tribun-nasional.com – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut jaksa wajib menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam seluruh proses penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya keadilan substantif atau yang memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat.
“Jaksa harus menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum. Karena hati nurani tidak ada dalam buku, gunakan kepekaan sosial saudara-saudara,” ujar Burhanuddin mengimbau kepada seluruh jajarannya di Jakarta, dilansir dari Antara, Minggu, 26 Februari 2023.
Menurut Burhanuddin, hal tersebut dapat diwujudkan dengan kemampuan menggali nilai-nilai hukum di masyarakat, mengingat jaksa bukanlah cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku.
Oleh karena itu, ia menyampaikan jika pendekatan keadilan formalistik yang dibelenggu aturan, bersifat kaku dan demi mengejar kepastian hukum sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Pasalnya, perubahan paradigma tersebut membuat kerja-kerja kejaksaan tidak sekadar melaksanakan kewenangan negara untuk melimpahkan suatu perkara ke pengadilan, tetapi juga menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana.
Lebih jauh, dikatakannya bahwa adaptasi paradigma keadilan substantif ini dituangkan melalui Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Hal itu kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan RI, dengan Pasal 30C huruf b dan c mengatur kejaksaan turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi-nya.
Oleh sebab itu, Jaksa Agung menekankan kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan tumbuh berkembang di masyarakat, meliputi pendekatan kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan tentunya keadilan bagi masyarakat.
“Hal itu memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat,” katanya.
Hal serupa juga, lanjut beliau berlaku ketika jaksa penuntut umum berada dalam posisi harus menyatakan sikap banding atau tidak terhadap sebuah vonis hukum. Standar dan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat dan kewajiban mempertimbangkan dinamika hukum dalam penegakan keadilan itu wajib hukumnya menjadi pijakan bagi seorang jaksa .
“Perhatian dan respons besar masyarakat terhadap perkara yang melibatkan Ferdy Sambo, misalnya, harus dikaji sejauh mana reaksi-reaksi kecewa maupun puas atas vonis persidangan mewakili keadilan substantif,” kata Burhanuddin.
Kecermatan yang sama, lanjutnya perlu juga dijaga dalam pertimbangan-pertimbangan penerapan restorative justice, mengingat respons serta reaksi masyarakat secara luas dan masif juga bisa dipengaruhi berbagai informasi di berbagai platform media.
“Berdasarkan asas dominus litis atau pengendali perkara sejak hulu hingga hilir, seorang jaksa harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan menjadi solusi berbagai persoalan hukum di masyarakat,” tutur Burhanuddin seraya berharap dengan apa yang disampaikannya itu, jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi bagian dari jawaban atau solusi persoalan-persoalan hukum di tengah masyarakat.***