Gelombang inflasi dan minimnya mitigasi hadapi resesi

“Kepanikan yang cukup agresif memicu pelarian modal terutama di pasar surat utang karena imbal hasil US treasury atau surat utang AS dengan surat utang Indonesia semakin menyempit. Ini mengakibatkan pelarian modal secara besar-besaran dan menyebabkan pelemahan nilai tukar,” kata Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira kepada Alinea.id, Kamis (23/6).

Inflasi AS yang juga berujung pada kenaikan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) juga membuat pelaku usaha dalam negeri yang memiliki pinjaman luar negeri ketar-ketir. Pasalnya pinjaman dalam valuta asing (valas) dolar AS ini tentu dipengaruhi kenaikan suku bunga The Fed.

“Surat utangnya jadi lebih mahal, penerbitan obligasi lebih mahal maka ini membuat cost of fund pelaku usaha di Indonesia naik drastis. Perusahaan yang memiliki beban utang tinggi itu yang paling tertekan dalam situasi seperti sekarang,” sebutnya.

Sayangnya, Bhima memperkirakan tren kenaikan suku bunga The Fed tidak sebentar bahkan bisa berlangsung sampai 2023-2024. Hal ini bergantung pada strategi negara paman Sam menjinakkan inflasi dan kebijakan moneter The Fed.

“Kita harus mempersiapkan skenario yang terburuk,” sebutnya.

Adapun bagi masyarakat jelata, tambah Bhima, akan langsung terasa pada saat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo rate (BI-7DRR) turut mengalami kenaikan. 
“Bunga KPR akan lebih mahal floating rate-nya jadi akan menyulitkan masyarakat untuk membeli rumah baru,” tambahnya

Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan dampaknya langsung terasa kepada kenaikan suku bunga kredit. Hal ini berbeda ketika suku bunga acuan mengalami penurunan di mana suku bunga kredit tidak langsung turun, bahkan tak terpengaruh.

Interest rate rigidity namanya, teorinya begitu jadi kalau suku bunga turun lambat ngikutinnya tapi kalau suku bunga naik langsung naik,” bebernya.

Meskipun, hingga kini bank sentral belum mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan. BI masih mempertahankan BI 7DRR sebesar 3,5% pada Rapat Dewan Gubernur yang digelar Kamis (21/7).

Tercatat juga suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Kebijakan BI pada bulan Juli ini sekaligus menandakan tidak ada perubahan suku bunga acuan sejak 18 bulan terakhir.

Sementara itu, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)  Anthony Budiawan menilai kebijakan BI menahan suku bunga acuan dinilai tidak sejalan dengan tingginya inflasi tahunan yang mencapai 4,35% sampai dengan Juni 2022.

“Bahkan inflasi pangan mencapai 9,1%. Namun demikian, tingkat inflasi tersebut tidak membuat BI khawatir,” sebutnya.

Laju inflasi negara-negara di dunia
Negara Inflasi Mei 2022 Inflasi Juni 2022
Arab Saudi 2,3% 2,5%
China 2,1% 2,5%
Jepang 2,5% 2,5%
Swiss 2,9% 3,4%
Taiwan 3,4% 3,6%
Indonesia 3,5% 4,4%
Australia 5,1% 5,1%
Singapura 5,4% 5,6%
Prancis 5,2% 5,8%
Korea Selatan 5,9% 6%
Selandia Baru 6,9% 6,9%
Finlandia 5,7% 7%
India 7,8% 7%
Swedia 6,4% 7,3%
Jerman 7,9% 7,6%
Thailand 7,1% 7,7%
Kanada 6,8% 7,7%
Irlandia 7% 7,8%
Meksiko 7,7% 8%
Italia 6,9% 8%
Zona Eropa 9,1% 8,6%
Belanda 9,6% 8,6%
Portugal 8% 8,7%
Amerika Serikat 8,3% 9,1%
Inggris 9% 9,1%
Spanyol 8,7% 10,2%
Brazil 12,1% 11,9%
Polandia 12,4% 15,6%
Rusia 17,8% 15,9%
Argentina 58% 60,7%
Turki 73,5% 78,6%
Venezuela 222% 167%
     
     

Anthony menyatakan BI lebih mempertimbangkan tingkat inflasi inti (core inflation) yang dinilai masih sangat rendah, 2,65%. Padahal, menurutnya, inflasi inti adalah komponen inflasi dengan pergerakan persisten atau tidak termasuk komponen inflasi yang bersifat fluktuatif seperti pangan dan energi.

Sebelumnya, awal minggu ini, BI menjual SBN (Surat Berharga Negara) di pasar sekunder senilai Rp390 miliar, untuk mengurangi jumlah uang beredar, dan tentu saja untuk menekan inflasi inti. “Artinya, BI berpendapat, inflasi inti yang merambat naik ke 2,65% disebabkan jumlah uang beredar meningkat,” ungkapnya.

Selain itu, Bhima menambahkan inflasi di tingkat global yang melonjak akan ‘menular’ melalui harga barang-barang yang diimpor Indonesia. Kondisi ini kian diperparah dengan gejolak inflasi yang memang berasal dari Tanah Air seperti pada komponen bergejolak (volatile food)

Di sisi lain, kondisi lesunya perekonomian akibat kenaikan harga-harga membuat daya beli masyarakat menurun. Sehingga produsen harus mengalami penurunan penjualan yang pada akhirnya membuat pendapatan perusahaan tergerus.

“Akhirnya banyak produsen yang berpikir ulang untuk ekspansi. Paling kalaupun enggak  layoff (Pemutusan Hubungan Kerja/PHK) dia akan freeze (menahan-red) untuk rekrut karyawan baru atau enggak menyerap dulu,” jelas Bhima Yudhistira.

Mitigasi santai

Sayangnya, Bhima menilai meski risiko dampak resesi di AS dan krisis global semakin nyata, mitigasi yang disiapkan pemerintah terbilang santai. “Sense of crisis belum terlihat karena BI masih menahan suku bunga,” ujarnya.

Idealnya, kata Bhima, ketika Fed Fund Rate naik, BI juga menyesuaikan kenaikan suku bunga 25 basis points (bps). Selain itu, BI juga perlu memperketat uang beredar dengan kebijakan giro wajib minimum (GWM). 

Di sisi lain, tambah dia, kinerja perdagangan juga terlalu menyepelekan situasi global. Terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai menteri perdagangan yang baru seharusnya tidak menyentuh persoalan gimmick seperti sidak ke pasar tradisional semata. Lebih dari itu, mendag harus langsung tancap gas untuk menggenjot kinerja ekspor nasional.

“Ada masalah di depan pintu yang butuh kinerja perdagangan lebih maksimal. Jadi ini apa sih strategi ekspor, nilai tambahnya apa, fasilitas ekspornya apa, belum kelihatan,” sebutnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Bhima pun menyarankan sejumlah langkah untuk mendorong kinerja ekspor yakni menurunkan tarif bea masuk untuk industri yang berorientasi ekspor. Lalu pemberlakuan pajak dan non-pajak untuk penyediaan bahan baku, serta berbagai insentif non perpajakan yang mendorong industri berorientasi ekspor.

“Mendag bisa mencari pasar alternatif karena kalau pasar tujuan utamanya mengalami hambatan dari inflasi yang tinggi dan terdampak perang Rusia-Ukraina maka diversifikasi pasar alternatif jadi keharusan,” bebernya.

Secara keseluruhan, Bhima menilai strategi mitigasi negara untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi masih sangat lamban. Bahkan, langkah reshuffle kabinet beberapa waktu lalu tidak terkait dengan peningkatan kinerja menteri tim ekonomi.

“Reshuffle juga ternyata politis bukan untuk memperbaiki ekonomi secara keseluruhan,” cetusnya.

Padahal, dia menilai meski sudah berulangkali mengalami dampak krisis global, kondisi saat ini bisa dibilang lebih parah. Pasalnya, ada multi faktor yang menyebabkan krisis yakni perekonomian nasional dan global yang belum sembuh dari dampak pandemi. Pun keadaan ini diperparah dampak perang yang mengerek kenaikan harga-harga komoditas dan memicu inflasi. 

Belum lagi persoalan wabah Penyakit Mulut Kuku (PMK) yang mencapai 402.504 kasus per 19 Juli 2022 dan telah menyebar ke 21 provinsi dan 231 kabupaten/kota di Indonesia. Di saat bersamaan, ‘musim dingin’serta tech bubble juga telah melanda industri digital global yang turut dirasakan di Indonesia.

Imbasnya, perusahaan-perusahaan teknologi yang menjadi salah satu tumpuan penyerapan lapangan kerja tak sanggup merekrut tenaga-tenaga dari pasar angkatan kerja nasional.

“Salah satunya akan membuat peluang pencari kerja baru di sektor ekonomi digital akan terbatas. Dan banyak mitra dan pelaku UMKM yang tergabung dengan ekosistem digital yang jika perusahaan teknologi itu runtuh maka akan terjadi pengangguran instan,” tutupnya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Ia menilai jika dibandingkan pada krisis global tahun 2008, dampak pada sektor keuangan saat ini lebih minim.

“Tapi dampak ke inflasi jauh lebih parah sekarang karena ini penyebabnya banyak dan belum pasti kapan akan berakhir,” ujarnya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.

Rupiah melemah

Alih-alih meredam laju inflasi AS, kebijakan kenaikan Fed Fund Rate justru menimbulkan terjadinya capital outflow yang membuat nilai tukar Rupiah melemah. Hal ini juga berimbas ganda bagi masyarakat yang akan merasakan harga barang-barang impor kian mahal.

“Tentu saja harga-harga kebutuhan pokok pangan dan non pangan akan semakin tinggi dan mempengaruhi inflasi tambah. Kedua, inflasi secara langsung dari barang-barang impor, elektronik, gandum, dan lain-lain,” kata Tauhid. 

Meski telah mendekati level Rp15.000 per dolar AS, namun BI memperkirakan Rupiah akan kembali menguat di akhir tahun. Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan nilai tukar rupiah pada 2022 akan mendekati kisaran atas Rp 14.300 – Rp 14700/ US$.

Lebih lanjut, Tauhid menilai melemahnya Rupiah juga akan berdampak langsung bagi perusahaan maupun individu yang memiliki utang denominasi valuta asing. Di sisi lain, jika BI turut menaikkan suku bunga acuan maka dampak ke masyarakat juga kian bertubi-tubi.

“Otomatis suku bunga pinjaman perbankan baik modal kerja maupun investasi punya potensi naik, kredit akan semakin mahal, laju kredit akan berkurang,” tambahnya.

Tidak hanya itu, Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi juga akan mengalami kenaikan imbal hasil. Hal ini nantinya akan semakin membebani pembiayaan utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan