Kala Lippo Ingin Cuci Tangan dari Pusaran Meikarta!

Kala Lippo Ingin Cuci Tangan dari Pusaran Meikarta!

tribun-nasional.comJakarta, CNBC Indonesia – Kasus megaproyek Meikarta yang akhir-akhir ini mencuat lagi membuat Grup Lippo menjadi sorotan. Sempat disebut sebagai signature project, kini Meikarta menyisakan konflik yang belum berujung.

Sejatinya, megaproyek yang berlokasi di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, tersebut sempat menjadi harapan besar dua perusahaan properti Grup Lippo besutan Keluarga Riady tersebut PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) saat diluncurkan pada 2017 silam.

Meikarta adalah sebuah karya nyata untuk membangkitkan ketertarikan pembeli. Meikarta adalah proyek raksasa pertama yang dibangun oleh Lippo Group setelah 67 tahun,” demikian optimisme yang tertulis dalam Laporan Tahunan 2017 LPKR.

Pada 2017 silam, halaman-halaman di media cetak nasional banyak menyuguhkan iklan besar-besaran penjualan apartemen di kota Meikarta. Begitu pula, jika berkunjung ke mal-mal yang dimiliki oleh Lippo Group, akan ada kounter penjualan kota Meikarta.

Lembaga riset pemasaran Nielsen mengungkap, sepanjang 2017 belanja iklan di Tanah Air terdongkrak. Salah satunya berkat kontribusi Meikarta yang mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun.

Optimisme tersebut sempat menjalar ke kalangan analis saham. Sebuah riset ekuitas terhadap LPKR yang terbit pada 26 Mei 2017 menyebutkan, proyek Meikarta-yang diproyeksikan sukses-bisa membuat kekhawatiran atas balance sheet atau neraca Lippo mereda.

Lembaga pemeringkat (rating) Fitch juga sempat menyebut pada pengumuman rating pada 30 November 2017, Meikarta akan membuat kontribusi LPCK “terhadap arus kas yang dikonsolidasikan [dalam LPKR] akan meningkat signifikan di tahun-tahun mendatang.”

Hanya saja, proyek ‘megacity’ yang menyasar kalangan menengah ke bawah tersebut menemukan banyak masalah bahkan sejak setahun usai diluncurkan, mulai dari masalah perizinan dan tata ruang, kasus suap perizinan yang melibatkan pemerintah Bekasi, digugat vendor, hingga akhirnya proyek mangkrak sampai saat ini.

Teranyar, sebanyak 21 anggota DPR RI pada Selasa lalu (14/2/2023) meninjau langsung Meikarta atas keluhan dari konsumen.

Pada kesempatan itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memimpin rombongan, mengungkapkan bahwa ada sekitar 130 konsumen yang ingin uangnya kembali lantaran pembangunan unit belum selesai.

Sebagai informasi, Lippo Karawaci sempat memegang langsung 83,99% saham di Lippo Cikarang hingga akhir 2021, sebelum pada kuartal I 2022 kepemilikan LPKR di LPCK dialihkan ke anak usaha LPKR, PT Kemuning Satiatama (dengan porsi 80,83%).

Sementara, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) menjadi pengembang dari Meikarta. Dulu, MSU sempat dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan LPCK dan LPKR, sebelum akhirnya LPCK melepaskan Rp2,02 triliun saham sebagai pemegang saham pengendali MSU pada 2018.

Memang, jika menilik laporan Mei 2018, Meikarta disebut sudah tidak masuk ke dalam portofolio pengembangan properti Grup Lippo.

Pada laporan keuangan per 30 September 2022 menunjukkan LPCK menyebut sebelum hilangnya pengendalian atas MSU perseroan mencatat selisih nilai investasi pada MSU sebesar Rp4,04 triliun sebagai sebagai komponen ekuitas lainnya atas pelepasan bagian kepemilikan investasi pada MSU.

Setelah aksi divestasi tersebut kepemilikan LPCK pada MSU mencapai Rp2,01 triliun. Meski demikian kepemilikan LPCK pada MSU masih tersisa 49,72%.

Seiring dengan dekonsolidasi MSU itu, LPCK pun menyatakan tak memiliki tanggung jawab atas konsumen Meikarta.

“Dapat kami sampaikan bahwa pemenuhan hak-hak konsumen apartemen Meikarta dan pemenuhan target serah terima merupakan sepenuhnya tanggung jawab PT Mahkota Sentosa Utama (MSU),” ujar Sekretaris Perusahaan LPCK Veronika Sitepu dalam keterbukaan informasi, dikutip Senin (18/2/2023).

Saham Turun, Rugi Menahun

Meikarta, yang diharapkan menjadi tonggak baru Lippo dan mampu menambah arus kas perusahaan, malah berujung polemik. Seiring seretnya likuiditas dan kasus suap pada 2018, lembaga rating macam Fitch and Mood’s pun melakukan penurunan peringkat (downgrade) kredit LPKR.

Apalagi pasar properti yang lesu pasca-boom property 2010-2013, era suku bunga tinggi 2018, ditambah pandemi Covid-19 2020, semakin menambah pukulan untuk properti Lippo.

Ibarat sebuah ‘badai sempurna’ alias perfect storm, hal tersebut mengirim saham-saham properti turun ke teritorial yang dalam. Bertahun-tahun, harga saham properti, termasuk milik Lippo, tidak manggung.

Saham sektor properti (IDXPROPERT), misalnya, anjlok 8,00% sepanjang 2022, peringkat ketiga indeks saham terburuk di tahun itu.

Saham LPCK, khususnya, sempat menembus level Rp9.800-an pada 2013 dan Rp11.000-an 2015, kini diperdagangkan di harga Rp960/saham, per 20 Februari 2023.

Sementara, saham LPKR sempat berada di level Rp1.400-an pada 2013, sekarang jauh terbenam di harga Rp80/saham.

Laba LPCK pun belum berhasil ke mana-mana usai turnaround dari kerugian pada 2021 lalu. Sementara, LPKR masih menanggung rugi sejak 2019 atau selama 4 tahun beruntun.

Saat tahun pandemi, rugi keduanya membengkak, LPCK rugi bersih Rp3,65 triliun, sedangkan LPKR rugi bersih Rp8,89 triliun.

Rasio utang duo properti Lippo tersebut, terutama LPKR, juga mengkhawatirkan. Rasio debt-to-EBITDA atau utang dibandingkan dengan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi mencapai LPKR 21,01 (disetahunkan).

Angka tersebut jauh di atas peers. Semakin tinggi rasio, semakin mungkin perusahaan kesulitan membayar utang ke depan.

Sedangkan, debt/EBITDA LPCK mencapai 6,20 kali (disetahunkan).

Sebagai perbandingan, debt/EBITDA perusahaan properti PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) sebesar 9,29 kali, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) 2,94 kali, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) 9,19 kali, PT Intiland Development Tbk (DILD) 16,65 kali, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) 3,07 kali, dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) 6,08 kali.

Hal tersebut pada gilirannya membuat investor berpikir-pikir untuk berinvestasi di saham LPCK dan LPKR.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]m

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research, divisi penelitian CNBC Indonesia. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau aset sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.