tribun-nasional.com – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani meminta pemerintah tidak mencampurkan perihal klaster jaminan sosial ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan, dalam hal ini yang berkaitan dengan BPJS Kesehatan.
“Prinsip dasarnya, kita berpandangan semua yang terkait klaster jaminan sosial itu tidak dimasukkan ke RUU ini. Karena pembahasan yang menyangkut jaminan sosial meliputi hak-hak peserta yang sudah diatur,” ujarnya, dalam konferensi pers Omnibus RUU Kesehatan dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), Selasa (28/2/2023).
Menurutnya, dengan diaturnya perihal BPJS Kesehatan di dalam regulasi tersebut akan berpotensi menurunkan pelayanan kesehatan kepada para pesertanya, serta peningkatan beban biaya tambahan pada iuran. Adapun potensi peningkatan biaya ini muncul lantaran terjadi perubahan tata kelola, di mana BPJS Kesehatan yang sebelumnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden, menjadi kepada Kementerian Kesehatan.
“Penugasan tambahan dari Kementerian Kesehatan berpotensi membebani dana jaminan sosial yang merupakan milik peserta. Dana ini dapat tergerus untuk melakukan penugasan dari kementerian yang semestinya dibiayai APBN. Akibatnya pekerja yang harus mendukung,” imbuhnya.
Senada dengan Hariyadi, Ketua Bidang Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Myra M. Hanartani mengatakan, dengan dimasukannya pengaturan BPJS Kesehatan dalam regulasi tersebut jangan sampai membuat jaminan sosial masyarakat jadi terserempet dengan kebutuhan-kebutuhan kesehatan lainnya.
“Yang kita khawatirkan dengan metode omnibus law, menyerempet UU Jaminan Sosial, ini yang menjadi titik bermasalah. Kita jangan lupa UU Kesehatan juga mengatur ketersediaan tenaga kerja, rumah sakit. Ini yang sebetulnya kita pisahkan dengan hak dari peserta jaminan sosial,” katanya, dalam kesempatan yang sama.
Menurutnya, urusan penyediaan tenaga kerja hingga rumah sakit itu murni urusan pemerintah dan dibiayai APBN. Jangan sampai iuran peserta BPJS akan lari ke sana.
“Itulah kenapa kita mengharapkan UU Jaminan Sosial memberikan hak kepada peserta ketika membayar. Ada penerima bantuan iuran (PBI) yang dari APBN tapi itukan sudah dimandatkan bahwa pemerintah memberi bantuan buat yang tidak mampu, itu sudah jadi dana kelolaan jaminan sosial. Itu sudah tidak bisa disebut dana APBN,” terangnya.
Sementara itu, Anggota Apindo sekaligus Dewan Jaminan Sosial Nasional, Suprayitno, mengatakan, pengaturan BPJS Kesehatan telah dinaungi oleh Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sehingga menurutnya, pengaturan lewat RUU Kesehatan ini tidak diperlukan.
“Sudah ada UU BPJS dan SJSN. Mana yang kurang dari itu tinggal dilengkapi. PR pemerintah di bidang kesehatan banyak, untuk nakes dan rumah sakit. Sehingga kalau masuk lebih dalam, partisipasi publik yang dikurangi, ini bukanya jadi akuntabel dan transparan, lagi-lagi pembonsaian,” ujarnya.
Karena itulah, secara strategic Apindo mengharapkan klaster jaminan sosial dikeluarkan dari RUU ini. RUU ini bisa fokus pada rumpun bidang yang merupakan lingkup kewenangan Kementerian Kesehatan untuk reformasi kesehatan dan tidak menerabas lingkup bidang lainnya. Jika dimaksudkan untuk perbaikan kebijakan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui Omnibus Law, disarankan untuk dibuat khusus Omnibus Law Jaminan Sosial.