tribun-nasional.com – Beberapa waktu yang lalu, sosial media pernah menjadi ramai dengan berita tentang seorang entrepreneur muda yang sedang memberikan motivasi dalam sebuah seminar kewirausahaan. Tak tanggung-tanggung, entrepreneur muda tersebut menyebutkan pernah merugi dengan angka yang fantastis. Tentu saja hal ini membuat riuh di sosial media dan mengundang komentar para netizen. Pasalnya, jumlah kerugian yang didera oleh entrepreneur itu sangat besar bagi anak muda seusianya, ditambah lagi dia hanya butuh waktu dua hari untuk merenung dan kemudian bangkit lagi.
Beragam komentar netizen akhirnya menghiasi jagat twitter. Komentarnya pun beragam, dari yang masuk akal hingga yang akal-akalan demi kelucuan semata. Satu hal komentar netizen yang mengena menurut saya adalah mengungkit tentang privilege. Ya, siapa yang tidak tahu jika entrepreneur tersebut adalah anak orang kaya ketiga di Indonesia. Lalu apalah arti lenyapnya uang senilai 800 juta itu?
Berbicara tentang entrepreneur di kalangan anak muda, tentu sangat tepat. Mereka yang sedang dalam usia produktif untuk menimba ilmu, perlu siraman motivasi agar mampu mendirikan sebuah usaha secara mandiri dan tidak lagi menggantungkan cita-cita menjadi karyawan atau seorang ASN dengan gaji yang tetap tiap bulannya. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, rasio kewirausahaan di Indonesia cukup rendah, hanya sekitar 3,47%. Ini yang kemudian membuat pemerintah bekerja keras untuk dapat meningkatkan rasio kewirausahaan ini dengan banyak bekerja sama dengan stakeholder. Target pemerintah adalah pencapaian rasio di angka 3,94% pada tahun 2024.
Siapa yang tidak ingin menjadi entrepreneur? Memiliki satu atau dua usaha yang dikelola sendiri, dan bahkan dapat membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. Ah, tentu itu impian semua insan. Namun perjuangan untuk menjadi seorang entrepreneur tidak mudah, para pemuda ini terbentur dengan permasalahan yang dialami sejuta umat dalam memulai usaha, yaitu modal. Bagaimana mereka hendak memulai usaha dengan modal tabungan yang dimiliki jika taruhannya besok tidak bisa makan? Tentu jangan samakan dengan entrepreneur muda tadi yang menggunakan uang dinginnya untuk memulai usaha. Ya, bisa jadi memang menggunakan uang tabungan juga pada awalnya. Tapi tentu pertaruhannya bukan isi piring esok hari kan?
Sebagai wirausaha kelas teri, saya juga pernah mengalami jatuh bangun perjuangan membangun sebuah usaha. Mulai dari perizinan yang rumit, bantuan permodalan dengan bunga selangit, pajak yang mencekik, dan uang pelicin tender yang membuat untung kami menjadi lebih tipis. Jelas ini berbeda dengan para entrepreneur yang memiliki segudang privilege tadi, tak perlu pusing mereka memikirkan perizinan, pajak, apalagi bantuan permodalan. Meski diakui tak memakai uang orang tua untuk membuka bisnis, namun nama besar sang ayah yang memudahkan langkah mereka untuk mendapat bantuan modal dari mana saja dan kapan saja.
Berbicara tentang privilege dalam membangun usaha, hal ini juga diakui oleh anak presiden yang berjualan pisang goreng tersebut. Dalam sebuah wawancara, dia mengakui adanya kemudahan dalam mengembangkan bisnis lantaran masyarakat memandang baik sosok sang ayah. Walaupun membangun bisnis dari 0, tapi lompatannya menuju angka 100 bisa dikatakan sangat ringan. Berbeda ya dengan kita yang pengusaha kelas teri, mau melompat satu tangga saja, sudah seperti kehabisan nafas, perlu berpikir matang agar modal dan untung dapat seimbang.
Jika pemerintah benar-benar serius untuk dapat meningkatkan rasio kewirausahaan di Indonesia, maka empat hal tersebut harus menjadi perhatian untuk perbaikan. Tidak dapat dipungkiri, meski semuanya sudah diatur dalam undang-undang, akan tetapi dalam praktiknya sungguh membagongkan. Dan yang paling penting adalah keadilan sosial bagi setiap pelaku usaha untuk dapat dipermudah segala urusannya, jangan hanya memandang mereka yang memiliki privilege atau hak istimewa saja.
Itu kalau pemerintah benar-benar serius loh ya.
Mutiara Fhatrina