“Tapi saya yakin di tahun 2023 nanti sudah mulai berjalan lagi seperti biasa.”
Unggul menjelaskan, beberapa fungsi LUTPAA Garut adalah pengujian static dan dynamic roket, teknologi aeronautika, dan teknologi atmosfer, serta analisanya. Di samping itu, fungsi pengamatan, perekaman, pengolahan, analisa, dan pengelolaan data antariksa dan atmosfer. Lalu, pengembangan, pengoperasian, dan pemeliharaan peralatan uji teknologi penerbangan dan antariksa.
“Saat ini, beberapa dari tugas-tugas itu juga sedang menyesuaikan dengan arahan baru,” ucapnya.
“Jadi, ada beberapa yang masih ter-delay atau di-hold, tapi itu tidak memupuskan semangat kita bekerja.”
Terkait SDM, Unggul menjelaskan, kini ada 35 pegawai negeri sipil (PNS) dan 41 non-PNS di LUTPAA Garut. Sekalipun ada kebijakan dari BRIN yang membebaskan peneliti dan perekayasa memilih lokasi kerja, tetapi tak berimbas besar bagi LUTPAA Garut.
Sebab, sekitar 90% pegawai LUTPAA memang tinggal di Garut. Meski begitu, ia mengakui kebijakan tersebut membuat dua pegawainya—berposisi humas dan analis APBN—memilih pindah ke Jakarta dan Bogor.
“Namun kami ketambahan juga dari (eks) BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) satu orang karena lokasi rumahnya dekat sini,” katanya.
Di LUTPAA Garut, kata Unggul, hanya ada dua perekayasa. Peneliti tak ada. Saat ini, LUTPAA Garut masih melakukan kerja akuisisi data atmosfer. Data tersebut biasanya diminta berbagai instansi bidang perikanan, pertanian, pendidikan, TNI, dan Polri.
LUTPAA Garut pun masih melakukan kerja penelitian, misalnya terkait roket RX122 dan roket gula sorbitol. “Kemudian juga sedang memodifikasi peluncur roket,” tuturnya.
Sementara itu, eks Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnubroto menyinggung soal SDM BATAN yang sebelumnya tersebar di fasilitas atau kawasan nuklir, seperti Tangerang Selatan, Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Jepara. Karena ada kebebasan memilih lokasi kerja, akhirnya ada pegawai muda yang “mudik”.
Menurutnya, di BATAN ada sekitar 20% dari total pegawai lembaga itu SDM berusia muda, 30 tahun ke bawah. Kepindahan itu, menurut Djarot, bisa merugikan karier SDM muda. Pasalnya, di antara mereka, ada yang menjadi pejabat fungsional pranata nuklir. Negara juga akan rugi lantaran kehilangan generasi masa depan pengelola fasilitas nuklir.
“Adalah salah kalau ASN (aparatur sipil negara) diberi kebebasan. Kami ini seperti tentara, yang menunggu perintah mau ditaruh di mana, bukan memilih di mana,” katanya.
Sejak ditinggal beberapa tenaga muda, kini SDM berusia tua yang mem-back up. “Tetapi itu menunjukkan, suatu saat kita akan mengalami masalah siapa penggantinya,” ujarnya.
Djarot mengingatkan, regenerasi pengelola fasilitas nuklir sangat penting. “Pernah suatu periode, (BATAN) tidak menerima CPNS (calon pegawai negeri sipil), itu benar-benar kami menderita karena rata-rata pegawai usianya mencapai 40 sekian tahun,” kata dia.
“Ujuk-ujuk BRIN mengeluarkan kebijakan bebas memilih. Seharusnya tidak boleh terjadi.”
Lazimnya, periset terlibat langsung dalam fasilitas nuklir. Djarot khawatir bila mereka dipisahkan dari fasilitas tersebut bakal berdampak bagi keselamatan. Apalagi, katanya, ruang-ruang kerja dijadikan coworking space.
“Maka periset kehilangan pijakan kerja dan juga keterikatan dengan laboratorium dan fasilitas,” tuturnya.
“Dalam jangka panjang, di samping pemborosan, juga risiko keselamatan membesar.”
Ia melanjutkan, di Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi (IRI) BRIN, memang ada SDM teknisi dan operator. Tetapi mereka bukan periset. Dalam jangka pendek, menurutnya tak ada masalah.
“(Tetapi) dalam jangka panjang, di mana diperlukan masukan dari para periset terkait berbagai permasalahan yang dihadapi, itu tantangan utamanya,” kata dia.
Para periset dibutuhkan, misalnya dalam menganalisa pergantian suku cadang reaktor nuklir dengan yang baru. “Mungkin operator tak tahu itu, yang menyebabkan rentan dari risiko keselamatan,” ujarnya.
Fasilitas dan alat riset
Di samping itu, Djarot menyesalkan laboratorium eksplorasi uranium BATAN di Kalan, Kalimantan Barat diserahkan kepada pemerintah daerah setempat, tak lama usai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) tersebut diintegrasi ke dalam BRIN pada September 2021.
Menurutnya, hal itu berpotensi membuat Indonesia tak punya “pegangan” lagi ketika ingin mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan uranium sendiri.
“Alasannya karena itu bukan untuk riset,” ujar peneliti ahli utama di Organisasi Riset (OR) Tenaga Nuklir BRIN itu.
“Meskipun sebenarnya, BRIN punya tugas melakukan eksplorasi dan eksploitasi.”
Djarot menduga, pelepasan laboratorium uranium itu dilakukan karena BRIN tak punya anggaran untuk mengelolanya. “Itu salah satu laboratorium yang mendukung kemadirian nuklir, ya (sekarang) hilang,” ucapnya.
Menanggapinya, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah itu adalah laboratorium. Menurutnya, itu hanya lahan tambang yang sudah lama tidak aktif.
“BRIN sebagai badan pelaksana ketenaganukliran tidak perlu ‘memiliki’ tambang bahan galian nuklir,” ucapnya, Kamis (18/8).
Agro techno park (ATP)—kawasan teknologi pertanian terpadu—di Pasar Jumat, Jakarta Selatan yang sebelumnya dikelola BATAN ikut terpengaruh pula usai integrasi BATAN ke BRIN. “Kalau BATAN dahulu punya benih unggul pagi, sorgum, dan kedelai, itu bisa digunakan perusahaan menengah dan kecil,” kata dia.
Setelah BATAN tergabung ke BRIN, kata Djarot, ATP tak lagi menjadi prioritas. “Kalau dikatakan sepenuhnya terbengkalai, tidak. Masih ada kegiatan, meski tidak seaktif dulu lagi,” tuturnya.
Djarot mengatakan, tak ada fasilitas nuklir yang terbengkalai. “Kalau terbengkalai, sangat berbahaya sekali. Karena kami masih menjaga keselamatan fasilitas nuklir,” tutur Djarot.
Soal perawatan alat-alat riset, menurut Djarot, masih ada budaya menjaga keselamatan dan keamanan yang ketat. Akan tetapi, hal itu bisa melemah karena anggaran untuk merawat alat tidak cair dengan cepat.
“Misalnya kita butuh perbaikan suatu alat, kita harus mengajukan anggaran. Sistem sentralisasi itu masalah terbesarnya adalah lamban,” katanya.
Sistem sentralistik dalam mengajukan anggaran untuk merawat alat-alat riset di LUTPAA Garut juga dikeluhkan Unggul. “Tentunya akan ada waktu tunggu. Itu pun ditambah lagi kalau banyak yang antre, terjadi bottleneck (kemacetan),” ucap Unggul.
Sedangkan Luqman mengatakan, alat-alat riset di KSPAAPJ Biak masih bisa beroperasi normal, terutama stasiun bumi TTC dan data misi satelit. Alat-alat riset yang pengoperasiannya belum bisa jarak jauh, kini dioperasikan sebagian engineer lokal.
“Sebagian (lainnya) dapat dioperasikan secara remote dari jarak jauh,” ucapnya.
Menurut Handoko, walau periset dibebaskan memilih lokasi kerja, hal itu tak masalah dengan peralatan riset. “Karena memang itu menjadi urusan Deputi Infrastruktur (BRIN),” ucapnya.
“Seluruh peralatan dikelola dan dipelihara, termasuk pembiayaannya oleh Deputi Infrastruktur.”
Dihubungi terpisah, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Herlambang Perdana Wiratmanan memandang, sebelum BRIN menerapkan kebijakan peneliti atau perekayasa bebas memilih lokasi kerja, semestinya memperhatikan kultur di lembaga riset tersebut.
“Harus menghargai plural institutional system yang berlaku di setiap lembaga,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, Kamis (18/8).
Menurut Herlambang, plural institutional system adalah pendekatan yang jamak terjadi di dalam pengembangan keilmuwan. Pertimbangan itu diperlukan karena lembaga riset sosial dan ilmu alam memiliki budaya yang berbeda.
“Sistem-sistem itu termasuk budaya (dan) tradisi yang berkembang di dalam pengembangan pengetahuan di situ (lembaga riset),” ujarnya.
Sebelum menerapkan kebijakan kebebasan memilih lokasi kerja, kata Herlambang, BRIN perlu menjadikan kebebasan ilmuwan sebagai prioritas. Tujuannya, supaya periset tak merasa terganggu dengan upaya penelitian untuk mengembangkan keilmuwan.
“Kebebasan ilmuwan itu juga menentukan, kalau kemudian terjadi pemaksaan atau upaya untuk merelokasi dan seterusnya, itu juga harus dibicarakan secara baik-baik, bukan instruksi yang harus dipatuhi,” tuturnya.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.