tribun-nasional.com – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari meminta semua pihak untuk segera mengakhiri perbedatan soal sistem Pemilu proporsional terbuka atau tertutup.
Hal ini disampaikannya dalam Forum Diskusi Denpsar 12 bertajuk Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya Bagi Demokrasi yang digelar secara virtual, Rabu (22/2/2023).
“Perdebatan soal sistem proporsional terbuka dan tertutup, perspektif saya memang ini harus segera diakhiri,” katanya.
Menurutnya, Indonesia dalam waktu kurang dari satu tahun lagi akan menyelenggarakan Pemilu. Tak hanya itu, tahun ini pun tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.
Sehingga, kata dia, cenderung tak etis jika tahapan sudah berjalan namun masih menbahas perihal pengubahan sistem Pemilu itu sendiri.
“Alasannya sangat sederhana. Sekarang tahapan sudah berlangsung. Aneh rasanya kalau kita dalam konteks profesionalistas penyelenggaraan Pemilu masih ragu dan memperdebatkan sistem mana yang paling layak untuk dilaksanakan,” katanya.
Feri beranggapan bahwa negara maju lainnya yang menganut demokrasi pun tidak memperdebatkan sistem Pemilu ketika tahapannya sudah berjalan.
Sebab, kata dia, adanya wacana perubahan sistem Pemilu di tengah tahapan yang sesang berjalan bisa memunculkan indikasi kecurangan.
“Karena indikasi adanya rekayasa kecurangan Pemilu adalah dengan modus mengubah sistem di tengah jalan,” tuturnya.
“Sebab orang atau peserta Pemilu terpaksa untuk menyelenggarakan sistem itu tanpa persiapan yang matang,” lanjut Feri.
Ia pun berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat memberikan putusan yang bijaksana, yakni dengan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka untuk Pemilu 2024 mendatang.
“Jadi menurut hemat saya memang harus segera diakhiri, terutama dituntut kebijakan Mahkamah Konstitusi untuk menghormati putusan-putusan mereka sebelumnya,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.
Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka .
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (26/1/2023) lalu, Pemerintah menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan mekanisme terbaik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
Hal ini disampaikan Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtiar yang mewakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkumham Yasonna Laoly sekaligus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
Sementara Anggota DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyatakan pihaknya mendukung penerapan sistem proporsional tertutup .
“Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDIP lebih memilih sistem proporsional tertutup. Sikap ini berbeda dengan sikap 8 fraksi partai di DPR RI,” kata Arteria Dahlan di hadapan Hakim MK.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Supriansa membacakan pandangan 8 Fraksi partai politik di DPR RI, yang menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu.
“Kami menolak sistem proporsional tertutup . Sistem Proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi kita,” kata Supriansa di hadapan Hakim Konstitusi.
Supriansa menjelaskan sejumlah argumentasi lain, di antaranya bahwa sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak era reformasi ini sudah tepat dilakukan.
Sehingga ia berharap Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan sistem ini di Pemilu 2024 mendatang.
Hanya 75 Hari, KPU RI Tegaskan Kampanye Pemilu 2024 Dimulai Pada 28 November 2023
Privacy Policy
We do not collect identifiable data about you if you are viewing from the EU countries.For more information about our privacy policy, click here