Murah tawa rentan bahaya di wahana pasar malam

Beberapa pakaian dijajakan di dekat wahana permainan di pasar malam sebelah Kantor Kelurahan Rangkapan Jaya, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Rabu (10/80. Alinea.id/Akbar Ridwan

Izin itu hanya berlaku sebulan. Akan tetapi, lantaran masih bisa meraup untung, izin diperpanjang. Tiket per wahana hiburan itu dipatok Rp10.000. Khusus istana balon, karcisnya Rp15.000.

Menurut Ali, pengelola wahana permainan berasal dari daerah yang berbeda-beda. “Tapi kebanyakan dari Indramayu (Jawa Barat),” ujar dia.

Sementara para pedagang di pasar malam itu ada yang berasal dari UMKM binaan kelompoknya. Selain ada pula warga sekitar yang ikut mendulang cuan.

“Kalau biaya warga (berdagang) untuk sewa tenda saja,” tuturnya.

Sosiolog dari Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi memandang, pasar malam merupakan salah satu tempat melepas penat masyarakat kelas bawah. Di samping murah dan dekat tempat tinggal, pasar malam dipilih karena ada keterkaitan memori kolektif.

“Ada memori kolektif yang diwariskan (orang tua) kepada anak-anaknya. Pertunjukannya tidak beda jauh, dengan apa yang dilihat oleh orang tua mereka,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (11/8).

Keberadaan wahana hiburan di pasar malam, jelas Sigit, membuat anak-anak jadi atraktif. “Kalau dia takut, dia bisa melepaskan teriakan. Ketakutan anak itu bukan menjadi kekhawatiran para pengunjung, tapi malah jadi hiburan,” kata dia.

Pasar malam menjadi pilihan karena hiburan terbatas. Di sisi lain, situasi sosial di Indonesia juga membuat keberadaan pasar malam seakan-akan tak tergantikan.

Menurut Sigit, pasar malam eksis di daerah-daerah industri atau pinggiran kota besar. Industrialisasi, katanya, menciptakan dua kelas dengan kemampuan ekonomi berbeda. Kelompok yang dapat terlibat di dalam industrialisasi, biasanya bermukim di perumahan mapan.

Sedangkan yang tertinggal dari proses perubahan, hanya menjadi kelompok “pinggiran” industrialisasi. Mereka biasanya bekerja sebagai pesuruh atau buruh. Kelompok itu lah yang mayoritas mencari hiburan ke pasar malam.

“Kalau di dalam teori, mereka disebut culture lag, bagian dari budaya yang tertinggal oleh proses modernisasi,” ucap dia.

“Karena itu, mereka menikmati bagian-bagian kecil dari kemajuan, dari modernisasi.”

Dihubungi terpisah, dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) A.B. Widyanta—akrab disapa Abe—mengatakan, wahana di pasar malam menjadi pilihan karena ada keinginan warga merasakannya. Dorongan tersebut menguat lantaran keberadaan pasar malam langka, selain murah dan mudah diakses.

“Zaman dulu, hiburan itu memang datang ke desa, ke suatu kawasan, bertahan selama satu bulan. Di situ mereka kemudian menanti kedatangannya,” katanya, Kamis (11/8).

Wahana di pasar malam juga bisa menjadi tempat menyalurkan penat, tanpa memandang status ekonomi. Ia menekankan, dalam rekreasi, aspek yang menjadi pertimbangan utama adalah jarak.

“Wahana-wahana (pasar malam) ini menjadikan arena bersama untuk berhimpun, berjumpa, dan tentu saja itu secara eksplisit ekonomi lokal juga bisa hidup,” ujarnya.

Rentan keselamatan

Komidi putar di pasar malam sebelah Kantor Kelurahan Rangkapan Jaya, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Rabu (10/80. Alinea.id/Akbar Ridwan

Walau begitu, wahana hiburan di pasar malam Rangkapan Jaya, Sawangan, Depok terlihat lemah dalam menjaga keselamatan. Semisal permainan ombak-ombakan. Pengunjung yang naik, hanya bisa berpegangan di besi yang menjadi sandaran punggung. Tanpa sabuk pengaman.

Ismail pun mengakui, aspek keselamatan lemah. Ia menunjuk putrinya yang berada di kereta mini tanpa sabuk pengaman, hanya berpegangan pada setir.

“Lihat sendiri tuh. Kurang safety,” kata pria yang bekerja sebagai buruh itu.

Michael, 17 tahun, pengunjung pasar malam lainnya, mengaku ingin naik kora-kora atau perahu berayun bersama teman-temannya. Namun, ia ragu.

“Takut sih. Tapi, ya sudah. Allah yang ngatur,” ujar Michael.

Terkait aspek keselamatan wahana, Ali berdalih sejauh ini aman. Tak pernah ada insiden di pasar malam yang berada dalam koordinasinya.

“Alhamdulillah, enggak ada apa-apa,” katanya.

Beberapa peristiwa nahas di wahana pasar malam kerap terjadi, meski intensitasnya tak sering. Misalnya, atraksi tong setan di pasar malam alun-alun Kecamatan Ambulu, Jember, Jawa Timur pada Senin (25/7) membuat tiga pengunjung terluka, usai sepeda motor yang dikendarai saat atraksi terlempar ke arah penonton.

Sebelumnya, pada awal Mei lalu, wahana ontang-anting di pasar malam Jalan Jolotundo, Semarang, Jawa Tengah roboh ketika dinaiki sekitar 10 pengunjung. Tak ada korban jiwa, namun beberapa orang terluka.

Abe mengakui, keamanan wahana di pasar malam seringkali menjadi sorotan. Menurut dia, pengelolanya kurang memperhatikan aspek keselamatan pengunjung.

“Tentu saja ini masyarakat perlu dididik, apalagi melibatkan anak-anak. Harus ada alat keamanan yang bisa meminimalisir jatuhnya korban dan mengurangi risiko,” katanya.

Sosiolog dari UGM, Sunyoto Usman menilai, aspek keselamatan di wahana hiburan pasar malam sudah menjadi persoalan sejak lama. Hal itu mengakibatkan banyak terjadi kecelakaan di pasar malam.

“Ada yang (wahananya) roboh. Saya kira, memang perlu ada kajian yang terkait dengan safety itu,” ujar dia, Kamis (11/8).

“Itu negara harus hadir, pemerintah harus hadir. Media bisa memberikan edukasi juga.”

Sementara itu, Sigit menuturkan, masyarakat sebenarnya sudah melihat aspek keselamatan wahana yang rentan. Namun, hal itu tak menjadi pertimbangan utama mereka untuk tetap naik wahana. Sebab, masyarakat kelas bawah hanya melihat kemampuan ekonomi.

“Dengan uang sekian ini, anak dan keluarga bisa menikmati hiburan. Ya inilah yang mereka nikmati,” ujar Sigit.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan