98 Persen Masyarakat Indonesia Sudah Miliki Antibodi COVID-19

Sebanyak 98,5 persen masyarakat Indonesia diketahui sudah memiliki antibodi Sars CoV-2, menurut hasil sero survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) pada Juli 2022.

Dokter Iwan Ariawan, seorang anggota tim peneliti FKM UI mengatakan, sero survei kali ini dilakukan di 100 kabupaten/kota di 34 provinsi, dengan menyasar 20.501 responden. Namun, dari jumlah tersebut pihaknya hanya berhasil melakukan survei pada sekitar 84,5 persen sampel.

Sero survey ini, kata Iwan, merupakan kali ketiga. Sero survei pertama secara nasional dilakukan pada Desember 2021, sedangkan sero survei kedua dilakukan terbatas pada wilayah Jawa-Bali pada Maret 2022.

“Hasil dari sero survei ini menunjukkan ada peningkatan proporsi penduduk yang mempunyai antibodi Sars-CoV 2, dari 87,8 persen pada Desember 2021, menjadi 98,5 persen pada Juli 2022,” ungkap Iwan dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Kamis (11/8).

Meski begitu, Iwan menekankan, tingginya prosentase masyarat yang sudah memiliki antibodi, tidak berarti masyarakat kini terhindar dari kemungkinan terinfeksi virus corona. Virus itu masih bisa menginfeksi, tapi akibatnya yang parah atau kematian dapat dihindari. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa kadar antibodi Sars-CoV 2 juga meningkat empat kali lipat dari Desember 2021, apabila dibandingkan dengan Juli 2022.

Warga antre untuk suntik booster Astrazaneca COVID-19 di Bekasi, Jawa Barat, 29 Maret 2022. (REZAS/AFP)

Warga antre untuk suntik booster Astrazaneca COVID-19 di Bekasi, Jawa Barat, 29 Maret 2022. (REZAS/AFP)

“Median kadarnya meningkat dari 444 u/ML menjadi 2.907 u/ML,” tuturnya.

Apakah Diperlukan Booster COVID-19 Kedua?

Dalam kesempatan yang sama, Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) dr Pandu Riono mengatakan peningkatan kadar antibodi Sars CoV-2 di masyarakat ini disebabkan oleh dua hal, yakni vaksinasi dan infeksi alamiah.

Pandu meyakini bahwa sejauh ini vaksinasilah yang berkontribusi paling tinggi dalam meningkatkan kadar antibodi COVID-19 tersebut, terutama setelah seseorang menerima booster pertama atau vaksinasi COVID-19 dosis ketiga.

“Kenaikan itu, ternyata paling tinggi pada kelompok mana? Yakni pada kelompok yang di-booster, yang tadi sudah meningkat dari 0,5 persen menjadi 20 persen, Artinya semakin lengkap dosis vaksinasi, semakin tinggi kadar antibodinya. Yang belum divaksinasi (kadar antibodi) hanya 963 u/ML, kemudian disuntik dosis pertama menjadi 1,862 u/ML, disuntik dosis dua kali 1.800 u/ML, dan kemudian loncat ke 4.500 u/ML karena di-booster. Jadi ini pesannya adalah booster itu penting,” tegas Pandu.

Dengan masih rendahnya cakupan vaksin penguat atau booster COVID-19 dosis pertama (28 persen), Pandu mengimbau kepada masyarakat agar segera melengkapi rangkaian vaksinasi hingga dosis ketiga. Menurutnya, vaksinasi sudah berdampak cukup baik dalam pengendalian COVID-19 di tanah air.

“Ternyata dengan melengkapi vaksinasi hingga booster itu meningkatkan kadar antibody. Dampaknya apa? Selama terjadi lonjakan kasus, angka keparahan yang masuk rumah sakit, angka kematian tidak meningkat tajam, melandai. Artinya kita perlu melengkapinya dan menjadi prioritas bersama antara pemerintah dan masyarakat, tidak bisa hanya pemerintah, karena vaksinasi ini bisa bermanfaat kalau sudah disuntikkan, dan yang mau disuntikkan adalah masyarakat. Jadi masyarakat perlu untuk segera divaksinasi booster,” jelasnya.

Seorang nakes melakukan pemeriksaan kesehatan pada seorang peremuan sebelum divaksin booster COVID-19 di tengah maraknya varian Omicron di Jakarta, 12 Januari 2022. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Seorang nakes melakukan pemeriksaan kesehatan pada seorang peremuan sebelum divaksin booster COVID-19 di tengah maraknya varian Omicron di Jakarta, 12 Januari 2022. (REUTERS/Willy Kurniawan)

Lalu kemudian, apakah kelak vaksinasi booster kedua atau dosis ke empat diperlukan? Pandu menjawab, pemerintah harus fokus terlebih dahulu untuk meningkatkan cakupan vaksinasi booster pertama ini, karena masih jauh dari target. Jika nantinya, cakupan booster pertama COVID-19 sudah mencapai target, pihaknya bersama pemerintah akan melakukan peneltian kembali, apakah pemberian booster dosis kedua ini dibutuhkan atau tidak.

“Jangan pikirkan dulu booster yang kedua, kita prioritaskan dulu booster pertama. Kalau itu bisa kita tuntaskan, barangkali kita tidak butuh booster kedua, kita belum tahu. Tetapi yang sudah jelas, bahwa booster pertama itu adalah suatu keharusan kita prioritaskan, karena dari data mengindikasikan kita berhasil mencapai level kadar antiobodi yang cukup tinggi, dan terbukti kadar antibodi yang tinggi itu mampu menekan dari perjalanan pandemi waktu varian omicron, lalu adanya sub varian BA.4 dan BA.5 dan angka yang masuk RS rendah, angka kematian tetap rendah,” jelasnya.

Vaksinasi Mandek

Dokter Iwan Ariawan dalam kesempatan ini juga memaparkan masih ada sekitar 50 persen masyarakat yang tidak menyelesaikan rangkaian vaksinasi COVID-19 dari dosis pertama hingga booster. Masyarakat, katanya hanya melakukan vaksinasi sebanyak satu atau dua kali, dan tidak memanfaatkan booster.

Menurutnya, semua pihak, bukan hanya pemerintah, perlu mensosialisasikan pentingnya menyelesaikan rangkaian vaksinasi dari dosis pertama hingga dosis ketiga. Masyarakat, katanya, perlu diberikan pemahaman bahwa selain penerapan protokol kesehatan, rangkaian vaksinasi COVID-19 yang lengkap sudah terbukti menekan angka risiko keparahan, perawatan rumah sakit dan kematian akibat COVID-19.

“Dari hasil ini pun ada 50 persen orang yang sudah divaksin itu mandek. Artinya dosis vaksinnya tidak bertambah. Yang satu (dosis) tetap satu, yang kedua tetap kedua. Padahal seharusnya yang sudah dapat vaksinasi dosis pertama, kalau sudah enam bulan (jangka waktu) itu seharusnya lanjut dosis kedua. yang sudah dapat dosis kedua, kalau sudah enam bulan jaraknya harusnya sudah booster. Ini masih banyak juga yang masih bertahan. Ini harus kita perhatikan, karena untuk mempertahankan kadar antibodi di masyarakat tetap tinggi sehingga kita bisa mengurangi transmisi, dan yang lebih penting mengurangi risiko tingkat keparahan dan kematian,” pungkasnya. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan