Saat milenial ‘terjebak’ di rusun sempit dan sumpek DKI 

Nina sebenarnya tak betah tinggal di rusun. Namun, ia tak pernah terpikir untuk membeli rumah. Apalagi, tempat kerja sang suami dekat dengan Rusunawa Pesakih. “Kebanyakan jauh-jauh perumahan murah sekarang. Jadi, agak repot,” ujarnya.

Penghuni berkumpul di depan salah satu unit Rusunawa Pesakih, Daan Mogot, Jakarta Barat, Minggu (17/7). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Cerita serupa diungkap Rokhayah, tetangga Nina. Ia mengaku masih menumpang tinggal di unit milik orang tuanya di Rusunawa Pesakih. Rokhayah menikah pada 2017 dan kini sudah punya satu anak yang berusia 1 tahun. 

“Sebenarnya, saya mau keluar dari dulu. Enggak enak jadi sempit di rumah. Tapi, sampe sekarang enggak punya buat menyewa kontrakan atau  beli rumah,” kata Rohkayah kepada Alinea.id.

Situasi serupa juga terlihat di Blok Mawar, Rusunawa Penjaringan, Jakarta Utara. Hampir di setiap lantai, koridor-koridor dijejali perabotan penguni rusun. Sejumlah penghuni bahkan memajang jemuran di depan unit mereka. 

Ketua RT 08 RW 12 di Blok Mawar Rusunawa Penjaringan, Agustina mengaku sudah berulangkali mengingatkan warga agar tidak menumpuk barangnya di luar unit. Namun, peringatannya seolah tak pernah digubris. 

“Tapi, mungkin karena unitnya sempit dan apalagi enggak ada tempat jemuran, akhirnya jemur di dalam,” kata Agustina saat berbincang dengan Alinea.id di Rusunawa Penjaringan, belum lama ini. 

Rusunawa Penjaringan didirikan pada dekade 1980-an. Total ada 76 unit di rusun itu. Semua unit bertipe 21. Menurut Agustina, warga sudah turun-temurun tinggal di rusun itu. “Sedikit sekali di sini yang keluar dan pindah di tempat lain,” terang dia.

Rusun itu, kata Agustina, terus-menerus bertambah padat lantaran banyak pasangan baru yang tinggal bersama keluarga besar mereka. Mereka terpaksa menumpang karena tak punya duit untuk mengontrak atau membeli rumah. 

“Sebenarnya, ya, kita enggak boleh nama istilahnya ‘KK gendong’ alias dia sudah menikah tapi masih gabung KK lama. Ya, kita saranin bikin KK sendiri dengan alamat lain. Karena yang keluar sedikit yang bisa kita siasati paling, ya, nahan orang buat masuk. Entah dia numpang dan sebagainya,” kata Agustina.

Agustina berujar kepadatan penghuni hanya sekelumit persoalan di Blok Mawar. Menurut dia, fasilitas-fasilitas di rusun itu juga kurang memadai. Pengelola rusun juga kerap acuh tak acuh menanggapi keluhan warga terkait itu. 

“Sebagai contoh, lampu lorong. Kalau rusak, ya, enggak diganti. Akhirnya, kita yang ngeluarin duit karena lapor, tapi enggak diganti-ganti. Air juga kadang bermasalah, tapi sering juga enggak ditangani,” ucap Agustina. 

Buruknya tata kelola

Menurut catatan Pemprov DKI, terdapat sebanyak 28.766 unit rusunawa yang tersebar di 27 titik lokasi di DKI Jakarta pada 2020. Mayoritas rusunawa ada di Jakarta Timur (11.348 unit) dan Jakarta Utara (10.499). Di Jakarta Selatan, tercatat hanya ada 629 rusunawa. 

Dalam survei yang digelar Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik DKI Jakarta pada 2017, sebanyak 60,64% penghuni rusunawa adalah korban relokasi atau penggusuran. Selain kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan, survei itu juga merinci tanggungan tiap kepala keluarga penghuni rusun. 

Mayoritas kepala keluarga penghuni rusun menyatakan punya tanggungan lebih 2 orang. Rinciannya, sekitar 30% penghuni rusun punya 4 tanggungan, 21% mengaku punya tiga tanggungan, dan 19,8% punya tanggungan 5 orang. Yang paling ekstrem, sekitar 1,1% mengaku punya tanggungan hingga 10 orang. 

Anggota Komisi D DPRD Justin Andrean mengaku sering mendengar mengenai fenomena KK gendong di unit rusun dan rumah tapak di Jakarta. Ia menyebut itu sebagai dampak dari buruknya tata kelola pemerintah provinsi dalam menangani kepadatan penduduk. 

“Terkait dengan fenomena generasi sandwich yang terjadi saat ini di Jakarta, hal semacam ini sebenarnya merupakan keniscayaan yang akan terjadi bilamana beberapa permasalahan penting tidak dikelola oleh pemerintah,” kata Justin kepada Alinea.id, Jumat (23/7). 

Terkait densitas penduduk misalnya, Justin menyebut lemahnya pengawasan terhadap arus urbanisasi oleh Pemprov DKI. Di lain sisi, ia menilai program keluarga berencana (KB) juga tak lagi intens digalakkan pemerintah. 

“Sehingga ini melahirkan overpopulation yang semakin menggerus beragam sumber daya, baik sumber daya manusia  maupun daya dukung lingkungan. Akibat over populasi ini ruang kota bertambah sempit, tata kota semrawut, lapangan kerja semakin sempit dan harga-harga semakin mahal,” kata Justin. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri acara peletakan batu pertama pembangunan hunian warga di Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (17/8/2020)./Foto Facebook Anies Baswedan.
 
Justin menegaskan perlu ada terobosan-terobosan dari Pemprov DKI untuk mengendalikan kepadatan populasi di ibu kota. Itu supaya semua warga DKI bisa mempunyai tempat tinggal yang layak huni. Jika tidak dikendalikan, ia khawatir bonus demografi DKI bakal jadi petaka.

“Sekalipun DKI Jakarta memiliki akses transportasi dan supply listrik yang lebih terjamin, harga lahan dan labor cost di DKI merupakan yang tertinggi. Perluasan industri dan ketersediaan lapangan kerja tidak mampu mengimbangi penyerapan tenaga kerja yang melimpah dari overpopulation tersebut,” kata dia. 

Persoalan keterbatasan hunian, lanjut Justin, juga disebabkan oleh terpusatnya tenaga kerja di Jakarta. Terkait itu, ia mengusulkan agar Pemprov DKI menggandeng pemerintah pusat untuk mengembangkan industri-industri baru yang bisa menyerap tenaga kerja. Selain itu, pengembangan kawasan pinggiran Jakarta juga perlu didorong untuk mengerem laju urbanisasi. 

“Pengembangan varian industri untuk dapat menyerap beragam varian tenaga kerja sudah sangat urgen dilakukan sebelum terjadi ledakan demografi yang dapat menjadi malapetaka. Semakin besar pengangguran, maka semakin besar beban negara,” kata Justin.

Lebih jauh, Justin mengingatkan agar pemerintah mengawasi koorporasi-korporasi dan bisnis properti yang kerap menganeksasi lahan. Ia mengusulkan agar pemerintah memberlakukan pajak progresif atas kepemilikan properti sehingga lahan di DKI tak hanya dikuasai segelintir orang. 

“Hal ini membuat ketersediaan properti semakin sedikit, sementara demand atau permintaan akan properti terus meningkat karena overpopulation. Akhirnya, harga properti jadi membubung tinggi di luar jangkauan kaum muda pekerja biasa sekalipun,” kata Justin.

Alinea.id telah berupaya mengonfirmasi keluhan-keluhan penghuni rusin dan persoalan kepadatan penduduk itu kepada Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Sarjoko dan Kepala Bappeda DKI Jakarta Nasrudin Djoko Surjono. Namun, keduanya tidak merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.

Tak sekadar hunian 

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga,  mengatakan kepadatan yang terjadi di rusun merupakan potret persoalan ledakan penduduk yang bertali-temali dengan mahalnya harga hunian. Imbasnya, banyak pasangan muda yang tidak bisa membeli rumah dan munculnya fenomena “generasi sandwich”. 

Nirwono mengatakan padatnya penghuni rusun-rusun di ibu kota merupakan sinyal bagi Pemprov DKI Jakarta untuk perlu membangun lebih banyak rusun di lokasi-lokasi strategis. Pembangunan hunian vertikal itu terutama harus diprioritaskan untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dari kalangan generasi milineal.

“Rusunawa khusus anak muda ini mestinya disubsidi penuh oleh pemerintah daerah dan pusat. Tujuannya untuk membangun budaya baru tinggal di hunian vertikal. Harga sewa bisa sangat murah dan bisa dicicil,” kata Nirwono kepada Alinea.id, Selasa (18/7). 

Dalam bayangan Nirwono, rusun khusus milenial itu dibangun tak sekadar jadi hunian saja. Rusun-rusun bisa dibangun dengan menyediakan ruang kerja bersama sehingga kalangan milenial penghuni rusun bisa produktif. Seiring itu, Pemprov DKI juga memberikan pendampingan dan pelatihan. 

Menurut Nirwono, model pembangunan rusun seperti itu bisa jadi solusi untuk mengurangi maraknya perselisihan antara pengelola dan penghuni rusun. Ia menyebut banyak penghuni yang statusnya menganggur berkonflik dengan pengelola karena tidak mampu membayar biaya sewa dan tak bisa pindah ke tempat lain. 

“Pembangunan rusunawa juga harus diiringi dengan penyediaan lapangan kerja di pusat kota bagi anak-anak muda tersebut di mana kompleks rusunawa menyediakan ruang kerja bersama (co-working space), pendampingan pelatihan keterampilan dan kreativitas, serta perekrutan atau pelibatan penghuni rusunawa dalam berbagai proyek di Pemprov DKI Jakarta,” kata Nirwono.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan