KUHP dan serangan terhadap pers di masa lalu

“Jadi, tidak hanya kemunduran demokrasi yang serius, tapi juga mulai putar balik ke arah otoritarianisme. Praktik otoritarian mulai dilakukan. Itu yang menjelaskan kenapa RUU KUHP muncul kembali,” kata Wijayanto.

KUHP yang saat ini digunakan Indonesia berasal dari Wetboek van Strafectht voor Nederlandsch-Indie buatan pemerintah kolonial Belanda. Beleid itu disahkan melalui Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan berlaku sejak Januari 1918. Selama hampir seratus tahun, beleid yang kemudian dikenal dengan KUHP itu tak pernah mengalami revisi besar-besaran.

Khusus untuk institusi pers, KUHP merupakan momok sejak dulu. Bersama Perbreidel Ordonnantie dalam Staatsblad 1931 No. 394 jo. Staatsblad 1932 No. 44, KUHP kerap digunakan sebagai alat bagi rezim untuk membungkam kebebasan pers. Perbreidel Ordonnantie memberi kuasa kepada pemerintah untuk sewaktu-waktu menindak surat kabar dan majalah yang dianggap mengganggu ketertiban umum. 

Beleid itu resmi dicabut lewat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1954 Tentang Pencabutan Perbreidel Ordonnantie yang ditandatangani Presiden Sukarno. Dalam bab penjelasan UU tersebut, pemerintah beralasan mencabut Perbreidel Ordonnantie lantaran bertentangan dengan asas hukum dan demokrasi yang dianut Indonesia.

Arak-arakan demonstrasi jurnalis yang berlangsung di Jakarta, 5 Agustus 1953. Sumber: Indonesia Raya, 6 Agustus 1953, hlm. 1.

Pembungkaman pers era Perbreidel

Dalam Sejarah Pembreidelan Pers di Indonesia, Edward Cecil Smith menulis, sebelum dicabut, Perbreidel Ordonnantie telah lazim digunakan penguasa untuk memberangus pers. Ia mencontohkan kasus pemidanaan terhadap pemimpin redaksi Keng Po, Injo Beng Goat. 

Goat diseret ke pengadilan karena tajuk rencana berjudul “Operasi di dalam Tubuh Militer” yang dimuat Keng Po pada Oktober 1950. Goat digelandang ke meja hijau dua tahun setelah tajuk rencana tersebut terbit. 

“Tuduhannya adalah melanggar Pasal 171 ayat (2) KUHP, yaitu dengan sengaja menimbulkan kekhawatiran di kalangan penduduk dengan menyebarkan desas-desus palsu,” tulis Smith.

Selama 1953-1957, Smith mencatat ada 192 tindakan dan tuduhan terhadap pers. Kasus terbanyak terjadi pada 1957, yaitu 125 tindakan dan tuduhan terhadap pers, ketika darurat bahaya perang berlaku imbas pergolakan di daerah-daerah.

Dalam mengklasifikasi kasus-kasus yang terdata, Smith menggunakan 13 ikhtisar tuduhan, yakni tuduhan atau alasan tidak diberikan, pelanggaran KUHP, pengecaman pemerintah atau pejabat pemerintah, pengaruh atau pemilik asing, dan pemuatan berita tidak benar. 

Selain itu, ada juga pembredelan karena penghinaan pemerintah atau pejabat pemerintah, berita tidak bersumber resmi, pelanggaran ketentuan perizinan, membocorkan rahasia jabatan, pemuatan berita tanpa izin, penolakan menyebut sumber berita, dan cenderung mengganggu keamanan dan ketertiban.

Pemidanaan karena dianggap menghina pemerintah pernah dialami pemimpin redaksi Nieuws Soerabaijasch Handelsblad, Adrienne Hermine Fuhri-Mierop. Pada Oktober 1952, Fuhri-Mierop digelandang ke pengadilan karena tuduhan menggunakan kata-kata yang menghina saat mengulas pidato presiden. 

Itu merupakan kali kedua Fuhri-Mierop diajukan ke meja hijau. Sebelumnya, dia—selaku pemimpin redaksi Nieuwe Courant di Surabaya—berpolemik dengan Menteri Tenaga dan Pekerjaan Umum Republik Indonesia Serikat (RIS), Herling Laoh. 

Kasus tersebut bermula karena Laoh menganggap artikel yang dimuat koran Fuhri-Mierop mengandung unsur penghinaan terhadap dirinya. Fuhri-Mierop didakwa melanggar Pasal 171 ayat (2) KUHP. 

“Akhirnya, pengadilan menjatuhkan hukuman Rp100 subsider dua hari dan terdakwa harus membayar ongkos perkara. Tuntutan jaksa sendiri waktu itu ialah hukuman denda Rp200 atau hukuman badan tiga minggu,” tulis Soebagijo I. N dalam buku Sejarah Pers Indonesia.

Bukan hanya pers Tionghoa dan asing saja, jurnalis Indonesia juga tidak luput dari bidikan. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik adalah polemik antara pemimpin redaksi Merdeka, Burhanuddin Mohammad Diah dan Menteri Keuangan (Menkeu) Soemitro Djojohadikoesoemo.

Lembaga Pers dan Pendapat Umum menguraikan polemik di antara keduanya bermula dari tulisan di rubrik pojok Merdeka bertajuk “Harta Karun” pada 17 Januari 1953. Selain artikel itu, Merdeka juga mempublikasikan sejumlah tulisan pojok yang terkesan menyerang Soemitro selama sepekan berikutnya. 

Merasa dirugikan, Soemitro lantas melaporkan Diah. Dalam sebuah pernyataan yang dikutip Antara, Soemitro bahkan sempat koran kuning yang hidup dari dusta, hasutan, insinuasi, dan fitnah. Tak tinggal diam, Diah melaporkan balik Soemitro karena pernyataannya tersebut. 

Berdasarkan catatan Lembaga Pers, laporan keduanya sempat mangkrak sampai dua tahun lebih. Persidangan baru berlangsung pada 4 April 1955. Dalam laporan Soemitro, hakim memvonis Diah bersalah karena melanggar Pasal 310 KUHP, yaitu melakukan penghinaan terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan kewajibannya.

“Hakim Mr. G. K. Lim telah menjatuhkan hukuman denda terhadap Burhanuddin Mohammad Diah sebanyak Rp250 atau hukuman penjara selama 10 hari,” tulis Lembaga Pers dalam buku Almanak Pers Indonesia 1954-1955

Adapun Soemitro, masih menurut Lembaga Pers, dinyatakan terbukti melanggar Pasal 315 KUHP karena menghina Diah dengan mengatakan Merdeka sebagai koran kuning. Atas perbuatannya, Soemitro dijatuhi hukuman denda Rp100 atau lima hari bui.

Beragam kasus pemidanaan terhadap bikin kalangan wartawan gerah. Pada 5 Agustus 1953, sekitar 500 jurnalis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Persatuan Wartawan Tionghoa, Reporters Club, Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS), dan mahasiswa/i Akademi Wartawan menggelar unjuk rasa di Jakarta.

Mereka mengawali aksi protes dengan arak-arakan dari Balai Wartawan di Jalan Merdeka Selatan ke Merdeka Timur, lalu ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Setelah bertemu Jaksa Agung R. Soeprapto, demonstran bergeser ke Gedung Dewan dan bertemu Ketua Parlemen Sartono beserta jajarannya.  

Setelah itu, massa bergerak ke Gedung Dewan Menteri di Pejambon dan bertemu Wakil Perdana Menteri Wongsonegoro dan Zainoel Arifin, Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, dan Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan Roeslan Abdulgani. 

Merujuk pemberitaan Indonesia Raya edisi 6 Agustus 1953, di tiga tempat tersebut demonstran menyampaikan sebuah petisi. Isi petisi antara lain meminta pembatalan penuntutan Asa Bafagih, pemerintah memperhatikan kemerdekaan pers serta bicara dan mengakui hak ingkar wartawan. 

Ketika itu, Asa Bafagih—selaku pemimpin redaksi Pemandangan—dituntut oleh Kejagung karena menolak memberi tahu narasumbernya mengenai berita rencana penanaman modal asing yang dimuat 18 Maret 1953 dan rencana gaji baru pegawai negeri yang terbit dalam edisi 21 Agustus 1952.

Menteri Iwa vs empat surat kabar

Ketika itu, pers Indonesia sebenarnya tak sepenuhnya bebas dari kepentingan politik. Dalam Sejarah Alternatif Indonesia, Ernst Utrecht menulis pers terutama kerap digunakan sebagai corong partai politik untuk mengkritik penguasa pada era sistem parlementer (1950-1957). 

Sampai Kabinet Ali Sastroamidjojo I Juli 1953-Juli 1955, sudah ada tiga kabinet lebih dulu yang silih berganti: Mohammad Natsir (Masjumi), September 1950-Maret 1951; Soekiman (Masjumi), April 1951-Februari 1952; Wilopo (Partai Nasional Indonesia/PNI), April 1952-Juni 1953.

Sebagaimana umumnya suatu pemerintahan, selalu ada oposisi yang suaranya kerap disalurkan melalui surat kabar. Selama Kabinet Ali I, Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) bertindak sebagai oposisi. Abadi—corong Masjumi—dan Pedoman—simpatisan PSI—yang menjadi ujung tombak partai dalam mengkritisi pemerintah. 

Selain itu, ada dua surat kabar independen, Indonesia Raya dan Sumber, yang juga kerap mengkritik Kabinet Ali I. Lantaran pemberitaan yang dianggap sering memuat keterangan yang menentang kebijakan pemerintah, Menteri Pertahanan Iwa Koesoemasoemantri bahkan sampai harus mengambil tindakan hukum. 

Saat itu, Iwa mengeluarkan instruksi larangan peredaran empat surat kabar tersebut di antara tahanan keadaan perang dan darurat perang atau staat van oorlog en beleg (SOB) yang terdiri dari berbagai golongan. 

Empat surat kabar merespons dengan mengirimkan surat protes kepada Iwa, parlemen, presiden dan wakil presiden, kabinet, kepala staf angkatan perang dan kepala staf matra laut, udara, serta darat, SPS, PWI, dan Kementerian Penerangan. 

  Karikatur yang menyidir Menteri Iwa Koesoemasoemantri. Sumber: S. Soenarto, Indonesia Raya, 19 September 1953, hlm. 1.

Dalam surat protesnya,  mereka menegaskan setiap warga negara mempunyai hak atas informasi. Empat surat kabar itu mengancam bakal mengirimkan isi protesnya kepada The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan International Press Institute di Zurich, Swiss.

“Pada penutup suratnya, keempat harian itu berseru kepada segenap tenaga-tenaga progresif, demokratis, anti-fasisme, dan anti-totaliter untuk menyokong protes mereka, agar demokrasi di Indonesia dapat terjamin,” bunyi salah satu artikel yang tayang di Indonesia Raya pada 16 September 1953.

Langkah Iwa tak serempak diprotes media massa. Ada pula pers yang menyerang balik Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, dan Sumber. Mereka tidak lain adalah harian pendukung pemerintah semisal Merdeka dan Harian Rakjat yang notabene “terompet” resmi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut catatan J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965, surat kabar Merdeka memang dekat dengan PNI—penyokong utama Kabinet Ali—sebelum partai itu memiliki corong sendiri, yakni Suluh Indonesia yang terbit perdana 1 Oktober 1953.

Adapun Harian Rakjat pada dasarnya memang kerap berkonfrontasi dengan Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi karena perbedaan ideologi. Di sisi lain, dalam konstelasi politik nasional, PKI lebih dekat dengan PNI. Terhadap PSI dan Masjumi, polemik yang selalu menghiasi hubungan antara PKI dengan dua partai tersebut.

Bagi redaksi Merdeka dan Harian Rakjat, dinukil dari “konfrontasi” di tajuk rencana Indonesia Raya edisi 17, 18, dan 21 September 1953, harian Sumber, Indonesia Raya, Abadi, dan Pedoman memprotes instruksi Iwa karena diberhentikannya biaya berlangganan. 

Merdeka menyinggung pula sikap empat surat kabar tersebut yang sebelumnya dianggap menyetujui gerakan 17 Oktober—peristiwa yang sempat membuat Merdeka diberedel—dan mendukung pembubaran parlemen. 
Indonesia Raya menangkis setiap serangan Merdeka dan Harian Rakjat melalui sejumlah tajuk rencana. 

Pada Oktober 1953, polemik antara Iwa dengan empat surat kabar berangsur-angsur mereda. Akan tetapi, di bulan tersebut muncul lagi kasus yang terkait dengan kebebasan pers. Polemik bermula saat pengurus PWI Jakarta dipanggil Kejagung akhir September atau awal Oktober. 

Infografik Alinea.id/Debbie Alyuwandira

 

Kepada pengurus PWI Jakarta, Kejagung meminta agar jurnalis membatasi diri dalam pemberitaan. Menurut Kejagung, para jurnalis kerap memuat dan menyiarkan berita, seperti pidato anggota DPR dan keterangan saksi dalam persidangan, yang bisa mengakibatkan perpecahan dan permusuhan di antara masyarakat.

Dinukil dari Indonesia Raya edisi 13 Oktober 1953, Kejagung menilai adanya kebebasan pers yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, Kejagung merasa berwenang untuk mengatur pers. Dasar hukum yang digunakan dalam mengambil tindakan preventif adalah Pasal 181 Rechterlijke Organisatie.

“Tegasnya menghindarkan dimuatnya laporan, reportase, kutipan, karangan dan lain sebagainya yang mengandung pernyataan-pernyataan yang melampaui batas dari orang-orang serta berita-berita seperti yang dimaksudkan di atas ini,” tulis Jaksa Agung Soeprapto seperti dimuat Indonesia Raya.

Meski memuat pernyataan Soeprapto, Indonesia Raya mengkritik upaya Jaksa Agung meregulasi pers. Dalam tajuk rencana edisi 13 Oktober 1953, redaksi Indonesia Raya menyamakan peringatan Soeprapto sebagai upaya pembatasan kemerdekaan pers.

“Pers adalah pencatat kenyataan-kenyataan sejarah, dan jika kenyataan-kenyataan memang buruk dan mengandung perpecahan dan permusuhan di tanah air, maka tentulah semua ini akan terbayang dalam pemberitaan-pemberitaan pers pula,” tulis Indonesia Raya.

Ketegangan antara pers dan Jaksa Agung berakhir setelah Menteri Kehakiman Djody mempertemukan Soprapto PWI Pusat, PWI Jakarta, dan SPS pada 16 Oktober 1953. PWI menyatakan bisa menerima permintaan Kejagung apabila suratnya hanya bersifat seruan. 

Dalam pertemuan itu, Menteri Djody dan Jaksa Agung Soeprapto juga mengatakan pemerintah bakal melindungi profesi wartawan. Selama dilengkapi dengan fakta dan data, mereka menyebut wartawan tidak perlu merasa ragu-ragu dalam tulisan dan pemberitaannya. 

“Selama tulisannya dan pemberitaannya itu memberikan gambaran yang objektif, zakelijk dan waarheidsgetrouw (berdasarkan kebenaran); hal ini mengenai juga pemberitaan pidato-pidato anggota parlemen dan keterangan-keterangan saksi di muka pengadilan,” ujar mereka seperti dikutip Indonesia Raya.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan