Moon, Gereja Unifikasi, dan pembunuhan Shinzo Abe

Selain karena eksistensi Divine Principle, Gereja Unifikasi juga dianggap menyimpang lantaran upacara pemberkatan (blessing) atau pernikahan massal yang rutin digelar Moon. Upacara unik itu kali pertama dihelat pada 1961 di Seoul untuk 36 pasangan. 

Ketika itu, semua pasangan merupakan pengikut Gereja Unifikasi. Terkecuali 12 pasangan yang sudah menikah, Moon memilih sendiri pasangan para anggota gereja yang akan dinikahkan. Kelak, Moon mewajibkan para anggota baru untuk selibat selama tujuh tahun sebelum dipilihkan pasangan hidup oleh dia. 

“Apa yang dikatakan Yesus kepada ayah saya waktu itu, ‘Saya tidak datang untuk mati. Saya datang untuk menemukan pasangan sejati saya dan kita akan membangun apa yang disebut keluarga sejati,'” kata In Jin Moon, putri Moon. 

Meski dihadang beragam kontroversi yang bikin Moon kerap harus berurusan dengan hukum, Gereja Unifikasi berkembang pesat. Pada 1957, cabang-cabang gereja Moon berdiri di seantero Korea. Pada 1970-an, Moon mengklaim sudah punya kongregasi di 50 negara, termasuk di Jepang dan AS. 

Di luar aktivitas keagamaan, Moon juga membangun bisnis. Pada 1963, Moon mendirikan Grup Tongil (Tong Il). Anak perusahaan grup ini bergerak di sejumlah bidang, semisal konstruksi, resort, dan persenjataan. Pada 2010, Forbes melaporkan nilai aset Grup Tongil mencapai US1,5 miliar. 

Untuk mempromosikan ajaran-ajarannya, Moon juga membangun bisnis media. Pada 1982, ia mendirikan Washington Times dan News World Communication. Dalam autobiografinya, Moon mengungkap punya niat menguasai dunia. “Seluruh dunia ada di tangan saya. Saya akan menaklukkannya,” kata dia. 

Niat itu tak kesampaian. Pada 2012, Moon meninggal. Gereja Unifikasi diteruskan oleh istri kedua Moon, Hak Ja Han. Seperti Moon, Han juga mengklaim sebagai mesias. Bisnis Moon kini jatuh ke tangan putra-putri mereka.

Pendiri Gereja Unifikasi Moon Sun Myung memimpin prosesi pemberkatan dalam acara nikah massal di Madison Square Garden, New York, AS, 15 Juli 1982. /Foto Wikimedia Commons

Alat politik? 

Pada pertengahan Maret 1978, parlemen AS merilis sejumlah dokumen intelijen yang mengindikasikan Gereja Unifikasi bukan didirikan oleh Moon. Disimpulkan dari kawat intelijen CIA, pendiri gereja itu ialah Kim Chong Pil, salah satu petinggi Badan Pusat Intelijen Korea (Korean Central Intelligence Agency/KCIA). 

“Kim Jong Pil mengorganisasi Gereja Unifikasi saat ia menjabat sebagai direktur dari Badan Pusat Intelijen R.O.K. Ia menggunakan gereja itu, kini punya 27 ribu anggota, sebagai alat politik,” tulis salah satu kawat intelijen CIA bertanggal 26 Februari 1963 sebagaimana dikutip dari New York Times. 

Saat kabel intelijen itu ditulis, Korea Selatan dipimpin Presiden Park Chung Hee. Park duduk di kursi penguasa setelah kudeta dua tahun sebelumnya. Kim adalah salah satu bawahan Park saat di militer. Setelah kudeta, Kim dipercaya Park memimpin KCIA. 

CIA meyakini Gereja Unifikasi dibangun Kim atas arahan Park. Selain mengumpulkan massa, organisasi itu dibentuk sebagai alat lobi. “Gereja itu bersifat rahasia dan dijalankan bak sebuah organisasi komunis,” tulis laporan CIA lainnya. 

Di depan publik, Kim membantah dikaitkan-kaitkan dengan Gereja Unifikasi. Bahkan saat telah pecah kongsi dengan Park dan memimpin partai oposisi di Korsel, Kim menegaskan tak punya hubungan dengan Gereja Unifikasi dan Moon. 

Di AS, menurut CIA, Korean Cultural and Freedom Foundation yang didirikan pada 1965 merupakan salah satu cabang dari Gereja Unifikasi. Dari penelusuran terhadap sejumlah dokumen, eks Presiden AS Harry S Truman dan Dwight D Eisenhower tercatat sebagai pemimpin kehormatan yayasan tersebut. 

Di luar polemik pendiriannya, Gereja Unifikasi memang menjalankan aktivitas politik. Moon sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh antikomunis. Sebelum mendirikan Gereja Unifikasi, Moon kerap keluar-masuk bui karena aktivitas politiknya. 

Pada awal 1940, Moon pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun untuk melanjutkan studi. Di Negeri Sakura itu, ia jadi salah satu aktivis yang memperjuangkan kemerdekaan Korea. Pada era Perang Dunia II, Semenanjung Korea masih berada di bawah kuasa Jepang. 

“Saya bahkan tidak ingat berapa kali saya ditahan polisi, dipukuli, disiksa, dan dikurung di sel. Bahkan dalam kondisi penyiksaan yang terburuk pun, saya menolak memberikan informasi yang mereka cari,” kata Moon.

Setelah bergelimang duit, Moon juga masih aktif memperjuangkan reunifikasi Korea dan keyakinan politiknya. Pada 1968, misalnya, Moon mendirikan International Federation for Victory over Communism. Menurut situs yang berafiliasi dengan Gereja Unifikasi, anggota federasi itu mencapai 4 juta orang di Korea Selatan. 

Selain itu, Moon juga rutin mendanai forum-forum internasional bertema politik. Salah satu yang paling fenomenal ialah gelaran konferensi di Jenewa, Swiss, pada 1985. Bertajuk “The End of the Soviet Empire,” konferensi itu seolah sukses meramalkan runtuhnya Uni Soviet. Itu sesuatu yang bahkan sulit diprediksi oleh lembaga intelijen dan organisasi riset global. 

Moon juga dikenal piawai membangun relasi dengan pemimpin-pemimpin dunia dan para pesohor. Moon dikenal dekat dengan mantan Perdana Menteri Jepang Nobusuke Kishi, pernah berbincang empat mata dengan Presiden Rusia Mikhael Gorbachev, dan rutin menghadirkan selebritas Holywood sebagai pembicara di seminar dan forum yang digelar Gereja Unifikasi. 

Dalam Messiah: My Testimony to Rev. Sun Myung Moon yang dipublikasikan pada 2002, Bo Hi Pak, salah satu orang dekat Moon, mengklaim Moon juga turut berkontribusi meredakan ketegangan politik antara Korsel dan Korut pada 1991. Ketika itu, Korut mengumumkan rencana untuk mengetes rudal nuklir pertama mereka.

Dengan bantuan eks Presiden Kosta Rica Carazo Odio, Moon sukses menggelar audiensi dengan Kim Il Sung, Presiden Korut ketika itu. Pertemuan digelar di Pyongyang. Dalam pertemuan itu, Moon meminta Kim tak memulai perang di Semenanjung Korea.  

Bo menyebut Kim Il Sung memenuhi permintaan Moon. “Pendeta Moon, yang meramalkan gelombang kehancuran komunisme yang bermula dari Uni Soviet akan menjalar hingga Korea Utara, meyakini adalah misinya untuk mengendalikan situasi di Korea,” tulis Bo. 

Wartawan berkumpul di area penembakan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Kota Nara, Jepang, Juli 2022. /Foto Wikimedia Commons
 

Eksploitasi Jepang 

Meskipun berbasis di Korsel, Jepang jadi sumber duit utama bagi Gereja Unifikasi. Sekitar 70% pendapatan Gereja Unifikasi diperoleh dari sumbangan anggota di Jepang. Pada medio 1970-an hingga medio 1980-an, setidaknya ada sekitar US$800 juta yang mampu “digondol” Moon dari Jepang ke AS. 

“Moon mengirimkan kantong-kantong berisi uang ukuran besar dari Korea dan Jepang ke Manhattan Center (properti milik Gereja Unifikasi di New York). Ketika ditanya darimana duit itu berasal, jawabannya selalu sama, ‘Dari Ayah (Moon),'” ungkap Ron Paquette, salah satu eks petinggi Gereja Unifikasi kepada Washington Post pada 1997. 

Misionaris pertama Gereja Unifikasi tiba di Jepang pada 1958. Berkat kedekatannya dengan PM Nobusuke Kishi, Moon tak mengalami kendala berarti saat mendirikan cabang Gereja Unifikasi di Jepang pada 1959. Status sebagai organisasi keagamaan legal bisa didapat dengan mudah oleh Moon dari pemerintah Jepang. 

Di Jepang, “anak buah” Moon mengumpulkan donasi dengan beragam cara. Salah satu yang paling lazim ialah dengan menjual gingseng dan produk-produk relijius semisal miniatur pagoda yang diproduksi perusahaan milik Moon di Korsel. Mereka mengklaim produk-produk tersebut memiliki kekuatan spiritual. 

Kasus-kasus permintaan donasi dengan kekerasan oleh kader-kader Gereja Unifikasi mulai terkuak pada awal dekade 1980-an. Ribuan warga dilaporkan jatuh miskin lantaran dipaksa mendonasikan harta mereka untuk perkembangan gereja. Utusan gereja menuntut donasi dari para anggota karena diminta oleh arwah mendiang keluarga mereka.

Infografik Alinea.id/Enrico P.W

Hiroshi Yamaguchi, salah satu pengacara yang puluhan tahun mengadvokasi korban-korban pemerasan Gereja Unifikasi, mengungkapkan praktik-praktik permintaan donasi semacam itu masih dijalankan oleh pihak gereja. 

Ia mencontohkan putusan pengadilan Tokyo pada Februari 2020 yang menetapkan agar Gereja Unifikasi mengembalikan donasi sebesar 4,7 juta Yen yang diberikan salah satu pengikutnya. Sang pengikut mengaku memberikan donasi di bawah tekanan dan ketakutan. 

“Gereja Unifikasi masih diawasi oleh lembaga yudisial karena praktik-praktik ilegal yang mereka lakukan,” kata Yamaguchi seperti dikutip dari Mainichi. 

Belakangan, Gereja Unifikasi juga “menautkan” Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Tetsuya Yamagami. Sebagai cucu dari Nobusuke Kishi, Abe punya hubungan baik dengan para petinggi Gereja Unifikasi. Tak terhitung berapa kali ia terekam menghadiri acara-acara yang dibikin gereja itu. 

Ibu Yamagami pecinta sekte itu. Sang ibu dilaporkan mendonasikan lebih dari 100 juta Yen untuk Gereja Unifikasi. Setengah dari donasi itu diambil dari duit asuransi mendiang suaminya. Yamagami membenci Gereja Unifikasi karena bikin ibunya bangkrut pada 2002 dan keluarganya berantakan.  

Di Nara, awal Juli lalu, Yamagami menembak Abe. Sebagaimana dilaporkan Ashahi Shinbun, peluru-peluru itu sebelumnya ia siapkan untuk Hak Ja Han, istri Moon yang kini jadi pemimpin Gereja Unifikasi. Yamagami pindah target lantaran Han tak pernah lagi mengunjungi Jepang sejak pandemi Covid-19 merebak. 

Psikolog dari Rissho University, Kimiaki Nishida menyebut pembunuhan Abe menunjukkan betapa bahayanya “persekutuan” yang terbangun antara sekte keagamaan dan kalangan politikus. Demi merawat simpati dan popularitas, para pejabat negara kerap tutup mata terhadap praktik-praktik lancung yang dijalankan sekte-sekte keagamaan. 

“Ini (Gereja Unifikasi) bukan lembaga keagamaan, tapi sekte yang haus akan uang. Akan tetapi, tak seorang pun mau menyentuh isu ini di Jepang,” ujar Nishida. 

 


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan