Richard Eliezer Tak Dipecat, Polri Dinilai Sekadar Menyenangkan Publik

Richard Eliezer Tak Dipecat, Polri Dinilai Sekadar Menyenangkan Publik

tribun-nasional.com – Keputusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang tidak memecat terpidana kasus pembunuhan Brigadir J, Richard Eliezer ( Bharada E ), dinilai hanya sekadar memenuhi desakan masyarakat.

Sebab menurut hasil sidang KKEP, Richard memang terbukti melanggar sejumlah aturan tentang etika profesi, setelah divonis bersalah turut serta dalam pembunuhan berencana terhada[ Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).

“Lebih pada memilih keputusan yang populer, yang disenangi publik,” kata peneliti bidang kepolisan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (22/2/2023).

Menurut Bambang, seharusnya ada hal yang lebih mendasar dilakukan oleh Polri yang sebenarnya bisa dilakukan sebelum atau bersamaan dengan kasus yang menjerat Richard, yaitu perubahan mendasar terhadap sistem dan budaya internal.

Dia khawatir setelah sidang etik terhadap Richard, Polri tidak akan melanjutkannya dengan membenahi permasalahan dalam sistem dan budaya atau melakukan reformasi internal.

“Keputusan pada Elieser itu bukan hasil perubahan sistem, tapi lebih pada mengakomodasi desakan publik alih-alih upaya membangun sistem dan kultur yang lebih baik, lebih profesional,” ucap Bambang.

Sebelumnya, sidang KKEP menyatakan Richard bersalah melakukan pelanggaran profesi karena menembak Yosua atas perintah Ferdy Sambo. Namun, mereka memutuskan mempertahankan Richard sebagai anggota Polri.

Sidang KKEP itu digelar di ruang sidang pada Gedung Trans National Crime Center (TNCC) Mabes Polri, Jakarta.

Akan tetapi, Richard diberi sanksi etik yang menyatakan perilakunya tergolong perbuatan tercela serta diharuskan meminta maaf secara tertulis, dan sanksi administratif berupa mutasi bersifat demosi selama 1 tahun.

Selama menjalani sanksi demosi bersifat mutasi itu, Richard ditempatkan sebagai staf di Divisi Pelayanan Markas (Yanma) Polri. Richard sebelumnya adalah anggota Korps Brigade Mobil (Brimob).

Dalam keputusan sidang KKEP juga disebutkan sejumlah pertimbangan yang membuat mereka mempertahankan Richard sebagai polisi .

Pertama, Richard belum pernah dihukum melakukan pelanggaran etika ataupun disiplin.

Kedua, Richard mengakui kesalahan dan menyesali perbuatan.

Ketiga, Richard menjadi justice collaborator atau saksi yang bekerja sama, dimana saksi lainnya berusaha mengaburkan fakta dengan berbagai cara merusak menghilangkan barbuk dan menggunakan kekuasaan. Namun, kejujuran Richard disebut telah mengungkap fakta yang terjadi.

Keempat, Richard bersikap sopan, sehingga sidang berjalan lancar dan terbuka.

Kelima, Richard masih berusia muda yakni 24 tahun, dan sudah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.

Keenam, Richard meminta maaf kepada keluarga Brigadir Yosua atas perbuatannya yang terpaksa menembak, sehingga keluarga Yosua memberikan maaf.

Ketujuh, semua perbuatan Richard dalam keadaan terpaksa dan tidak berani menolak perintah atasan.

Kedelapan, jenjang kepangkatan Richard dan Ferdy Sambo sangat jauh sehingga tidak bisa menolak perintah.

Kesembilan, Richard sudah memberi keterangan sejujurnya sehingga kasus itu dapat terungkap.

Sebelumnya, Ferdy Sambo yang merupakan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri divonis mati dalam kasus pembunuhan berencana Yosua, oleh majelis hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).

Sedangkan Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara pada hari yang sama dengan suaminya.

Kemudian Kuat Ma’ruf yang merupakan asisten rumah tangga dijatuhi vonis 15 tahun penjara dalam sidang pada Selasa (14/2/2023).

Lalu salah satu ajudan Sambo, Ricky Rizal Wibowo (Bripka RR), divonis 13 tahun penjara pada hari yang sama dengan Kuat.

Dalam perkara itu hanya Richard Eliezer yang mendapatkan vonis lebih ringan dari tuntutan. Dia divonis 1 tahun 6 bulan penjara majelis hakim, sedangkan tuntutan jaksa penuntut umum adalah 12 tahun penjara.

Dalam persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Ferdy Sambo dengan pidana penjara seumur hidup.

Sedangkan Putri, Ricky, dan Kuat dituntut dengan pidana 8 tahun penjara.

Ferdy Sambo, Putri, Ricky Rizal dan Kuat melalui kuasa hukum masing-masing menyatakan tidak menerima vonis dan akan mengajukan upaya hukum lanjutan yaitu banding ke pengadilan tinggi.

Sedangkan Kejaksaan Agung menyatakan tidak mengajukan banding terhadap vonis Richard.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.