Twiga Foods, Game Changer Industri Pangan Afrika


Perusahaan startup ini lahir untuk mengatasi masalah inefisiensi rantai pasok produk pangan di Benua Afrika. Apa peran yang dimainkan perusahaan agritech ini?

Founder Twiga foods  Grant Brooke (kiri) dan  CEO Peter Njoya  (PHOTO: NMG).
Founder Twiga foods Grant Brooke (kiri) dan CEO Peter Njonjo (PHOTO: NMG).

Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat Benua Afrika adalah keterbatasan akses terhadap bahan makanan (pangan) dengan harga terjangkau. Penyebab utamanya adalah kondisi pasar ritel Afrika yang sangat terfragmentasi dan tidak efisien, di mana sekitar 90% industri ritel terdiri dari para peritel informal independen.

Sebagian besar masyarakat Afrika membelanjakan uangnya (disposable income/pendapatan yang dapat dibelanjakan) untuk produk makanan hingga 10 kali lebih besar dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara maju. Sebagai perbandingan, masyarakat Amerika Serikat rata-rata membelanjakan sekitar 6% dari disposable income-nya untuk memperoleh makanan, sedangkan masyarakat Afrika bisa membelanjakan hampir 50% dari pendapatannya. Sebagai contoh, 1 ton tomat di AS harganya sekitar US$ 100. Adapun di Kenya, karena masalah inefisiensi produksi dan distribusinya, harganya kurang-lebih US$ 420.

Sekitar 150 tahun lalu, kalangan konsumen di AS membelanjakan jumlah duit yang kira-kira sama untuk makanan dibandingkan dengan konsumen di Afrika. Namun, investasi di bidang infrastruktur sektor ritel ⸺yang digerakkan oleh kalangan swasta⸺ berhasil membuat rantai pasok (supply chain) pangan di AS menjadi efisien.

Beruntunglah, dari bumi Afrika ini ⸺tepatnya dari Kenya⸺ muncul Twiga Foods. Perusahaan startup ini membangun sistem alternatif yang bertujuan untuk menghadirkan hasil yang sama dengan modernisasi sektor ritel di negara-negara maju. Twiga memanfaatkan teknologi dan popularitas telepon seluler (ponsel), yang dikombinasikan dengan sistem distribusi dan logistik modern untuk mengagregasi permintaan konsumen, sekaligus membangun sistem rantai pasok yang efisien.

Didirikan pada 2014, Twiga memosisikan diri sebagai perusahaan distribusi dan rantai pasok pangan, yang berupaya membangun ekosistem pasar yang fair dan dapat dipercaya untuk para produsen dan peritel produk pangan, melalui sistem berbasis teknologi. Simpelnya, perusahaan rintisan ini menjalankan platform pasokan pangan (food supply) yang memasok buah dan sayuran segar dari kalangan petani (skala kecil) di kawasan pedesaan Kenya ke kalangan vendor/gerai ritel skala kecil-menengah. Buat kalangan konsumen, sederhananya, kehadiran Twiga ini menurunkan biaya penyediaan makanan.

“Afrika punya masalah besar dengan soal akses terjangkau terhadap makanan, terutama akibat terfragmentasinya sektor ritel,” kata Peter Njonjo, CEO dan Co-founder Twiga Foods. “Twiga berupaya mengatasi masalah ini, menggunakan teknologi untuk membangun jaringan distribusi yang paling ekstensif dan paling rendah biayanya,” lelaki yang kini berusia sekitar 45 tahun itu menambahkan.

Twiga boleh dibilang salah satu startup terbaik di Afrika dalam hal mendapatkan pendanaan. Pada 2017, Twiga memperoleh pendanaan Seri A senilai US$ 10,3 juta, yang dilanjutkan dengan pendanaan senilai US$ 10 juta pada November 2018. Lalu, pada 2019, memperoleh pendanaan ekuitas senilai US$ 34,75 juta dari putaran pendanaan Seri B, antara lain dari Goldman Sachs dan IFC.

Yang terbaru, pada awal November 2021, Twiga berhasil menggaet pendanaan senilai US$ 50 juta dari putaran pendanaan Seri C, yang dipimpin oleh Creadev, perusahaan investasi asal Prancis. Putaran pendanaan ini juga mencakup investasi lanjutan signifikan, dari pemegang saham berorientasi teknologi, seperti Juven, TLcom Capital, IFC Ventures, dan DOB Equity, sedangkan OP Finnfund Global Impact Fund I dan Endeavor Catalyst Fund berpartisipasi sebagai investor baru.

Twiga Foods didirikan oleh Peter dan rekannya, Grant Brooke, pada 2014. Dunia bisnis memang bukan hal baru bagi Peter. Sebelum mendirikan Twiga, ia menghabiskan banyak waktunya sebagai profesional, dengan jabatan terakhir sebagai Presiden Coca-Cola Afrika Barat dan Tengah.

Peter memulai bisnis pertamanya ketika duduk di bangku SMA. Kala itu, ia melihat masalah kantin sekolah yang jauh dari lokasi asrama. Tiap hari ia harus merasakan kelelahan hanya untuk membeli roti di kantin. Saat itu, Peter menawarkan solusi sederhana: ia membeli semua penganan yang disukai yang dijual di kantin, membawanya ke asrama, menjualnya ke penghuni asrama yang cukup keluar dari kamarnya, dan mengutip sedikit fee untuk kenyamanan yang diberikannya itu.

Kala itu, Peter membuat semacam sistem waralaba. Alasannya, ”Banyak asrama yang harus dilayani, jadi saya tidak bisa menanganinya sendiri,” ujarnya. Model semacam inilah yang dijalankannya lewat Twiga, hanya saja untuk skala layanan yang jauh lebih besar. Twiga mengambil makanan segar dan yang diproses dari kalangan petani serta pabrik (yang sering jauh lokasinya), dan mengirimkannya ke kalangan pelaku ritel di seluruh Kenya, juga dengan mengutip sedikit fee untuk kenyamanan tersebut.

Pada 1998, Peter dikenal sebagai salah seorang pemegang gelar CPA (Certified Public Accountant) termuda di Kenya. Di tahun yang sama, ia bergabung dengan Coca-Cola sebagai akuntan, dengan tugas pertama: menemukan dan mengatasi beberapa akun yang tidak balance.

Itulah awal mula dari 18 tahun kariernya di Coca-Cola. Ia menyebutkan, sebetulnya banyak orang dengan masa karier panjang di perusahaan minuman asal AS ini jika DNA-nya sama dengan karakter perusahaan. “Karena, di sana banyak peluang pertumbuhan,” ujarnya. Ia juga mengaku beruntung memperoleh banyak pengalaman dalam mengelola proses bisnis.

“Visi kami adalah menjadi one stop shop solution untuk sektor informal di pasar-pasar di mana kami beroperasi.”

Peter Njonjo, CEO & Co-founder Twiga Foods

Peter Njonjo, CEO & Co-founder Twiga Foods

Setelah 10 tahun berkarier di Coca-Cola, pada usia 31 tahun Peter ditunjuk sebagai Country Manager Coca-Cola untuk Kenya. Tiga tahun kemudian, ia dipercaya sebagai General Manager Coca-Cola Afrika Timur, yang bertanggung jawab mengelola operasi Coca-Cola di enam negara: Kenya, Uganda, Tanzania, Ethiopia, Eritrea, dan Mozambik. Saat itu ia mengelola deal dengan nilai lebih dari US$ 1 miliar untuk belanja modal (capital expenditure).

Ketika itulah, ia bersama Grant Brooke mendirikan bisnis bersama. Namun, ini bukan Twiga. Bisnis pertamanya di bidang pengelolaan hasil hutan, semacam HPH (hak pengusahaan hutan), di mana mereka harus menanam kembali hutan tempat mereka mengambil kayu. Namun, bisnis ini tidak berjalan dengan baik.

Peter dan Grant kemudian memutuskan untuk menjalankan bisnis perdagangan pisang ⸺yang akhirnya menjadi Twiga Foods. Alasannya, mereka melihat pisang merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Rencananya, mereka akan mengekspor pisang dari kawasan Afrika. Namun, lagi-lagi kendala besar mereka hadapi. Untuk mengekspor satu kontainer pisang ke luar Kenya pun mereka tak mampu. “Kami menyadari rantai pasok produk makanan sangat buruk dan terlalu banyak rintangan di luar,” ungkap Peter.

Lalu, mereka memutuskan untuk menjual pisang di pasar lokal. Lagi-lagi, tak langsung berjalan mulus, karena mereka menghadapi tantangan, bukan hanya rantai pasok yang buruk, tapi juga sektor ritel yang terfragmentasi dan bersifat informal. Salah satu kendalanya adalah tidak adanya standar untuk pengemasan produk, yang menyebabkan pebisnis sulit mengalkulasi profit margin. Mereka pun mulai mengedukasi pasar untuk membeli pisang dalam peti dan membelinya dalam kondisi sudah matang.

Dalam proses memantapkan model bisnis Twiga ini, Grant bertugas menjalankan bisnis, sedangkan Peter duduk di board dengan peran memberikan arahan bisnis. Pasalnya, ketika itu Peter secara berbarengan masih meneruskan kariernya di Coca-Cola, bahkan ditunjuk sebagai Presiden Coca-Cola Afrika Barat dan Tengah yang membawahkan 33 negara di kawasan Subsahara Afrika.

Akhirnya, pada 2019 ⸺ketika Twiga Foods berumur lima tahun⸺ Peter melepaskan jabatan kepemimpinan di Coca-Cola, untuk kemudian menjadi CEO Twiga Foods. “Saya memang telah berdiskusi dengan Grant, apabila bisnis kami menjadi terlalu besar, dengan senang hati saya akan masuk (sebagai eksekutif), karena ini merupakan investasi besar,” kata lelaki kelahiran Nairobi, Kenya ini.

Keterlibatan penuh Peter itu karena perusahaan ini harus menghimpun dana besar untuk mengembangkan bisnis. Bahkan, Peter dan istrinya rela menjual rumah mereka untuk membantu pendanaan bisnis Twiga di masa-masa awal, karena khawatir perusahaan kehabisan likuiditas. Namun, mereka mengaku cukup optimistis dengan perkembangan bisnis Twiga. Dalam tahapan Seed Round ini, mereka berhasil meraih dana sebesar US$ 1,75 juta.

Twiga menghabiskan tahun 2019 untuk mengembangkan sistem mobile ordering platform-nya untuk mencakup juga produk-produk nonperishable (yang tidak mudah rusak) dan mengembangkan kapabilitas delivery-nya. Twiga juga mengintegrasikan sebuah layanan fintech yang menawarkan para vendor kredit untuk membangun bisnis mereka.

Pada 2019, manajemen Twiga mengklaim revenue perusahaan ini tumbuh sekitar 500%. Saat itu Twiga melayani kurang-lebih 5 ribu gerai ritel dalam sehari di Kenya dan bekerjasama dengan lebih dari 13 ribu petani (skala kecil).

Twiga mengoperasikan sejumlah fasilitas pusat pengumpulan (collection centers) di seantero Kenya, juga sebuah rumah pengemasan sentral yang dilengkapi fasilitas cold storage. Twiga memiliki armada truk dan van untuk kebutuhan pengumpulan dan distribusi produk. Perusahaan ini berupaya menciptakan sistem logistik yang efisien yang membatasi kehilangan pascapanen hanya 5% ⸺bandingkan dengan 30% yang biasa dialami pasar informal.

Para petani yang menjual produknya lewat Twiga kini punya akses ke sebuah marketplace yang fair dan transparan, serta menawarkan harga yang lebih tinggi bagi produk mereka. Di masa lalu, tanpa peran Twiga, para petani itu sering “kehilangan” uang, waktu, dan produk mereka, karena tergantung pada berlapis broker (perantara) agar produk mereka bisa sampai ke pasar dan para vendor ritel.

 “Sebelum bekerja menggunakan layanan Twiga, saya menggunakan jasa satu broker, tapi harganya sangat bervariasi dan sering saya tidak mendapatkan harga yang tepat untuk produk saya dan mereka juga tidak mengukur secara akurat,” kata Anderson Kivuti, petani 54 tahun dari Kota Embu. Anderson dalam enam bulan terakhir menjual pisang dan kubis lewat Twiga. “Layanan Twiga lebih terorganisasi dan memberikan kami stabilitas,” ujarnya.

Di samping itu, petani pun dapat meningkatkan produktivitas lahan mereka, karena mereka memperoleh advis teknis dan tawaran finansial sesuai dengan kebutuhan mereka. Di sisi lain rantai pasok ini, para vendor ritel memperoleh manfaat dari delivery yang gratis dan cepat dari produk mereka. Saat ini, manajemen Twiga melaporkan telah men-deliver lebih dari 600 metrik ton produk ke lebih dari 10 ribu gerai ritel dalam sehari.

Menurut Crunchbase, dengan raihan pendanaan dana sebesar US$ 50 juta pada putaran Seri C, perusahaan rintisan ini secara total telah mengumpulkan dana lebih dari US$ 100 juta sejak kehadirannya pada 2014.

Pendanaan yang sudah diperoleh diarahkan untuk mengembangkan skala operasi Twiga, dengan mengekspansikan layanannya ke negara-negara lain di Afrika Timur dan Afrika Barat pada 2022. Hingga akhir 2021, pasar yang akan dimasuki perusahaan yang kini diperkuat lebih dari 1.000 karyawan ini adalah Uganda dan Tanzania. Negara sasaran ekspansi lainnya adalah Pantai Gading, Kongo, Ghana, dan Nigeria.

Menurut Peter, apa yang dilakukan Twiga saat ini jadi semacam template yang akan diterapkan juga di pasar Afrika lainnya, diadaptasikan dengan lingkungan lokal. “Visi kami adalah menjadi one stop shop solution untuk sektor informal di pasar-pasar di mana kami beroperasi,” katanya. “Kami benar-benar yakin dengan potensi Twiga untuk merevolusi sektor informal di wilayah Subsahara Afrika,” Pierre Fauvet, Direktur Creadev, investor penting bagi Twiga, menimpali. (*)


Sekilas Profil Twiga Foods

– Nama perusahaan             : Twiga Foods

Bidang bisnis                     : sebagai platform e-commerce B2B yang menghubungkan para pemasok produk makanan dengan kalangan pelaku ritel makanan

– Tahun berdiri                     : 2014

– Kantor pusat                      : Nairobi, Kenya

– Pendiri                                : Peter Njonjo (CEO & Co-founder) dan Grant Brooke (Co-founder)

Total pendanaan                : lebih dari US$ 100 juta (sejak pendiriannya pada 2014)

Investor penting               : Creadev, IFC Ventures, Goldman Sachs, Juven, TLcom Capital, dan DOB Equity

Produk yang saat ini diakomodasi: buah-buahan dan sayuran segar, cooking oil, beras.

Kapasitas layanan per hari saat ini: men-deliver 600 metrik ton produk makanan ke lebih dari 10 ribu gerai ritel


Joko Sugiarsono

Riset: Armiadi Murdiansah (bahan dari berbagai sumber)

www.swa.co.id

Artikel ini bersumber dari swa.co.id.

Tinggalkan Balasan