang disurvei (78 persen) berencana untuk berinvestasi pada cybersecurity berbasis AI dalam dua tahun ke depan.
Hampir dari semua responden (88 persen) juga berharap bahwa pemerintah akan mengambil tindakan untuk meregulasi penggunaan teknologi baru ini.
Tools AI lain bernama Stable Diffusion milik perusahaan generator gambar Artificial Intelligence (AI) bernama Stability AI, juga memantik kekhawatiran.
Stable Diffusion adalah alat atau tools kecerdasan buatan yang bisa mengubah model teks-ke-gambar untuk menciptakan “karya seni”.
Proses tersebut dapat dilakukan dalam hitungan detik. Alat AI seperti Stable Diffusion memang mengandalkan gambar buatan manusia untuk melatih kecerdasan buatannya agar bisa meningkatkan kemampuan menghasilkan gambar.
Di situlah letak masalahnya. Stability AI, salah satunya, menggunakan gambar yang ada di Getty Images tanpa lisensi, untuk melatih sistem kecerdasan buatan pada tools AI Stable Diffusion.
Bukti tools AI Stable Diffusion milik Syability AI menggunakan stok gambar Getty Images untuk data pelatihan, dapat dilihat jelas dari kecenderungan Stable Diffusion yang membuat ulang tanda air alias watermark “Getty Images”, seperti gambar di atas.
Karena itu, Stability AI dinilai melanggar hak kekayaan intelektual termasuk hak cipta dalam konten yang dimiliki atau diwakili oleh Getty Images. Alhasil, Getty Images menuntut Stability AI soal perkara tersebut.
Dengan tuntutan hukum, Getty Images mengaku tidak mengincar kompensasi berupa kerugian finansial atau menghentikan pengembangan tools AI macam Stable Diffusion.
CEO Getty Images, Craig Peters, mengungkapkan bahwa pihaknya ingin mendapatkan kejelasan hukum perihal perusahaan AI yang menggunakan konten yang dilindungi hak cipta untuk data pelatihan dan membuat karya baru.
Selain itu, Peters berharap proses hukum ini dapat menemukan cara baru agar pengembangan tools AI tetap menghargai kekayaan intelektual.
Selain Getty Images, Stability AI juga dituntut oleh tiga seniman, yaitu Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz. Ketiganya menggugat Stability AI karena dinilai melanggar hak “jutaan seniman” gara-gara melatih alat AI miliknya (Stable Diffusion) dengan lima miliar gambar yang diambil dari web “tanpa persetujuan dari seniman asli”.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.