mahfud MD: Pemerintah Tetap Gunakan Pendekatan Keamanan Tertib Sipil di Papua

Merdeka.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan hingga saat ini pemerintah tetap menggunakan pendekatan keamanan dalam tertib sipil di Papua.

“Kalau soal ada yang menolak pemekaran wilayah atau DOB, ya, biasa saja. ‘Kan lebih banyak yang mendukung, baik rakyat maupun tokoh-tokohnya. Dukungan sangat masif dan meriah,” kata Mahfud dalam akun Instagramnya @mohmahfudmd, yang dipantau, di Jakarta, Rabu (20/7).

Mahfud mengatakan hal itu menanggapi peristiwa pembantaian 12 orang sipil (10 meninggal dunia) oleh KKB di Papua.

“Kalau OPM, ya, memang sejak awal menolak pemekaran. Kalau menunggu semua orang setuju atas satu rencana kebijakan, tak ‘kan pernah ada kebijakan. Di dalam negara demokrasi, biasa ada yang setuju dan tak setuju,” katanya.

Terkait dengan Papua, kata Mahfud, memang ada bias opini yang sering dikembangkan oleh kelompok-kelompok tertentu.

Misalnya, opini bahwa di Papua terjadi pelanggaran HAM oleh aparat sampai-sampai disoroti oleh dunia internasional.

“Itu adalah hoaks karena faktanya KKB yang membunuh warga sipil dengan keji,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Salah satu contoh hoaks, pada tahun 2021 Indonesia mendapat 19 surat peringatan dari Special Procedure Mandate Holders (SPMH) PBB di Jenewa. Namun, faktanya tidak ada peringatan atau sorotan itu.

Pada tanggal 13—14 Juni 2022, Mahfud hadir pada Sidang Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa untuk menyampaikan pidato pemajuan HAM.

Pada Pembukaan Sidang KTT Ke-50 HAM, kata dia, Indonesia tidak disebut sebagai negara yang disorot atau dirujuk, padahal ada 49 negara yang disorot dengan 32 sorotan negatif.

“Indonesia tidak disebut sama sekali sejak sidang-sidang KT HAM PBB pada tahun 2020,” kata Mahfud.

Adapun soal surat dari SPMH itu, lanjut dia, bukan sorotan atau investigasi, melainkan penerusan surat dari masyarakat untuk diketahui. Akan tetapi, isi surat itu tidak pernah dibicarakan di KT HAM PBB.

Ketika Indonesia mendapat penerusan 17 surat dari SPMH PBB, pada kurun waktu yang sama Amerika Serikat mendapat penerusan lebih dari 70 surat. Banyak negara lain, seperti Iran, India, dan Malaysia juga mendapat surat-surat penerusan yang sama.

Surat-surat itu, kata Mahfud, bukan sorotan pelanggaran HAM oleh PBB, melainkan penerusan surat biasa untuk diketahui dan dipersilakan untuk menjelaskan kalau negara yang bersangkutan mau menjelaskannya.

“Penjelasan tersebut nanti dipasang di website SPMH. Itu saja, tapi oleh kelompok-kelompok tertentu diembuskan bahwa PBB akan melakukan investigasi. Ada yang gagah-gagahan mengumumkan telah membentuk tim untuk menyambut tim SPMH dari PBB guna menyampaikan pengaduan,” ujarnya.

Padahal, tidak ada rencana kunjungan, apalagi investigasi tersebut dari PBB. Buktinya sampai sekarang tidak ada apa-apa.

“Waktu saya datang ke markas PBB pun tidak ada catatan apa pun. Bahkan, ketika bertemu langsung dengan Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Buchelet, saya dan lima anggota delegasi dari Indonesia mendengar langsung bahwa sang komisioner memberi apresiasi atas perkembangan terakhir yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI,” ucap Mahfud.

Ia mengatakan bahwa masyarakat belum tahu dan harus tahu bahwa SPMH itu bukan organ PBB yang bisa menilai dan menyelidiki pelanggaran HAM di suatu negara atas nama KT-HAM PBB.

“Jadi, tanpa bermaksud mengatakan bahwa di Indonesia benar-benar bersih dari pelanggaran HAM, kita pastikan bahwa KT-HAM PBB sudah tiga kali sidang tahunan (sejak 2020) tidak menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang disorot atau dirujuk. Saya mengapresiasi hasil diplomasi Kementerian Luar Negeri yang mampu menjelaskan hal itu ke internasional,” demikian Mahfud MD.

[ded]


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.

Tinggalkan Balasan