Sentimen Masih Ngeri-Ngeri Sedap, Mampukah IHSG Bangkit?

tribun-nasional.com – Pasar keuangan Indonesia pekan lalu mencatatkan kinerja yang mengecewakan. Baik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, ataupun pasar Surat Berharga Negara (SBN) kompak melemah.

Ambruknya pasar keuangan domestik tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya ketidakpastian global, ancaman resesi, kekhawatiran akan stagflasi, rontoknya rupiah, serta lesunya bursa saham Amerika Serikat (AS).

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (7/10/2022), IHSG ditutup melemah 0,7% di 7.026,78. Sebanyak 178 saham menguat, 360 saham turun, dan 152 saham stagnan. Investor asing juga mencatatkan net sell sebesar Rp 1,3 triliun di semua pasar.

Pada pekan lalu, IHSG sebenarnya lebih banyak bergerak di zona positif. Dalam lima hari perdagangan, IHSG hanya dua kali berakhir di zona merah yakni pada Senin dan Jumat. Tiga hari perdagangan lainnya berakhir di zona hijau.

Dalam sepekan, investor asing juga masih mencatatkan net buy yakni sebesar Rp 4,77 triliun di seluruh pasar. Namun, secara keseluruhan, IHSG masih melemah 0,20% dalam sepekan. Artinya, IHSG sudah ambruk selama dua pekan beruntun karena pekan sebelumnya IHSG pun jatuh 1,92%.

IHSG jeblok salah satunya karena data inflasi dalam negeri. Indonesia mencatatkan inflasi sebesar 1,17% (month-to-month) pada September yang merupakan rekor tertingginya sejak Desember 2014.

Lonjakan inflasi akibat dari kenaikan harga BBM subsidi tersebut bisa menekan daya beli masyarakat dan pertumbuhan. Kondisi ini bisa membuat keuntungan banyak perusahaan, termasuk berbasis consumer goods, akan tergerus.

Kekhawatiran investor semakin meningkat setelah pada Kamis (6/10/2022) Perkumpulan negara-negara produsen minyak mentah dunia, OPEC+ sepakat untuk memangkas produksi minyak mentahnya hingga 2 juta bare per hari (bph) mulai November 2022.Keputusan OPEC+ dikhawatirkan membuat harga minyak mentah kembali melambung sehingga inflasi akan sulit diturunkan.

Langkah OPEC juga dikhawatirkan akan mempercepat resesi di sejumlah negara serta menghambat pemulihan ekonomi di sebagian negara lainnya. Risiko stagflasi dan resesi pun akan semakin menguat jika inflasi sulit dijinakkan sementara pemulihan ekonomi terganggu.

Sejumlah lembaga/institusi juga terus mengingatkan ancaman resesi. Survei terbaru dari perusahaan akuntan multinasional KPMG juga menunjukan kencangnya kekhawatiran resesi. KPMG melakukan survei terhadap 1.300 petinggi perusahaan antara Juli-Agustus.

Survei yang diterbitkan pada Rabu (5/10/2022) kemarin menunjukkan delapan dari 10 petinggi perusahaan percaya jika resesi akan terjadi selambatnya dalam 12 bulan ke depan.

Tak hanya di Indonesia, kekhawatiran resesi dan keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi juga membuat bursa Asia Pasifik memerah.

Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (7/10/2022), Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,71%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,51%, dan Straits Times Singapura turun 0,18%. Indeks ASX 200 Australia merosot 0,8% dan Indeks KOSPI Korea Selatan melemah 0,22%.

Tinggalkan Balasan