Masa pemulihan ekonomi, pasar domestik terpantau baik

Perekonomian dunia, terutama negara-negara maju, saat ini sudah memasuki normalisasi pertumbuhan sehingga banyak pertumbuhan ekonomi yang terjadi cenderung turun. Ini terlihat dari direvisinya prediksi pertumbuhan ekonomi yang berulang. Misalnya, dunia mengalami pertumbuhan 4,4% pada awal 2022 dan menurun menjadi 4% pada Maret 2022. Trennya terus menurun hingga diprediksi perekonomian global pada 2023 hanya 2,9%.

Revisi penurunan pertumbuhan ekonomi, sambung Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan, juga terlihat di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Amerika, prediksi awal 2022 terjadi pertumbuhan 3,9%, tetapi di semester II-2022 turun ke level 2,5%. Di Uni Eropa, diprediksi 4% pada Januari 2022 dan kini justru terus menurun sehingga pada awal 2023 diperkirakan hanya tumbuh 1,5%.

Berbeda dengan China, kawasan Asia, terutama Indonesia, menurut Katarina, masih dalam masa pemulihan ekonomi. Dari data yang disampaikannya, terlihat China dan Indonesia cenderung stabil pada perkiraan pertumbuhan ekonominya.

China tumbuh 5,2% pada awal 2022 dan menurun di level 4,1% pada Juni lalu. Kini, diproyeksikan naik di level 5,2% pada 2023. Pola ini disebut sama dengan Indonesia lantaran konsisten sejak awal tahun di level 5,2% dan di 2023 diprediksi tumbuh di level 5,1%.

“Di Indonesia ini kelihatan menunjukkan anomali atau deviasi siklus ekonomi dibanding negara maju. Kita tahu bahwa pertumbuhan PDB di kuartal II-2022 ini sangat baik, di atas perkiraan pasar, yaitu 5,4%,” katanya dalam paparannya di acara 2H 2022 Market & Economic Outlook, Selasa (9/8).

Perbedaan kondisi pertumbuhan ekonomi antara kawasan Asia dan dunia dipengaruhi normalisasi pasar yang berbeda. Di AS dan Eropa, dipengaruhi inflasi dan stimulus fiskal yang terus dikurangi serta krisis energi. Sedangkan di Indonesia, kondisi fiskal dan perekonomian terjaga baik, yang tecermin dari kontribusi konsumsi domestik yang besar, keyakinan konsumen dan penjualan ritel yang tinggi, di kisaran 128% (year on year/yoy).

“Kalau konsumsi bergulir naik, penjualan ritel naik, ini akan sangat membantu pertumbuhan PDB kita,” ucap Katarina.

Indikator pengangguran juga menunjukkan penurunan. Menurut Katarina, meski belum turun jauh dibanding pada masa sebelum pandemi. Per Maret 2022, pengangguran di kisaran 5,9%, sedangkan sebelum pandemi sebesar 5%. Pertumbuhan kredit juga mengalami peningkatan hingga 10,3% pada Juni 2022.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan