Selamat Hari Bhayangkara ke-76: Renungan dan Tantangan

Prinsip, strategi dan pendekatan yang tertuang dalam Konsep Presisi harus terus disosialisasikan dan digalakkan.

Pada tanggal 1 Juli 2022,  Polri  merayakan hari kelahirannya, Hari  Bhayangkara  yang ke-76.  Sebagaimana disebutkan dalam  UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara,  Polri adalah  salah satu paratur negara yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pada  Hari Bhayangkara  yang ke-76 ini,  utamanya seluruh jajaran Polri, diharapkan akan selalu ingat kepada tugas pokok dan fungsinya tersebut   yaitu melindungi (to protect) dan melayani (to serve) masyarakat. Sama dengan makna   Bhayangkara itu sendiri  yaitu melindungi negara, dan masyarakat dan para pemimpinnya.

Polri merupakan salah komponen utama dalam sistem demokrasi dan pembangunan. Sebagai negara demokrasi yang berlandaskan hukum  atau negara  hukum (rechstaat), Polri menjadi salah satu institusi utama yang menjalankan fungsi penegakan hukum (law enforcement) sebagaimana prasyarat sosial bekerjanya sistem demokrasi. Supremasi hukum (law supremacy) merupakan prinsip yang diusung oleh negara demokrasi menggantikan prinsip negara yang didasarkan kepada kekuasaan (Machstaat). Demokrasi tanpa tertib hukum akan menjadi anarki.  Ia tidak akan berjalan tanpa tertib hukum. Begitu pula, Polri akan menentukan bagi keberhasilan pembangunan. Karena pembangunan fisik, social dan spiritual  akan bisa berjalan dalam situasi yang aman, tertib, dan tenteram di mana masyarakat dapat terayomi dan terlindungi .

Polri sebagai institusi negara telah mengalami perjalanan yang panjang seiring dengan perjalanan republik ini.  Pada awal kemerdekaan dan  masa Orde lama, institusi Polri pernah berada dalam Kementerian Dalam Negeri dan kemudian berpindah  dan  bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Pada masa Orde Baru, Polri diletakkan sebagai salah satu angkatan dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini TNI). Reformasi  Politik 1998, muncul aspirasi politik dan masayarakat untuk memisahkan struktur organisasi Polri dari TNI. Maka jadilah Polri tidak lagi berada dibawah TNI, sekalipun kedua  lembaga ini terus bekerjasama dan bersinergi dalam dalam mendukung pembangunan dan menguatkan NKRI.  

Soal Atribut di Deklarasi Dukung Anies Nyapres, Polisi: Bukan Bendera HTI

Dari Promoter Ke Presisi: Memprediksi Tantangan

Reformasi Politik yang secara organisatoris memisahkan Polri dari TNI telah mendorong kedua institusi itu untuk melakukan reformasi internal. Dengan reformasi ini,  kedua lembaga tersebut juga telah bertekad untuk menjadi institusi yang profesional. Profesionalisme TNI ditandai dengan menarik diri dari keterlibatannya di  politik dan bisnis. Reformasi internal Polri dikonseptualisasikan kepada 3 jenis; refromasi structural, reformasi kultural dan reformasi instrumental. Ketiga komponen refromasi ini kemudian diperas menjadi satu konsep pendekatan yang disebut sebagai Promoter singkatan dari Profesional, Modern, dan Terpercaya. Secara implisit, konsep Promoter  memberikan kesan kesiapan  institusi Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh UU Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan mengedepankan kepada prinsip-prinsip profesionalisme, mengggunakan metode, teknologi dan cara yang sejalan dengan modernitas untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat.  Sejak dirumuskannya konsep ini, Polri telah menjalankan tugas dan fungsinya mengawal perjalanan refromasi dan pembangunan hingga saat ini. Polri bukanlah institusi para “dewa” yang bekerja dengan sempurna, tanpa kekuarangan. Seperti institusi negara yang lain, Polri telah bekerja dan mencapai hasil sebagaimana yang telah dirasakan oleh masyarakat selama ini. Namun demikian, Polri sebagai sebuah institusi, masih memerlukan perbaikan dan peningkatan di bidang di berbagai bidang, termasuk kultur, profesionalisme, teknologi dan juga kerjasamanya dengan berbagai pihak, tak terkecuali masyarakat.

Untuk meningkatkan kinerja yang sudah dicapai selama ini dan mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai persolan ke depan, Polri di bawah kepemipinan Jenderal Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si yang meneruskan kepemimpinan Jenderal Drs. Idham Aziz, M.Si, melanjutkan implementasi konsep Promoter dengan modifikasi yang kemudian dikemas dalam konsep  Presisi yang merupakan singkatan dari Prediktif, Responsibilitas, Transparasi. Walaupun Konsep ini dikatakan kelanjutan dari Promoter, terkesan Kapolri Jenderal Listyo ingin memberikan  penekanan bahwa  Polri di bawah kepemimpinannya harus menjadi lembaga yang  visioner, berorientasi problem solving dengan pendekatan preemptive dan preventif. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengatasi sumber-sumber persoalan dalam bidang keamanan dan penegakan hukum. Jenderal Listyo tidak ingin memimpin lembaganya menjadi institusi yang represif, atau layaknya brandwier .pemadam kebakaran yang bergerak setelah api menyala. Beliau ingin Polri  mampu mencegah agar masalah dalam bidang keamanan dan penegakan hukum tertangani dan tidak muncul. Hasilnya masyarakat akan menikmati situai yang aman , damai, tertib dan adil. Dengan prinsip responsibilitas dan transparansi, Polri ingin sebagai institusi juga harus tunduk kepada prinsip tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan pilarnya keterbukaan (transparency) dan pertanggungjawaban (responsibilitas dan akuntabilitas).

Implementasi prinsip–prinsip Presisi ini perlu terus dihayati oleh setiap anggota Polri dan masyarakat. Apalagi pada saat  terutama pada saat Polri melakukan acara ulang tahunnya yang ke-76. Sebagaimana dalam acara ulang tahun, Polri dan seluruh jajarannya melakukan renungan, evaluasi diri untuk kemudian memprediksikan berbagai persoalan dan tantangan sebagai pedoman untuk mengarahkan kinerjanya. Prinsip, strategi dan pendekatan yang tertuang dalam Konsep Presisi senantiasa disosialisasikan dan digalakkan. Hal ini mengingat bangsa Indonesia sedang memasuki apa yang disebut sebagai tahun-tahun politik. Sebagai sebuah pesta demokrasi yang rutin, seharusnya gelaran ini berjalan dengan aman tertib dan lancar.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa potensi terjadinya persoalan dalam bentuk konflik dan instabilitas bisa saja muncul pada setiap tahapan-tahapan Pemilu Serentak, sebagaimana diingatkan oleh Depubti Bidang Intelijen Dalam Negeri, Badan Interlijen Negara (BIN) May Jend Edmil Nurjamil. Jenderal bintang dua ini  mengatakan bahwa pengisian posisi 272 penjabat (Pj) kepala daerah berpotensi menimbulkan  konflik dan instabilitas. Hal yang tidak diharapkan ini akan menjadi kenyataan jika Pejabat Kepala Daerah (Pj) yang ditetapkan mendapat penolakan dari rakyat. Situasi ini akan berdampak kepada ketidakpastian anggaran Pilkada tahun 2024 dan aspek lainnya (kumparan.com, 2022) . Sinyalemen dari Mayjend Edmil ini baru peringatan awal, yang bisa jadi akan diikuti dengan potensi-potensi kerawanan dalam tahapan-tahapan Pemilu selanjutnya seperti penetapan calon, kampanye pencoblosan hingga penguman hasil Pemilu. Pendekatan Presisi diharapkan bisa memprediksikan secara lebih detail untuk kemudian dicegah. Masyarakat harus percaya bahwa Polri dan aparatur negara lainnya bisa mengatasi potensi ancaman keamanan ini. Karena sebagaimana telah dirasakan oleh masyarakat, Pendekatan Presisi  ini terbukti telah berhasil dalam mengawal pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi Pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya, dab berhasil mengatasi potensi  terorisme, radikalisme dan intoleransi yang mengancam perdamaian, keutuhan NKRI dan Kebhinekaan.

Jakarta, 2 Juli 2022

Penulis: Dr. Sri Yunanto, M.Si (Dosen Magister Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Hasil Survei Kinerja Polda Sumut: 81% Masyarakat Puas


Artikel ini bersumber dari www.jitunews.com.

Tinggalkan Balasan