Salman Rushdie dan hidupnya yang penuh kontroversi…

Ketika itu, Rushdie tinggal Inggris. Negara itu “memihak” Rushdie. Tak lama setelah fatwa Khomeini dirilis, Inggris memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Selama lebih dari 9 tahun, sang penulis berada di bawah perlindungan kepolisian Inggris. 

Pada 1998, jelang restorasi hubungan diplomatik Inggris dan Iran, Presiden Iran Mohammad Khatam merilis kebijakan ambigu terkait Rushdie. Ia menyebut Iran ‘tak akan mendukung atau menghalangi operasi pembunuhan terhadap Rushdie.’

Tak hanya Rushdie, orang-orang yang punya peran menyebarluaskan karya Rushdie juga jadi target. Pada 1991, Hitoshi Igarashi, penerjemah Satanic Verse versi Jepang, ditikam hingga tewas. Pada tahun yang sama, Ettore Capriolo, sejawat penerjemah asal Italia, juga terluka parah karena ditikam seorang “pembenci” Satanic Verse

Dalam sebuah opini di The New Yorker yang terbit tepat sepuluh tahun setelah fatwa itu dirilis, Rushdie menulis instruksi Khomenei sebagai sebuah hadiah Valentine yang sama sekali tak lucu. Ia menyebut jadi punya dua kehidupan gara-gara fatwa tersebut. 

“Yang satu terperangkap kebencian… Lainnya di mana saya mencintai dan dicintai. Kehidupan seorang pria merdeka, bebas melakukan pekerjaannya. Dua kehidupan, tapi tak satu pun boleh hilang. Hilang satu berarti akhir dari keduanya,” kata Rushdie. 

Tak hanya oleh kaum Shiah, ekstremis Sunni juga berang terhadap Rushdie. Pada 2010, kelompok teroris Al Qaeda resmi memasukkan nama Rushdie sebagai salah satu target pembunuhan. Hingga kini, sayembara berhadiah jutaan dollar untuk “kepala” Rushdie masih digelar oleh sebuah yayasan asal Iran. 

Novelis Salman Rushdie dalam sebuah diskusi bersama mahasiswa Emory University. /Foto Wikimedia Commons

Karier dan kontroversi 

Rushdie lahir di Kota Bombay, India, pada 19 Juni 1947. Ayah Rushdie, Anis Ahmed Rushdie, seorang pebisnis yang tergolong sukses di India. Keluarganya memeluk Islam. Dari empat anak, Rushdie satu-satunya laki-laki di keluarga itu. 

Masa kecil Rushdie bahagia. Ia selalu dikelilingi buku. Sejak usia 5 tahun ia sudah punya cita-cita menjadi penulis. “Saya tumbuh dengan mencium buku dan roti… Kami mencium segalanya. Kami mencium kamus dan atlas,” tulis Rushdie dalam Is Nothing Sacred

Pada usia 14 tahun, ayah Rushdie mengirimkan sang anak untuk sekolah di Inggris. Ia bersekolah di Rugby, sebuah sekolah asrama di Wawickshire, Inggris. Di sekolah itu, ia kerap dirisak oleh rekan sebayanya karena berasal dari Indian serta punya badan yang kerempeng dan tak atletis.

Mengikuti jejak sang ayah, Rushdie kemudian melanjutkan kuliah di King’s College, Cambridge. Pada 1968, ia lulus dengan mengantongi gelar master di bidang sejarah. 

Setelah lulus, Rushdie sempat ‘main’ teater dan jadi aktor. Namun, itu tak lama. Pada periode 1970-1980, Rushdie kebanyakan bekerja sebagai penulis lepas untuk dua agensi iklan. Di sela-sela itu, ia merampungkan novel pertamanya yang berjudul Grimus

Terbit pada 1975, novel berkisah mengenai tentang seorang warga pribumi Amerika yang diberkahi kehidupan abadi dan bertualang untuk mencari makna hidup. Meski minim kritik negatif, Grimus tak laku di pasaran. 

Baru pada novel kedua, Midnight’s Children, nama Rushdie melambung. Dirilis perdana di AS pada 1981, novel yang ditulis dengan gaya realisme magis itu bertutur mengenai Saleem Sinai, seorang bocah hasil selingkuhan yang lahir tepat tengah malam saat India merdeka.  

Saleem diceritakan punya kemampuan telepati untuk “mengumpulkan” bocah-bocah lainnya yang juga bernasib sepertinya, lahir di India tengah malam hingga jam 1 dini hari pada 15 Agustus 1947. Sang protagonis juga dikisahkan terjebak dalam dilema dua agama besar di India, Islam dan Hindu.

Midnight’s Children disukai para kritikus. Pada 1981, novel tersebut dianugerahi penghargaan Booker Prize sebagai novel terbaik untuk karya fiksi. Midnight’s Children laku keras di pasaran. Di Inggris, novel tersebut terjual lebih dari 1 juga cetakan. 

Kontroversi mulai menghiasi kehidupan Rushdie setelah ia merampungkan novel keempatnya, Satanic Verse pada 1988. Judul buku itu merujuk pada “tradisi yang diperdebatkan” yang menyebut Muhammad (Mahound dalam Satanic Verse) menambahkan ayat-ayat pada Quran yang mengamini eksistensi tiga dewa yang biasanya dipuja rakyat Mekah. 

Menurut legenda, Muhammad lantas mencabut ayat-ayat itu, menyebut iblis yang menggoda dia untuk mengucapkan isi ayat-ayat itu untuk mencegah Mekah bergejolak. Namun, menurut narator dalam Satanic Verses, ayat-ayat itu ternyata keluar dari mulut Malaikat Jibril. 

Penerbitan Satanic Verses memicu protes di sejumlah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di India, sebuah aksi protes berujung rusuh dan mengakibatkan 12 orang tewas. Ketika itu, setidaknya ada puluhan negara yang melarang penerbitan dan penjualan Satanic Verses, termasuk di antaranya Iran, India, dan Indonesia.

Dalam sebuah kolom bertajuk “Choice Between Light and Dark” yang tayang di The Observer pada 1989, Rushdie merespons gelombang protes terhadap Satanic Verses. Ia berdalih tak pernah punya niat menghina Islam. 

“Ini bukan novel antiagama tertentu. Akan tetapi, novel ini merupakan sebuah upaya untuk menulis tentang migrasi, kesulitan-kesulitannya, serta transformasi yang terjadi,” tulis Rushdie. 

Tak lama setelah peristiwa percobaan pembunuhan yang gagal terhadapnya pada 1990, Rushdie sempat mengungkap “kekeliruannya” dalam Satanic Verses. Ia mengaku tengah kembali mendalami ajaran Islam.

Dalam sebuah wawancara dengan Times, ia mengaku itu hanya sekadar “gestur” dengan harapan fatwa Khomeini dicabut. 

“Itu adalah pemikiran kacau. Saya sedang benar-benar tidak stabil ketika itu. Anda tidak bisa membayangkan betapa beratnya tekanan yang saya alami,” kata Rushdie. 

Meski hidupnya selalu dibayangi maut, Rushdie tetap produktif. Hingga kini, pria yang sudah empat kali menikah itu telah merampungkan 12 novel, dua buku anak-anak, dan belasan esai. Selain sebagai penulis, Rushdie juga aktif mengajar di sejumlah kampus menjadi mentor bagi penulis-penulis muda.

“Saya harus menulis untuk bertahan hidup. Jika saya tidak menulis untuk jangka waktu yang lama, maka mimpi-mimpi saya saat malam hari menjadi lebih gila,” kata Rushdie dalam sebuah wawancara dengan Deutsche Welle. 

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia
Dalam sebuah opini di The Guardian, CEO PEN America, Suzanne Nossel mengenang Rushdie sebagai sosok penulis yang berani. Ia menyebut Rushdie tak pernah menjalani hidup dalam ketakutan meski telah jadi target pembunuhan sejak beberapa dekade. 

Beberapa jam sebelum jadi korban penikaman, menurut Nossel, Rushdie sempat mengirimkan email kepadanya. Ia meminta bantuan Nossel untuk mencarikan tempat berlindung yang aman bagi para penulis Ukraina yang saat ini terjebak dalam perang. 

“Rushdie menolak untuk jadi pengecut. Dia kembali ke tengah-tengah publik dengan berani dan selama bertahun-tahun telah menggunakan platform dan pengaruhnya untuk melindungi rekan-rekan sesama penulis,” kata Nossel. 

Nossel mengatakan serangan terhadap Rushdie tak hanya personal. Itu juga simbolisasi serangan terhadap kebebasan berekspresi. Ia menyebut ada banyak penulis berani seperti Rushdie yang terus berupaya dibungkam oleh rezim-rezim totalitarian di berbagai belahan dunia. 

“Serangan terhadap Salman Rushdie tak hanya sekadar pemenuhan fantasi Ayatollah. Ini juga pengingat bahwa menulis dan mengungkapkan pendapat ialah sebuah tindakan berani yang perlu dan wajib untuk dilindungi,” kata dia. 


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan