Konsumsi rokok kurangi belanja kebutuhan pokok rumah tangga

Rokok merupakan salah satu ancaman kesehatan terbesar. Berdasarkan data yang dilansir World Health Organization (WHO) pada 26 Juli 2021, kurang lebih 8 juta orang per tahun di seluruh dunia meninggal akibat rokok. WHO juga menyebut, jumlah perokok di seluruh dunia mencapai 1,3 miliar orang, dengan lebih dari 80% nya berada di negara dengan berpenghasilan rendah-menengah.

Selain menjadi ancaman kesehatan manusia, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan, konsumsi rokok dapat mengurangi belanja kebutuhan pokok rumah tangga. Bahkan, dapat menciptakan ilusi kesejahteraan bagi 8,8 juta penduduk miskin. Hal itu disampaikan CISDI lewat peluncuran dua riset terbarunya yang bertajuk “Efek Crowding-Out Konsumsi Tembakau di Indonesia dan Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia”, pada Selasa (30/8).

Hasil riset CISDI menyebut, rata-rata rumah tangga atau keluarga di Indonesia menggunakan 10,89% anggaran bulanannya untuk membeli rokok. Hal itu menunjukkan, rumah tangga dengan perokok rata-rata lebih sedikit belanjakan anggaran untuk kebutuhan lain selain rokok. Menurut menurut Principal Investigator riset CISDI I Dewa Gede Karma Wisana, peristiwa itulah yang disebut efek crowding-out.

“Keluarga perokok mengurangi anggaran rumah tangga untuk komoditas lain, seperti makanan, pakaian, pendidikan, hingga kesehatan untuk membeli rokok,” jelasnya.

Hasil riiset juga menunjukkan, rumah tangga dengan pengeluaran untuk rokok cenderung memiliki asupan kalori harian lebih rendah, dibandingkan yang lain. Simulasi CISDI menunjukkan penurunan belanja rokok sebesar 50% (dari Rp407.285 menjadi Rp203.643), berpotensi tingkatkan belanja kebutuhan pokok, seperti beras, sebesar 14% atau dari Rp266.099 menjadi Rp338.142.

Pemapar dalam riset kedua yang berjudul Efek Kemiskinan Akibat Konsumsi Tembakau di Indonesia yakni, Vid Adrison, menekankan distorsi angka kemiskinan yang ditimbulkan konsumsi rokok dalam rumah tangga.

Vid Adrison menyebut, terdapat penyimpangan angka kemiskinan yang ditimbulkan dalam konsumsi rokok dalam rumah tangga. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menggunakan jumlah pengeluaran rumah tangga, untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga dan menentukan berasal dari keluarga di bawah garis kemiskinan atau tidak.

“Kebutuhan dasar makanan terpenuhi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sebanyak 2100 kkal per kapita per hari. Ada 52 komoditas yang digunakan termasuk tembakau yang tidak memberikan kalori. Berarti, sebagian masyarakat yang hampir miskin, sebetulnya tidak bisa memenuhi kebutuhan minimum 2100 kkal, jika sebagian pengeluarannya dialokasikan untuk konsumsi tembakau,” jelas Vid.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan