Masih tersingkir
Namun, yang dipilih Jokowi adalah baju adat untuk bangsawan. Baju adat Dolomani yang dipakai Jokowi dalam upacara kemerdekaan Indonesia ke-77 merupakan pakaian kebesaran sultan di Buton.
“Baju adat itu punya simbol kedudukan,” kata Bani.
“Ada baju adat untuk bangsawan, ada yang untuk rakyat. Nah, yang dipakai Pak Jokowi biasanya baju adat untuk bangsawan.”
Oleh karenanya, ia memandang, pakaian adat yang dikenakan Jokowi menampilkan cermin kekuasaan ketimbang kerakyatan. “Barangkali ini dipilih karena pakaian raja itu yang paling bagus,” ujar Bani.
Entah sadar atau tidak, Bani merasa, Jokowi cenderung memilih budaya elitis sebagai eksistensi budaya Nusantara.
Di sisi lain, Direktur Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman memandang, sejauh ini pemerintah pusat dan daerah hanya menghormati masyarakat adat secara simbolik, dengan mengenakan pakaian adat di acara-acara resmi kenegaraan. Misalnya, kebiasaan Jokowi memakai baju adat di upacara peringatan kemerdekaan.
“Tapi begitu bicara hak masyarakat adat, harus melalui proses politik yang sangat luar biasa, tidak bisa dengan mudah,” kata Arman, Senin (22/8).
Pendapat Arman bukan isapan jempol. Bahkan, di beberapa tempat, masyarakat adat masih terancam keberadaannya.
Misalnya, konflik tanah antara masyarakat adat Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Pada Senin (22/8), ratusan aparat gabungan mendatangi wilayah adat Sihaporas, saat masyarakat memprotes keberadaan PT TPL yang menurut mereka sudah sekian kali menyerobot tanah adat.
“Sekitar pukul 12.00 WIB (Senin, 22/8), sebanyak 250 aparat keamanan mendatangi (wilayah) adat Sihaporas yang berjaga di wilayah adat Buttu Pangaturan, Pamatang Sidamanik, Simalungun,” tutur seorang warga adat, Risnan Ambarita, Senin (22/8).
“Tujuannya mau membuka blokade masyarakat adat dan meninjau pembibitan TPL. Namun, warga menolak, sebelum ada pengakuan wilayah adat Sihaporas.”
Menurut Risnan, blokade dilakukan lantaran warga tak terima PT TPL berulang kali menanam eukaliptus di wilayah adat mereka, tanpa izin. Aparat memaksa masuk, sehingga aksi saling dorong tak terhindarkan.
“Pukul 13.30 WIB, polisi memberi tembakan peringatan ke atas, sehingga ada kaki perempuan adat terkena peluru karet dan ada seorang ibu pingsan karena dorong-mendorong,” ucap Risnan.
Kemudian, pukul 15.00 WIB, Kapolres Simalungun AKBP Ronald Fredy C Sipayung, komandan distrik militer (dandim), dan staf gubernur bernegosiasi dengan warga agar PT TPL diizinkan meninjau penanaman eukaliptus.
“Warga menyetujui permintaan tersebut, namun dengan syarat, pihak PT TPL tidak boleh melanjutkan aktivitas di wilayah adat Sihaporas,” kata Risnan.
Risnan mengatakan, masyarakat adat Sihaporas sudah sering menerima intimidasi aparat imbas konflik dengan PT TPL. Konflik itu telah berlangsung sejak 1998, saat wilayah adat dijadikan konsesi perkebunan oleh pemerintah. Sejak itu, perlahan wilayah adat Sihaporas rusak dan menyusut.
Berdasarkan perhitungan masyarakat adat Sihaporas, sekitar 1.500 hektare lahan adat yang terdegradasi lahan eukaliptus PT TPL. Kini, tinggal sisa 500-an hektare milik masyarakat adat. Celakanya, sekitar 1.500 hektare itu merupakan lahan yang menjadi lumbung pangan masyarakat adat.
“Sekarang yang sisa tinggal perkampungan dan perladangan,” ujar Risnan.
“Kami sudah berulang kali memohon kepada pemerintah untuk mencabut izin konsesi PT. TPL. Tapi tidak ada niat baik untuk penyelesaian dalam memberikan pengakuan.”
Sementara itu, Arman melihat, apa yang terjadi pada masyarakat adat Sihaporas merupakan potret tak adanya keberpihakan pemerintah daerah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Masyarakat adat sudah ada sebelum republik ini terbentuk,” tutur Arman.
“Bung Hatta sebagai perumus dari Pasal 33 (UUD 1945) sebenarnya menegaskan tradisi yang hendak dibangun Indonesia adalah tradisi demokrasi berasas kolektivisme, yang berangkat dari hak kolektif masyarakat adat atau ulayat.”
Menurutnya, sekarang logikanya terbalik. “Yang diberi istimewa itu korporasi. Masyarakat adat disingkirkan atas nama investasi,” katanya.
Selain itu, persoalan ego sektoral juga acap kali memposisikan masyarakat adat dalam situasi yang serba salah. Sebab, banyak undang-undang yang saling bertabrakan dan punya cara pandang berbeda dalam memenuhi hak masyarakat adat sebagai subjek hukum.
“Kemudian diterjemahkan oleh masing-masing kementerian dan lembaga yang menjadikan undang-undang kementerian sebagai kitab sucinya. Belum lagi harus dibuat perda dan sebagainya,” ujar Arman.
Arman menerangkan, praktik itu berbeda dengan ketentuan hak-hak masyarakat adat yang tertuang dalam Pasal 18 b ayat 2, Pasal 28 ayat 3, dan Pasal 32 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
“Pasal-pasal itu mengatur hak-hak masyarakat adat, yang mendeklarasikan sebagai subjek hukum,” tutur Arman.
“Yang tidak selesai itu adalah proses pengadministrasian hak masyarakat adat beserta subjeknya. Jadi, yang diterjemahkan dalam berbagai aturan dan perundang-undangan di bawahnya dimaknai dengan proses-proses politik di daerah.”
Ia memandang, agak repot bila nilai-nilai yang sudah ada mengenai hak masyarakat adat harus diolah kembali, melalui proses politik di daerah. Karena bisa jadi, proses politik di daerah tak memperkenankan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang mesti dilindungi.
“Belum lagi berbagai kebijakan yang melahirkan konflik di daerah, seperti yang terjadi di masyarakat adat Sihaporas, itu buah politik di daerah,” katanya.
“Makanya kami berharap aturan perundang-undangan itu bisa menyasar wilayah-wilayah yang berkonflik, bersengketa, dan sebagainya.”
Urgensi RUU Masyarakat Adat
Manajer data dan informasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Ariya Dwi Cahya mengungkap, belum banyak daerah wilayah adat yang mendapat pengakuan dari pemerintah. Pada Agustus 2022, setidaknya baru 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektare yang teregistrasi, dari perkiraan 42 juta hektare terindikasi wilayah adat seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, baru 198 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektare yang memperoleh pengakuan berupa peraturan daerah dan surat keputusan kepala daerah.
“Sehingga yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektare,” ujar Ariya, Selasa (23/8).
“Dengan demikian baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah.”
Selain itu, kata Ariya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun masih belum signifikan menerbitkan surat keputusan hutan adat.
“Untuk ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) terkait pendaftaran tanah ulayat dan Kementerian Kelautan (dan Perikanan) terkait wilayah kelola perairan oleh MHA (masyarakat hukum adat) juga belum signifikan,” kata Ariya.
Akan tetapi, Agung berkilah, pemerintah sudah berupaya memenuhi hak masyarakat adat melalui KLHK, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian ATR/BPN.
“Kemendagri telah menerbitkan permendagri tentang kode pengesahan desa adat untuk Jayapura, Papua,” ujar dia.
Sedangkan, kata Agung, KLHK sudah menerbitkan kebijakan terkait penetapan hutan adat, dan Kementerian ATR/BPN sudah menerbitkan kebijakan soal tanah ulayat.
Agung menuturkan, secara bertahap kebijakan sektoral yang dibuat pemerintah akan menjadi proses pengakuan masyarakat adat, seperti yang telah dimulai terhadap masyarakat hukum adat di Kenekes, Lebak, Banten. Lalu, hutan adat di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat; Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara; dan Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Meski begitu, Agung mengakui, pemerintah belum optimal memberi pengakuan wilayah adat karena belum ada Undang-Undang (UU) Masyarakat Adat, yang lebih rinci mengatur seluk-beluk masyarakat adat sebagai subjek hukum.
Agung mengatakan, saat ini RUU Masyarakat Adat masih berproses di DPR. Belum dikirim ke pemerintah untuk proses pembahasan dan pengesahan.
“Harapannya, jika UU disahkan akan memperjelas proses pengakuan terkait eksistensi masyarakat dan wilayah adatnya,” ucap Agung.
Sementara Ariya menjelaskan, selama RUU Masyarakat Adat belum disahkan, kebijakan pengakuan masyarakat adat masih mengandalkan undang-undang sektoral dan kebijakan daerah.
Tantangannya, jelas Ariya, pembentukan perda memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Sedangkan substansi perda itu secara umum mengatur tentang tata cara pengakuan masyarakat adat.
“Sehingga memerlukan berbagai aturan turunan dan komitmen kepala daerah untuk melaksanakannya,” ucap Ariya.
Arman pun menyinggung, tanpa UU Masyarakat Adat, hak-hak masyarakat adat serta sistem ketahanan pangan bisa rontok. “Jadi tidak bisa hanya menggunakan baju adat untuk memberi pengakuan kepada masyarakat adat,” ucapnya.
“Pakai baju adat di acara-acara kenegaraan tanpa pengakuan hak masyarakat adat, itu namanya basi-basi.”
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.