Menlu Inggris Disebut Persingkat Agenda G20 untuk Incar Kursi Boris Johnson

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, LONDON – Laporan media lokal di Inggris menyebut bahwa Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss sengaja mempersingkat perjalanan G20-nya, untuk mengumumkan tawaran menggantikan Boris Johnson sebagai Perdana Menteri Inggris.

Baru-baru ini, ia diketahui telah mempersingkat perjalanannya ke pertemuan G20 di Indonesia untuk kembali ke London.

Dikutip dari laman www.zeenews.india.com, Senin (11/7/2022), Truss disebut tengah meluncurkan upaya untuk menggantikan Boris Johnson sebagai pemimpin Partai Konservatif dan Perdana Menteri.

Ia dipandang secara luas sebagai salah satu calon pemimpin Partai Konservatif.

Baca juga: Apa Siapa Menlu Inggris Liz Truss yang Ingin Gantikan Boris Johnson di Kursi Perdana Menteri

Selain itu, jumlah kandidat pun telah bertambah menjadi 11 sesaat setelah pengumumannya, karena anggota parlemen Rehman Chishti turut mencalonkan diri.

Perlu diketahui, Johnson mengundurkan diri pada Kamis lalu, menyusul pemberontakan kabinet yang dramatis atas kepemimpinannya yang dilanda skandal.

Namun ia masih tetap menjabat sebagai Perdana Menteri sementara, hingga terpilihnya pemimpin Tory yang baru.

Hampir 30 pejabat pemerintah Inggris, termasuk tokoh-tokoh kunci seperti Menteri Kesehatan Inggris Sajid Javid dan Menteri Keuangan Rishi Sunak, telah mengajukan pengunduran diri mereka atas skandal baru-baru ini.

Sebanyak 58 menteri mundur dari pemerintahan menyusul skandal etika yang akhirnya memaksa Boris Johnson mengundurkan diri.

Johnson setuju untuk mundur setelah salah satu sekutu terdekatnya, yakni Kepala Keuangan Nadhim Zahawi, mengatakan kepadanya untuk mengundurkan diri demi kebaikan negara.

“Perdana Menteri, ini hanya akan menjadi lebih buruk, untuk anda, untuk Partai Konservatif dan yang paling penting dari semua ini adalah untuk negara. Anda harus melakukan hal yang benar dan letakkan jabatan ini sekarang,” kata Zahawi dalam sebuah surat kepada Johnson.

Sebelumnya Johnson memang berhasil tetap berkuasa selama hampir 3 tahun, meskipun ia menghadapi berbagai tuduhan.

Mulai dari terlalu dekat dengan para donor partai, melindungi para pendukung dari tuduhan intimidasi dan korupsi, hingga menyesatkan parlemen dan tidak jujur ​​kepada publik tentang partai-partai yang melanggar aturan sistem penguncian (lockdown) pandemi virus corona (Covid-19).


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

Tinggalkan Balasan