Inflasi Pangan Tembus 10 %, Masyarakat Miskin Makin Tertekan

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, saat ini ekonomi dunia sedang bergejolak, dan bahkan mengakibatkan stagflasi atau resesi di sejumlah negara. Stagflasi sendiri ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, statis dan kenaikan harga (inflasi). Melambungnya harga energi dan pangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mencerminkan situasi itu

“Rusia-Ukraina adalah pemasok 20 persen dari energi dan pangan global, itulah kenapa harga-harga pangan global naik tinggi, harga energi naik tinggi. Inilah yang kita hadapi, dunia sedang bergejolak, tidak menyerang langsung, tapi kita kena dampaknya,” ungkap Perry dalam acara Kick Off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di Jakarta, Rabu (10/8).

Perry menjelaskan, situasi tersebut menyebabkan inflasi di tanah air pada Juli 2022 secara year on year (yoy) mencapai 4,94 persen. Dari angka tersebut, inflasi pangan berkontribusi cukup tinggi, yakni 10,47 persen, padahal, menurur Perry, inflasi pangan seharusnya terjaga di level lima hingga enam persen.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Ingat inflasi pangan, itu adalah masalah perut, masalah rakyat dan itu (dampaknya) langsung ke kesejahteraan, ini bukan masalah ekonomi saja, masalah sosial dan juga bagaimana nanti Oktober dan seterusnya itu jangan sampai ada masalah politik,” tuturnya.

Inflasi yang menembus level 10,47 persen ini, ungkap Perry, mengancam kehidupan kalangan masyarakat bawah. Menurutnya, mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

“Inflasi pangan itu adalah 20 persen dari komposisi pengeluaran masyarakat, itu secara total. Bagi rakyat di bawah, itu bisa 40 atau 50 persen. Yang tinggi, atau yang kaya-kaya itu mungkin (dampaknya) kecil tapi yang masyarakat bawah itu inflasi pangan itu bisa (berdampak) 40-50 atau bahkan 60 persen dari bobot pengeluaran mereka. Jadi menurunkan 10,47 persen menjadi enam atau bahkan lima persen betul-betul dampak sosialnya sangat besar untuk mensejahterakan rakyat,” jelas Perry.

Sejauh ini, pemerintah bersama dengan pemerintah daerah, BI dan berbagai lembaga lain menggalakkan GNPIP untuk terus menekan laju inflasi pangan. Operasi pasar, ujar Perry, akan segera dilakukan diberbagai daerah agar kelak harga-harga kebutuhan pokok bisa segera stabil.

Lebih jauh, Perry menjelaskan semua pihak harus bekerja sama dengan baik untuk menurunkan inflasi pangan tersebut. Pasalnya, meskipun perekonomian tanah air pada triwulan kedua tumbuh 5,44 persen, perekonomian Indonesia belum pulih sepenuhnya dari goncangan pandemi COVID-19.

“Apa dampak dari global terhadap ekonomi Indonesia khususnya inflasi dan harga-harga yang langsung kena ke rakyat. Sinergi antara pemerintah. BI dan berbagai lembaga dan pemda sangat baik sehingga ekonomi kita bisa tumbuh sangat tinggi 5,44 persen. Tapi ini belum pulih, karena rakyat baru mulai bisa makan enak setelah Ramadhan kemarin. Sebelumnya tidak bisa makan enak karena COVID-19, baru travelling, baru makan (enak) sejak Ramadhan kemarin, tapi belum pulih benar,” kata Perry.

Solusi Jangka Panjang

Ekonom Indef Eka Puspitawati mengatakan meningkatnya inflasi pangan di Indonesia dipicu oleh ketergantungan yang cukup tinggi terhadap impor pangan dan produksi pangan tanah air yang masih belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Maka dari itu, menurutnya, agar inflasi pangan tidak semakin tinggi, pemerintah seharusnya mengamankan pasokan pangan utama terlebih dahulu seperti halnya beras.

Ia mengatakan, langkah pemerintah untuk melakukan operasi pasar di berbagai daerah bisa saja dilakukan. Namun, itu hanyalah solusi jangka pendek yang artinya masalah yang sama berpotensi akan terulang kembali. Eka menyarankan kepada pemerintah untuk mulai melirik negara-negara lain yang mungkin masih bisa melakukan ekspor pangan ke Indonesia.

“Mau tidak mau kita harus alternatif impor untuk bisa meredam di jangka pendek. Harus pintar-pintar untuk mencari sumber alternatif. Misalnya kita dapat biasanya dari Amerika, atau Rusia, Ukraina, tapi sekarang mau tidak mau kita harus mencari sumber-sumber yang lain, harus bisa memetakan, harus bisa membuka alternatif sumber pangan yang lain. Mungkin kita bisa lihat di sekitar ASEAN dulu, untuk bisa kita menjajaki dan mencari dari negara ASEAN mungkin bisa dipenuhi dari sana,” ungkap Eka kepada VOA.

Lebih jauh Eka mengungkapkan, dengan potensi yang dimiliki oleh Indonesia seharusnya inflasi pangan tidak harus melambung tinggi hingga 10,47 persen. Ia menilai, selama ini kebijakan pemerintah tidak cukup untuk mendorong peningkatan produksi di bidang pertanian.

“Bisa kita lihat contohnya Thailand. Thailand itu dari sisi GDP-nya lebih kecil tapi mereka fokus memperkuat pertanian, maka mereka relatif lebih stabil dalam hal pertanian, bahkan ekspor di bidang pertanian jauh lebih besar daripada Indonesia. Ini sepertinya yang orientasi pemerintah masih belum kelihatan , sektor pertanian ini mau diapakan. Masih campur-campur antara pertanian dan yang lain, atau pertanian yang lebih diutamakan adalah pertanian yang basis industri misalnya untuk sawit. Iya itu bisa, tapi jangan dilupakan untuk pangan utama, ini yang saya lihat masih belum ada pro ke sana dari pemerintah,” jelasnya.

Eka berharap, ke depannya, pemerintah bisa fokus untuk lebih mendorong pembangunan yang lebih masif i di bidang sektor pertanian, agar swasembada pangan kelak bisa terwujud lebih cepat, dan ketergantungan pada impor pangan bisa dikurangi secara signifikan. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan