Mencari striker dalam tumpukan jerami Liga 1

Enam tim yang lebih tinggi atau setara kualitasnya mencakup Thailand, UEA, Vietnam, Malaysia, Kuwait, dan Yordania. Enam negara yang rangking FIFA-nya lebih rendah meliputi China Taipei, Myanmar, Kamboja, Laos, Singapura, dan Nepal.

Kontribusi striker di timnas senior selama ditangani STY tidak cuma minim, namun nihil. Khususnya gol yang dicetak penyerang Garuda ke jala gawang tim-tim yang lebih tinggi atau setara kualitasnya, bukan negara yang rangking FIFA-nya lebih rendah.

Gawang tim kuat menjadi titik paling sulit diincar selama ini. Sepuluh gol hanya dicetak timnas senior, masing-masing empat ke Thailand serta Malaysia, dan dua bersarang ke jala Kuwait.

Dari sepuluhnya itu, tiga gol saja yang berasal penyerang: brace Irfan Jaya versus Malaysia di penyisihan Grup B Piala AFF 2020. Egy Maulana menjaringkan bola kontra Thailand di final leg kedua Piala AFF 2020, yang menyeimbangkan kedudukan akhir 2-2. Dua penyerang Irfan dan Egy mendulang skor, bukan striker murni, melainkan penyerang sayap.
 
Gelandang lebih subur mencatatkan lima nama: Kadek Agung dan Evan Dimas (kontra Thailand di Pra-Piala Dunia 2022), Ricky Kambuaya (kontra Thailand di final leg kedua Piala AFF 2020). Terakhir, Rahmat Irianto dan Marc Klok (lawan Kuwait di Pra-Piala Asia 2023). Bek pun tidak ketinggalan: Pratama Arhan dan Elkan Baggot (versus Malaysia di penyisihan Grup B Piala AFF 2020).

Bukan rahasia, STY kurang berkomunikasi dengan para pelatih domestik di klub-klub Liga 1. Selain itu mungkin pemantau striker di PSSI tidak becus menentukan pilihan. Hal ini tentu bisa mengundang pertanyaan yang bukan-bukan. Soal striker titipan, misalnya.

Trio Kushedya Hadi Yudho, Dedik Setiawan, dan Hanis Saghara gagal total. Ezra Walian hanya sukses ke gawang Singapura, Dimas Drajat sebatas ke Nepal. Ronaldo Kwateh hilang sentuhan sejak dari Toulon sampai ke Bekasi, belum matang pula.

Sementara ketajaman Ilija Spasojevic diremehkan, begitu pula Muhammad Rahmat dan Syamsul Arif. Stefano Lilipaly yang selalu tampil cerdas di timnas, kurang dioptimalkan STY untuk beradaptasi lebih lama ke dalam sistem permainan. Taufik Hidayat alumni U-23 juga terlupakan.

Karena itu, STY sering menampilkan formasi stiker palsu dan memutuskan lebih banyak menaturalisasi pemain belakang. Visinya lebih mengutamakan gaya sepakbola bertahan.

Banyak kendala buat mencari warga negara baru dari mancanegara yang berakar diaspora, khususnya di posisi striker. Bukan hanya restu orang tua dan keluarga menjadi hambatan mereka.

Tapi pemain asal Eropa pasti kehilangan berbagai tunjangan hidup dan kesejahteraan fasilitas kalau memutuskan beralih kebangsaan. Tidak terbayang berapa besar penyesuaian gaji dan potongan pajak yang harus dibayar Emil Audero di Italia bila berganti paspor Indonesia. Apalagi seandainya pemain sedang bersinar di usia produktif, bukan merambat usia senja seperti Jordi Amat.

Striker bukan sekadar lenyap dari timnas selama era kepelatihan ala drakor ini. Tapi faktanya ialah memang tidak pernah ada sejak dalam pikiran STY sendiri.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan