Menyoal Mahalnya Harga Beras yang Bikin Porsi Nasi Warteg Berkurang

Menyoal Mahalnya Harga Beras yang Bikin Porsi Nasi Warteg Berkurang

tribun-nasional.com – “Yang tadinya satu kilogram beras bisa untuk sembilan piring, kami bagi porsinya untuk sepuluh porsi,” ujar Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni menanggapi ihwal mahalnya harga beras yang saat ini masih terjadi.

Mukroni mengatakan, tingginya harga beras ini berdampak pada kenaikan biaya operasional.

Alhasil, kata Mukroni, pedagang warteg mau tidak mau mengurangi porsi makanan yang dijual kepada pembeli untuk menyiasati kenaikan harga beras tanpa harus menaikkan harga.

Dengan mengurangi porsi makanan untuk pembeli, Mukroni berharap bisa menambah pendapatan dari satu porsi itu sebagai bentuk kompensasi harga beras yang sedang tinggi.

Menurut Mukroni, langkah mengurangi porsi nasi ini dianggap pilihan paling tepat dibanding menaikkan harga makanan ketika daya beli masyarakat sedang terpuruk akibat kenaikan harga bahan pokok.

Para pedagang warteg khawatir bila mereka menaikkan harga imbas mahalnya beras dan bahan pokok lain, maka pembeli yang didominasi kelas menengah ke bawah akan pergi.


“Masyarakat masih pelit untuk membelanjakan uangnya karena mungkin kebutuhan lainnya yang juga mengalami kenaikan,” kata Mukroni.

Bukan hanya Mukroni, tetapi pedagang eceren pun juga mengeluhkan mahalnya harga beras.

Nur, salah satu pemilik warung eceren yang menjual beras di Kemanggisan Palmerah, mengaku mau tak mau harus menaikkan harga beras di warungnya agar mendapatkan untung.

“Yah harus naikinlah Rp 1.000 per liter kayak beras merek Jambu yang biasanya Rp 9.000 per liter saya jual Rp 10.000, terus kalau merek Wayang juga sama yang sebelumnya Rp 10.000 saya naikin Rp 11.000 per liter,” ujar Nur.

Nur bilang, dirinya harus menaikkan harga beras lantaran beras yang ia beli dari distributor beras juga naik yang biasanya Rp 420.000 untuk beras isi 50 kilogram menjadi Rp 430.000.

Menurut Nur, kenaikan harga beras tersebut sudah berangsur lebih dari 3 mingguan. Sementara untuk stok beras di pasaran dinilai tidak begitu sulit didapatkan

Kenaikan harga beras sudah terjadi sejak akhir tahun lalu. Mengutip dari Pusat Informasi Hargan Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga beras kulitas bawah I tembus Rp 13.500 pada awal tahun lalu, kualotas bawah II Rp 14.000, dan kualitas menengah Rp 16.000 per kilogram.

Sementara saat ini harganya sudah turun walaupun masih tergolong mahal. Beras kualitas bawah I dibanderol Rp 12.000 per kilogram, beras kualitas bawah II dibanderol Rp 11.650 per kilogram, dan beras kualitas menengah Rp 13.050 per kilogram.

Penyebab harga beras mahal

Penyebab mahalnya komoditas pokok ini sudah banyak dibeberkan oleh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, peneliti, ekonom, hingga petani.

Namun, faktor utama yang menjadi biang kerok mahalnya beras ini adalah lantaran stok atau pasokannya yang minim hingga adanya diduga oknum nakal di industri beras.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, kenaikan harga beras terjadi karena beras yang dipasok oleh Bulog ke pasar tradisional adalah beras dengan kualitas premium atau maksimum butir patah 15 persen.

Zulhas bilang, harga beras Bulog yang dijual oleh pedagang adalah di atas Rp 10.000 per kg. Padahal, Bulog melepas beras ke pedagang seharga Rp 8.300 per kg. Seharusnya pedagang menjual beras ini Rp 9.540 per kg

“Jadi beras yang dikeluarkan Bulog itu kan harganya Rp 8.300 per kg, harusnya sampai ke pasar itu Rp 9.540 per kg. Ada keuntungan yang di tengah sama pengecer, tapi kadang-kadang diambil besar, karena berasnya bagus, dijual premium,” kata Zulhas, Minggu (5/2/2023).

Mengutip situs Kemendag, harga beras Premium di DKI Jakarta awal Februari 2023 dibandrol Rp 12.453 per kg, di Jawa Barat Rp 12.921 per kg, dan di Jawa Tengah Rp 13.056 per kg. Sementara itu, di Sumatera Barat harga beras Premium mencapai Rp 16.375 per kg.

Sedangkan harga beras Medium dibandrol seharga 11.444 per kg di DKI Jakarta, Rp 10.840 per kg di Jawa Barat, dan Rp 10.984 per kg di Jawa Tengah. Adapun harga beras medium tertinggi di Sumatera Barat yakni Rp 14.542 per kg.

Untuk mengatasi harga beras yang masih tinggi, Zulhas mengatakan pihaknya tengah melakukan kordinasi dengan Bulog untuk memasok beras ke pedagang tanpa perantara.

Hal ini diyakini bisa menekan harga beras, sekaligus memotong rantai pasok dalam penyaluran beras, hingga ke tangan konsumen.

“Pak Presiden, memerintahkan untuk menggelontorkan beras besar-besaran, agar tidak ada perantara lagi,” lanjut Zulhas.

Sementara Direktur Perum Bulog Budi Waseso menuding ada oknum yang menjual beras Bulog kepada pedagang dengan harga mahal.

Pria yang kerap disapa Buwas ini mengatakan, oknum tersebut disinyalir adalah pedagang beras atau pegawai Bulog, yang dengan sengaja menghalangi pedagang mengambil langsung dari Bulog. Menurut dia, pihaknya menjual beras seharga Rp 8.300 per kg, sehingga harga yang harus dijual pedagang adalah Rp 9.400 per kg.

Namun, dia menyebutkan, selama ini para pedagang terhalangi mendapatkan beras langsung dari Bulog, sehingga harga yang diperoleh pedagang di atas Rp 8.300 per kg.

Buwas beranggapan bahwa kenaikan harga beras karena oknum yang ingin mengambil untung dari beras impor. Sementara dari sisi pedagang, menilai kenaikan harga beras karena Bulog belum menyalurkan cadangan impornya.

“Sebenarnya saya sudah menerima laporan intelijen terkait hal ini, Inilah pentingnya menelusuri downline beras impor untuk memastikan konsumen dikenakan HET untuk beras medium. Komitmen pedagang dalam hal ini menjadi penting,” kata Buwas di Cipinang akhir pekan lalu.

Dampak kebijakan impor belum terlihat

Lantaran harga beras masih belum stabil, pemerintah akhirnya membuka keran impor. Kementerian Perdagangan meneken penugasan ke Bulog untuk mengimpor 500.000 ton beras asal Myanmar, Pakistan hingga Filipina.

Dari total tersebut, beras yang masuk pun belum mencapai 100 persen lantaran terhambat faktor cuaca. Namun, dipastikan begitu Indonesia masuk ke dalam tahap panen, keran impor akan ditutup.

Sayangnya, jurus membuka keran impor ini pun dinilai belum memberikan dampak terhadap harga beras.

Center for Indonesian Policy (CIPS) menilai pemerintah perlu meninjau kembali peran Bulog dalam rantai pasok beras untuk memastikan efektivitasnya dan menciptakan pasar beras yang tidak rentan terhadap fluktuasi harga.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengatakan, keterlibatan Bulog terlibat di tingkat hulu dan hilir dalam rantai pasok beras ditetapkan oleh Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 3 ayat 2.

Menurut Hasran, masalah muncul karena di tingkat hulu, Bulog harus melakukan pengadaan beras dari petani.

“Tidak seperti pihak swasta, Bulog harus membeli beras dengan semua tingkat kualitas dan menyimpan stok penyangga sebagai cadangan nasional di gudangnya,” ujar Hasan dalam siaran persnya, Senin (13/2/2023).

Lebih lanjut Hasran mengatakan, Bulog menggunakan biaya pemerintah saat bersaing dengan pihak swasta dalam pengadaan beras. Penugasan untuk menjaga stok nasional memunculkan biaya tambahan yang tidak sedikit.

Walaupun beras dikonsumsi di seluruh wilayah Indonesia, tetapi produksinya terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Data BPS 2021 menyebut pada 2020, produsen utama beras di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan total produksi Gabah Kering Giling (GKG) masing-masing sejumlah 9,94 juta ton, 9,48 juta ton dan 9,01 juta ton.

“Bersaing dengan swasta akan selalu membuat Bulog menjadi pihak yang merugi karena swasta bisa menawarkan harga beras yang lebih tinggi kepada petani dan meminta kualitas beras yang lebih baik,” jelasnya.

Terkait tingginya harga beras saat ini, Bulog mengklaim telah mendistribusikan 100.000 ton beras melalui Operasi Pasar yang berlaku sejak 17 Januari 2022, untuk menjaga agar kenaikan harga tetap terkendali.

Operasi pasar yang diintensifkan sejak awal tahun tidak banyak berdampak pada penurunan harga beras, terbukti dengan tingginya harga beras di tingkat konsumen.

Masalahnya menurut dia, terletak pada panjangnya jalur distribusi dari Bulog ke konsumen.

Oleh sebab itu, penelitian CIPS merekomendasikan adanya revisi pada Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Pasal 8 poin c, d, dan e untuk membuka peluang bagi Bulog agar fokus melindungi keluarga pra sejahtera melalui program bantuan bencana.

Di sisi lain, ia menilai pembatasan impor juga perlu dilonggarkan dengan menghapuskan hambatan kuantitatif untuk impor beras , dan menghapus monopoli Bulog untuk mengimpor beras kualitas menengah seperti yang tertera di Permendag Nomor 103 Tahun 2015 pasal 9.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.