Pengamat pertanyakan independensi BI pertahankan suku bunga

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 20-21 Juli lalu memutuskan untuk tetap mempertahankan BI 7-Day Reverse Depo Rate (BI-7DRR) di level 3,5%. Sedangkan, Bank Sentral Amerika Serikat The Fed kembali bergerak agresif dengan mengerek suku bunga acuan Federal Fund Rate (FFR) sebesar 75 basis poin (bps), sehingga saat ini berada di posisi kisaran 2,25%-2,5%.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Fadhil Hasan menilai, kebijakan yang diambil BI dengan tetap mempertahankan BI-7DRR di 3,5% dianggap berani. Fadhil berpandangan keputusan ini diambil BI karena terdapat alasan-alasan cukup kuat, sehingga tak merespon kebijakan The Fed. 

Ia menyebut, di antaranya sesuai seperti keterangan BI bahwa inflasi inti masih terjaga di 2,65%, inflasi pangan 9,1%, dan inflasi tahunan secara total hingga Juni 2022 sebesar 4,35%. Alasan kedua, menurut Fadhil, adalah korelasi BI dan The Fed tidak sekuat sebelumnya.

“BI juga mengklaim korelasi antara kebijakan The Fed dan BI tidak sekuat sebelumnya, karena kekhawatiran capital outflow sudah relatif berkurang. Ini juga karena kepemilikan Surat Utang Negara (SUN) oleh asing sudah menurun jadi sekitar 18%, sebelumnya 38%. SUN sekarang hampir dimiliki BI sendiri,” kata Fadhil dalam diskusi online Narasi Institute, Jumat (29/7).

Menurut Fadhil terkait independensi BI mempertahankan suku bunga acuan menimbulkan pertanyaan sejak adanya Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, BI sudah tak independen lagi.

“Kalau saya lihat sekarang sudah tidak independen lagi, karena BI bisa atau mungkin diharuskan membeli SUN di pasar perdana dan ada mekanisme burden sharing dengan pemerintah jadi tidak memiliki independensi dalam kebijakan moneternya,” ujarnya.

Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat memaparkan data Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Kita pada Rabu (27/7), hingga Juli 2022 burden sharing BI dan pemerintah mencapai sekitar Rp21,87 triliun.

Lebih lanjut, Fadhil menyebut, hal itu masih bisa dimaklumi karena masih dalam keadaan darurat. Menurutnya, yang dikhawatirkan saat ini adalah RUU P2SK yang pada proporsi kewenangannya akan didominasi pemerintah.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan